Barista itu....

14 1 0
                                    

            Sore ini begitu cerah, tidak seperti biasanya Bandung selalu diguyur air hujan yang membuat sepanjang kota yang penuh kenangan menjadi semakin sendu. Disa, begitu wanita tomboy itu biasa disapa, baru saja mengakhiri aksi panjat dindingnya dengan peluh disekujur tubuhnya yang dibalut kaos army dan celana cargo panjang warna senada. Disa memang suka sekali dengan semua hal yang berbau alam. Rencananya bulan depan ia akan melakukan perjalanan panjat tebing bersama satu komunitas pecinta alam di kampusnya. Oleh karenanya ia begitu gencar berlatih panjat dinding agar kegiatannya nanti berjalan lancar. Memang ini bukan kali pertama ia melakukan panjat tebing di alam bebas, namun meski demikian ia tetap harus sering berlatih, lagipula ia suka melakukan kegiatan ini, menurut Disa ketika berhasil mencapai puncak, ada perasaan lega yang tak bisa diutarakan dan proses meluncur dari puncak ke bawah adalah moment dimana ia mampu melepaskan semua beban yang ada di kepala. Hal ini sudah sebagai terapi baginya, setiap kali stress, ia pasti melakukan kegiatan panjat dinding. Kebetulan di kedai kopi langganan Disa, menyediakan arena panjat dinding bagi pengunjungnya, tentu saja Disa menjadi begitu betah berlama-lama di sana. Setelah puas memanjat, ia pasti akan langsung memesan kopi kesukaannya.

           "Mas, Ice creamy lattenya satu yaa.." Disa mengambil tempat duduk di bar tepat depan barista. Ini adalah tempat favorit Disa setiap datang ke kedai kopi. Ia suka melihat bagaimana barista-barista itu meracik kopi pesanannya secara langsung dan dari dekat. Selain itu, sembari menikamati kopi ia bisa mengobrol dengan mereka perihal kopi maupun yang lainnya. Maklum saja Disa seringkali atau lebih tepatnya selalu seorang diri jika pergi kemana saja. Termasuk nongkrong di kedai kopi.

          "Siap mbak, mau yang manis aja atau manis banget?" Goda si barista berambut gondrong yang memang sudah hafal dengan Disa sangking seringnya ia berkunjung.

         "Manisnya yang cukup aja, asal nyaman" jawab Disa balas menggoda si Barista yang diikuti tawa ngakak mereka berdua. Sambil menunggu pesanannya dibuat, Disa mengotak atik Hp nya, tak ada satu hal yang dirasa penting. Ia pun kembali meletakkan Hpnya dan melihat ke sekeliling. Hingga sudut mata Disa menemukan seseorang yang menarik perhatiannya. Seorang barista di sisi meja bar lain yang sedang meracik kopi. Disa sedikit memicingkan matanya, rasanya baru pertama kali ia melihat barista itu. satu hal yang membuat ia tertarik adalah, garis wajahnya yang terlihat begitu serius ketika meracik kopi. Berbeda dengan barista yang melayaninya, terkesan cengengesan dan murah senyum.

          "silakan mbak, ice creamy lattenya, gulanya sengaja saya pisah, saya gak berhak menentukan seberapa manisnya mbak, eh kopi nya maksudnya" lagi-lagi si barista gondrong menggoda Disa yang masih sibuk memperhatikan si barista baru yang membuatnya penasaran.

         "itu? barista baru?" Tanya Disa sambil menerima ice lattenya. Si barista gondrong yang paham maksud Disa hanya mengangguk tanda mengiyakan.

        "pantesan aku baru lihat"

        "kenapa mbak? Naksir yaa? yaaaa saya patah hati deh"

        "ngawur"

        "lho, kok ngawur, kalo naksir nanti saya kenalkan, biar saya suruh kesini dianya. Saya rela deh mbaknya sama dia. Kasian dia, ganteng-ganteng tapi jomblo."

       "mas ini gak cocok jadi barista"

      "lha cocoknya?"

      "cocoknya jadi agen biro jodoh" mereka kembali tertawa renyah, sementara tanpa mereka sadari, orang yang mereka omongkan sedang memperhatikan dari sebrang. Mata itu menangkap sebuah wajah sayu yang berusaha memberikan tawa terbaiknya. Terasa natural namun ada satu kesedihan yang dipancarkan dari sorot mata wajah itu.

       Disa masih menikmati pesanannya sembari membaca buku yang sengaja ia bawa setiap pergi kemanapun. Bagi Disa buku adalah pelarian terbaik saat semua orang tak bisa mengerti keadaannya. Sementara si barista gondrong semakin sibuk meracik kopi karena semakin sore pengunjung mulai rame berdatangan. Kini di kursi samping kanan kiri Disa sudah penuh diisi remaja yang sengaja datang hanya untuk sekadar ngopi sambil mengobrol santai, ada yang sambil sibuk mengahadap layar laptop, dan beberapa membaca buku seperti yang Disa lakukan.

        "Perempuan di titik nol, Nawal el-Sadawi" tiba-tiba terdengar suara dari meja barista membaca judul buku yang sedang Disa baca. Merasa suara itu ditujukan padanya, ia pun mengangkat wajah hendak melihat berasal dari mana suara tiba-tiba tersebut. Dan benar saja si barista baru tengah berdiri di depannya sambil tersenyum ramah mengulurkan tangan.

         "Satriya..." agak sedikit ragu Disa menyalami tangan satriya yang terasa dingin namun tak berkeringat.

        "Faradisa," seulas senyum canggung akhirnya tersungging disela perkenalan yang menurut Disa sedikit akward. Dalam hati Disa merutuki si barista gondrong, dia sungguh menyuruh barista itu datang menghamprinya. Sialan.

        "sendiri aja?" pertanyaan yang menurut Disa lebih mengarah pada sebuah usaha untuk menggoda.

        "seperti yang kamu lihat" Disa menjawab singkat dan berusaha kembali fokus pada buku bacaannya berharap si barista mengerti bahwa ia tidak sedang ingin diganggu.

        "aku tak sengaja dengar tadi kamu nanya soal aku ke Iyok. Jangan salah sangka, bukan dia yang nyuruh aku kenalan sama kamu. Kebetulan aku sedang gak terlalu sibuk dan lihat kamu masih disini, jadi kupikir nggak ada salahnya kalau aku ajak ngobrol" satriya sepertinya tahu apa yang ada dipikiran Disa. Mau enggak mau Disa akhirnya menanggapi juga, meski sedikit jengah.

        "well, aku sering kesini, mungkin seminggu bisa dua sampai tiga kali, dan baru kali ini aku lihat kamu, makanya aku nanya"

       "aku memang baru, baru banget malah. Hari ini hari pertama kerja" jelas Satriya

        "oke, selagi di sini, jangan bosen kalo kamu bakal sering lihat aku" goda Disa sambil berpura-pura sedang berpose mengangkat 2 jarinya di depan muka. Namun yang digoda hanya tersenyum simpul lantas berpamitan hendak melanjutkan pekerjaannya. Disa kembali sibuk membaca sampai ada satu pesan singkat masuk ke hpnya. Sejurus kemudian Disa menyudahi acara solo nongkrongnya dan bergegas pergi meninggalkan kedai kopi. Sementara dari meja barista, melalui ekor matanya Satriya mengikuti langkah gadis itu. ia memang sedang sangat sibuk meracik pesanan para pengunjung, jadi dia maklum jika gadis itu pergi tanpa berpamitan dengannya. Hey...kenapa juga Satriya berharap Disa akan berpamitan padanya? Mungkin ada magis yang membuat nya begitu penasaran dengan gadis itu.

....


Segini dulu yaa, akan sangat seneng jika kawan-kawan mau memberi masukan dan kritikan yang membangun. maklum, masih belajar menulis. 

Semoga suka dengan ceritanya....

Love, SatriyaWhere stories live. Discover now