1.1

27 2 0
                                    

"Hujan Meteor Leonid ini terjadi karena komet Tempel-Tuttle. Komet ini mengelilingi matahari setiap 33,3 tahun sekali yang meninggalkan remah-remah debu di sepanjang jalur orbitnya. Nah, remah-remah inilah yang tertarik oleh gravitasi bumi, ketika bumi kita melintasi bekas jalur orbitnya. Jadi, guys, dua bulan lagi kita bakal ketemu sama si remah-remah Tempel-Tuttle ini. Who's exited?"

"Semua...." Jawaban serempak terdengar dari empat puluh orang yang berada di ruangan itu.

Elge, laki-laki yang berdiri di depan ruang pertemuan rutin mingguan komunitas itu menampilkan senyum lebarnya. "Oke, sampai jumpa minggu depan. Jangan lupa persiapkan diri kalian untuk Space Tour dua bulan lagi."

Semuanya kembali bersorak, melampiaskan rasa antusiasme yang tinggi untuk acara tahunan tersebut. Pengecualian bagi Rigel. Gadis itu tidak peduli. Menatap bagaimana Orion tampak tenang merapikan barang-barangnya adalah satu-satunya yang ingin Rigel lihat sekarang. Sekalipun, lengkungan bibirnya yang terlihat bodoh jelas terpasang di wajahnya.

"Liatin teroosss ..., kabur mati juga lo."

Rigel menatap Gemini, teman terdekatnya di komunitas ini, sambil berdecak. "Sirik aja, sih. Makanya, lo suka sama orang biar bisa ngerasain mekarnya beribu-ribu bunga Sakura bagaikan musim semi di hati-"

"Oyon lo pergi, tuh."

Rigel refleks menoleh pada bangku Orion, lantas merapikan barang-barangnya secepat kilat.

"Oyon, tungguin gue!"

"Gas terus, Gel, jangan kasih kendor. Ganti oli lo biar semakin di depan!"

Rigel tak lagi mendengarkan teriakan Gemini. Dengan kakinya, yang Orion bilang pendek, ia mencoba menyejajarkan langkahnya dengan lelaki jangkung itu.

"Oyon," Rigel membenarkan letak tali tas slempangnya sambil menatap Orion yang tengah berjalan sembari memainkan ponsel di sampingnya, "Space Tour nanti lo bakal ikut, kan?"

Tidak ada jawaban sama sekali.

"Pasti bakal seru banget. Gue gak sabar! Apalagi pas kita Space Tour nanti bakal ada hujan meteor. Gue bakal bawa binokular sama kamera. Gue bakal ikut astrofotografi kayak yang disaranin sama Bang Elge. Siapa tau gue beruntung kali ini. Iya, kan?"

Ketika lirikan mata Rigel bertemu dengan netra hitam milik Orion, sebenarnya Rigel tau makna tersirat dari dalamnya; diam. Namun, Rigel pura-pura tidak mengerti.

"Lo gak perlu khawatir, gue juga bakal daftarin lo di lomba itu, karna Auriga bilang, lo juga suka motret, kan? Gue yakin, kalo penilaian akhirnya dari jumlah like terbanyak lo pasti bakal menang."

Pun ketika Orion terlihat menghela napas penuh kelelahan, lalu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Rigel mengikuti dengan riang.

"Nanti gue bakal bawa snack yang banyak biar lo gak kelaperan. Gue juga ...."

Dan bla ... bla ... bla.

°°°

Namanya Orion. Tetapi, Rigel lebih senang memanggilnya Oyon. Mereka satu fakultas dengan jurusan yang berbeda. Namun, dengan rumah mereka yang berada di satu lingkungan perumahan yang sama, membuat Rigel yakin-dengan percaya diri-bahwa ini adalah jalan yang Tuhan berikan untuk kemudahannya mendapatkan Orion. Anggaplah memang pemikiran Rigel itu benar. Jadi, sekalipun rumah Orion berada di komplek sebelum rumahnya, Rigel dengan hati riang selalu menunggu pintu rumah Orion terbuka, menampilkan postur tinggi tegap terbalut kemeja yang selalu Rigel suka itu.

Beberapa menit menunggu, akhirnya Rigel dapat mendengar suara pintu teralis yang terbuka. Dengan cepat, ia membalikkan tubuhnya, dan Rigel tidak pernah merasa biasa saja saat melihat penampilan Orion selepas mandi di pagi hari. Selalu ada desiran yang tak mampu dijabarkan, ketika melihat rambut basah yang acak-acakan itu.

Ah, Rigel jadi semakin suka.

Buru-buru Rigel mengempaskan keterpesonaannya, dan berlari kecil menuju mobil Orion yang terparkir manis di carport.

"Selamat pagi, Oyon," sapa Rigel riang, setelah mendudukkan dirinya di kursi samping pengemudi.

Orion membalasnya dengan menyuapkan potongan sandwich ke dalam mulutnya, serta pandangan yang tak lepas dari buku tebal di tangan kirinya.

Rigel menundukkan kepalanya, mencoba membaca judul buku yang berhasil mencuri perhatian Orion darinya. Meskipun, hal ini memang lumrah terjadi.

"Python?" Rigel menggaruk kepalanya, sebelum beberapa saat kemudian memekik, "Ah, Python itu bahasa pemrograman yang ditemuin sama Guide van Rossum, kan?" Senyum pongah terpasang di wajahnya, menyadari ia mengetahui secuil informasi mengenai bidang yang digeluti Orion. Sekalipun, Rigel tidak benar-benar mengerti apa itu bahasa pemrograman. Satu detik, sebelum Orion berhasil mengubah raut angkuhnya menjadi melongo.

"Guido van Rossum."

"Ah, Guido, yeah." Rigel mengangguk-angguk seraya melarikan pandangannya ke luar jendela mobil yang masih diam. Yeah, setidaknya Rigel berhasil menjawab benar di dua kata terakhir nama si penemu.

Namun, situasi hening dimana Rigel benar-benar membungkam seluruh ocehannya hanya berlangsung selama kurang dari satu menit, karena kini perempuan berambut ikal itu sudah kembali merecoki Orion dengan serangkaian kalimat yang kebetulan berseliweran di otaknya. Dan tentu saja, Orion sudah terlatih dalam hal mengabaikan Rigel, sekalipun hanya membiarkan kata-katanya masuk ke telinga kanan untuk kemudian dikeluarkan melalui telinga kiri.

"Bang Elge bilang, di Space Tour kita juga bakal nobar. Gue sempet tanya nobar film apa, tapi Bang Elge cuma jawab kalo itu rahasia. Nyebelin, kan? Padahal nanti pasti ujung-ujungnya Bang Elge minta kita buat review filmnya, terus identifikasi mana yang fakta mana yang khayalan. Padahal, kan gue mau ngerjain sekarang-sekarang aja biar nanti-"

Celotehan Rigel terpotong oleh suara pintu belakang mobil yang terbuka, menampilkan sesosok anak lelaki berseragam putih-biru yang justru membuat wajah Rigel berbinar senang, alih-alih merasa terganggu.

"Selamat pagi, Auriga," sapa Rigel terlewat semangat, ketika bahkan anak lelaki itu belum sepenuhnya duduk dengan nyaman di kursi penumpang.

"Selamat pagi, Kak Rigel."

"Kamu, kok, makin hari makin ganteng, sih?"

Auriga tertawa kecil. "Temen-temen cewekku di sekolah juga bilang gitu."

Rigel kontan mencondongkan tubuhnya pada Auriga dengan raut terkejut. "Serius? Temen-temen cewek kamu lumayan pada genit juga, ya," komentarnya, seakan dirinya bukan bagian dari mereka. "Tapi, kalo Kakak seumuran sama kamu, Kakak juga pasti bakal suka sama kamu."

Auriga kembali tertawa, lebih lebar dari sebelumnya. "Jangan. Nanti abang cemburu."

Rigel tersenyum malu-malu. Tatapannya secara penuh berpindah pada Orion yang tampak tak acuh. Hingga tubuhnya yang tertarik ke belakang, ketika Orion menginjak pedal gas dengan kuat, membuat Rigel tersadar bahwa ia belum mengenakan sabuk pengaman, sementara sekarang mereka telah keluar dari area perumahan.

°°°°

970 words😊

Their Short JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang