Buku Bersampul Merah

0 0 0
                                    

Setibanya di rumah, Ace bergegas masuk ke kamar paling ujung yang lama tidak dia kunjungi. Sebulan sekali dia rajin membersihkannya, tidak lebih dari itu karena berlama-lama di dalamnya akan membuatnya larut dalam kesedihan. Dia tidak pernah siap dengan atmosfir kesedihan yang menyeruak kuat dalam bilik itu. Baginya ini seperti menorehkan luka baru pada bilur yang belum sempat mengering. Namun, Ace telah bertekad untuk melangkah dan menuntut keadilan bagi keluarga dan sukunya. Dendam yang dia pikul menguatkan hatinya untuk memutar kenop pintu dan memasukinya.

Sebuah pemandangan yang sangat dia hapal. Langit-langit rendah dengan warna putih membosankan, lemari tua, jam dinding yang berhenti berdetik, pena bertinta kering dan puluhan bandel berkas yang sengaja tidak dibereskan—usaha terakhir untuk mengingat ayahnya. Ace mengeraskan hatinya. Pemuda itu mendekati meja kerja ayahnya dan berusaha menemukan bukti-bukti lain yang barangkali bisa menguatkan asumsinya.

Lima belas menit Ace terdiam, menekuni lembaran berkas-berkas itu dan tidak berhasil menemukan petunjuk apapun. "Argh..." Dia menggeram, lalu menyurukkan kepalanya di antara lengan-lengannya dengan pipi menempel ke meja kerja. Ace yakin ayahnya pasti menyimpan rahasia besar, sayangnya pria itu tidak pernah menjelaskan secara detail tentang rencananya. Toh, saat itu dia juga terlalu kecil untuk memahami politik negara.

Ace mengangkat selembar kertas, membaca ulang kalimat-kalimat membosankan yang berisi berita acak yang hasil liputan ayahnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini. Pemuda itu nyaris kehilangan kesabaran dan hendak meremas kertas sebelum menemukan kejanggalan pada rangkaian kata dalam berkas itu.

Ace menegakkan punggungnya, mencondongkan kepalanya melihat sebuah kalimat yang terselip huruf lain. "Salah ketik!" pekiknya. Pemuda itu tahu kepribadian ayahnya dengan baik. Ayahnya itu sangat cerdas dan teliti, oleh karena itu Tuan Lakso selaku pemimpin pemberontakkan dua belas tahun lalu mempercayai ayahnya untuk memimpin pergerakkan pers. "Ayah tidak mungkin seceroboh ini. Lagipula, untuk menuliskan kata 'kelaparan' tidak perlu huruf 'i' di dalamnya." Serunya.

Semua itu tergambar secara jelas, Ace seakan tertampar kenyataan bahwa seluruh berita acak itu memiliki setidaknya satu kata salah ketik di setiap lembar. "Jenius!" tandasnya. Pemuda itu tidak menyia-nyiakan waktu, dia segera mengambil kertas kosong dan menyalin huruf-huruf itu dalam satu rangkaian kalimat.

UBIN KETIGA DARI KANAN

Ace berdiri sigap nyaris tersandung kaki meja. Dengan ujung sepatunya dia mengetuk-ngetuk ubin kamar sesuai dengan petunjuk ayahnya. Mendengar suara berbeda yang menandakan keberadaan ruang dibalik ubin itu, dia menendang dengan keras. Alhasil ubin itu terpecah dengan mudah.

Sebuah buku bersampul merah, kanan dan kirinya terdapat botol-botol berisi cairan berbau aneh untuk mengusir serangga. Ace terhentak sadar. Ayahnya tau bahwa dia akan mati, dia tahu akan meninggalkannya sendiri karena berita yang di bawanya pasti akan mengguncang pemerintah, oleh karena itu dia menyiapkan ini semua. Cairan pengusir serangga itu sering mereka gunakan di musim panas karena jendela kamarnya tidak bisa tertutup rapat. Dia takut berkas itu lenyap sebelum sempat terbaca olehnya. Ayahnya ingin Ace yang membongkar konspirasi ini.

"Baiklah." Dengan jari-jari kurusnya yang bergetar, Ace membuka lembar pertama buku itu. Peta, denah pemukiman Whitefall lebih tepatnya. Pada lembar itu, ayahnya menggambar rumah-rumah warga dengan kotak kecil sekaligus nama pemiliknya. "Graham, Thomas, Metias, Marx, Smith, June..." Ace mengernyitkan alis tidak paham. 

The Edge of CliffWhere stories live. Discover now