Tepi Jurang

5 0 0
                                    

"Rumah keluarga Graham terdapat angka '1' di pintunya, keluarga Thomas '5', Metias '3', Marx '7', Smith '2', dan keluarga June '4'." Ace mengulangi hasil yang mereka dapat dan menuliskannya pada denah pada buku bersampul merah.

"Lalu kelima rumah ini memiliki tanda X pada pintunya, sementara sisanya memiliki tanda O." Zoe bantu menguraikan teka-teki itu.

"Lalu rumah ini X, yang ini O..." Ace bergumam dengan tangan sibuk mencoret denah. "Dan rumahku sendiri memiliki tanda O." Ketika denah tersebut telah penuh dan setiap rumah diberi tanda, Ace mulai mendapatkan titik terang yang mengarah pada rangkaian benang merah. "Zoe, angka-angka itu adalah urutan kematian tujuh rekan ayahku! Lalu tanda X ada pada rumah-rumah kosong yang warganya mati karena wabah. Sementara rumah bertanda O masih ditinggali." Pemuda itu mengusap bulir air yang hampir menetes dari dahinya, entah air hujan atau keringat dinginnya. "Ini semua pola pembunuhan." Simpulnya.

Setelah menemukan kesimpulan itu, Ace mencari-cari petunjuk lain pada buku bersampul merah itu. Di antara lembar-lembar kosong, akhirnya dia menemukan menemukan selembar kertas berisi tulisan berantakan yang dicatat terburu-buru.

"Hari ini, Thomas berhasil menemui temannya di pusat kota. Sejak awal pembangunan saluran air minum yang diberikan pemerintah ketika konflik ini memanas memang mencurigakan. Aku menyangsikannya dan asumsiku berbuah kebenaran. Penelitian atas saluran air yang terhubung ke pusat memberikan penjelasan asal mula wabah. Smith dan Metias akan menemuiku untuk memberikan berkasnya, sementara Marx, Smith, dan June menghubungi pemimpin gerakan yang sedang merencanakan perlawanan." Ace membaca lamat-lamat tulisan ayahnya. Menekuni kalimat itu dengan jantung berdegup lebih cepat setiap katanya. Mengerikan.

"Genosida Suku Whitefall yang terencana." Zoe akhirnya bersuara.

Ace mengangguk cepat, "kita ke rumah Jame malam ini Zoe. Tidak ada waktu—" Ace terhenyak setelah menyadari gadis itu merespon hasil penyelidikannya dengan tenang. Dingin lebih tepatnya.

Sepuluh menit mereka menatap dalam kebisuan. Ace menegguk ludahnya menyadari kejanggalan yang terjadi seharian ini. Gadis di hadapannya berdiri menghadangnya, menatapnya datar seraya menyunggingkan senyum tipis.

"Kau aneh, Zoe..." Ace menyuarakan kecurigaannya. Pemuda itu terbiasa melihat sosok Zoe yang canggung dan ceroboh, suka meminta maaf, dan tidak berani menatap matanya terlalu lama. Lihatlah sekarang, netra coklat madu itu bahkan menantangnya. "Kau sudah tahu." Tuduhnya. Gadis itu terkikik. Sialan. Ini mengerikan.

Sesaat kemudian, Ace menyadari betapa cerdasnya Zoe yang menemaninya dalam penyelidikan. Dia berhasil mencongkel jendela dengan mudah, mengarahkannya pada petunjuk-petunjuk kecil, berbau obat serangga... Pupil Ace melebar. "Kau sudah ke rumahku untuk mencari ini, kan?" pemuda itu mengangkat buku bersampul merah. "Kau selalu menghilang selama dua jam sejak aku menyarankan kasus ini dibongkar kepada Jame. Berdalih membeli kopi dan kembali dengan alasan yang sama setiap harinya." Ace mendesis, "siapa kau sebenarnya?"

"Ceroboh seperti biasa, Ace." Gadis itu menghela napas, lalu membuang kaca mata bulatnya. "Aku sudah memberimu petunjuk sejak dua minggu lalu, tapi kau tidak memperhatikannya. Kau kurang pintar." Ujar Zoe dengan badan condong ke arah Ace dan jari telunjuk mengetu-ngetuk dagunya. "Yah semua permainan ini memang menyenangkan, tapi sayang aku memilih hari ini untuk mengakhiri segalanya."

Zoe menarik diri, berjalan ke pintu depan rumah Ace dan mengeluarkan pisau lipat yang entah sejak kapan ada di genggamannya. Degup jantung Ace melambat seiring dengan rasa dingin yang mengaliri tulang belakangnya. Harusnya pemuda itu lari atau melakukan apa saja untuk menyalamatkan diri. Namun, badannya yang kaku dan kakinya yang lemas membuat dirinya mematung di tempatnya. Sebersit ingatan tentang Jame muncul dibenaknya. Pria itu berusaha keras menghentikan usahanya untuk membongkar kasus ini, rupanya ucapan terakhir Jame bukan perintah ataupun permohonan, tetapi sebuah peringatan.

Zoe bertepuk tangan riang saat memperlihatkan pekerjaannya dengan pisau lipatnya. "Tara!" Tanda O pada pintu rumah Ace berganti X dalam sekejap. Ace meneguk ludah sekali lagi saat Zoe berdiri menghadapnya sembari memainkan pisau lipatnya. Dengan kaki yang bergetar Ace berusaha bangkit dari posisinya sementara matanya menatap nyalang netra coklat madu itu, pikirannya memunculkan denah dan beragam rencana untuk kabur. "Lari anjing kecil, larilah..." Zoe berbisik.

Ace berdiri mendadak, lalu mengambil langkah panjang membelakangi Zoe untuk melarikan diri. Dengan tiga langkah panjang dia hampir saja melompati pagar rumah lalu dan berencana menyebrangi perempatan lalu berlari ke pos keamanan distrik yang terletak tak jauh. Namun siapa sangka rencana itu tetap menjadi rencana. Kerah baju Ace ditarik dengan kuat hingga membuatnya terjengkang. Dengan kepala pening menghantam tanah Ace bisa melihat Zoe berada di belakangnya. Gadis itu mengambil lengannya, menyeretnya dengan mudah seolah perbedaan bobot tubuhnya bukanlah masalah.

Ace memberontak dengan kuat berusaha memelintir lengan kurus Zoe. Sampai gadis itu membelit dengan ahli, menepis pukulannya tanpa usaha dan mengambil tangan kanannya yang dijepit dengan tangan lainnya hingga mati rasa dan –KRAK.

"Arghh!" Ace menjerit putus asa. Pemuda itu menyadari dengan cepat bahwa keahlian ini bukan sesuatu yang bisa dilawannya. "Bajingan," dia menggeram, netra abu-abu gelap itu membelalak sementara badannya bergetar menahan amarah. "Siapa kau sebenarnya?!"

"Aku?" Zoe menelengkan kepalanya, lalu mengerjap beberapa kali sebelum menjawab riang dengan kibasan tangan, "hanya gadis culun biasa." Setelahnya petir panjang menjulur di langit, suara gunturnya datang beberapa detik menandai kematiannya. "Nah, Ace hari ini badai datang. Dengan suara sekencang itu, tetanggamu pasti tidak akan mendengar keributan tadi. Membersihkan mayatmu akan lebih mudah."

The Edge of CliffWhere stories live. Discover now