"Dasar pengemis najis! Cuih!"
Ludah adalah makanan sehari-hariku, kesana kemari aku dimaki dan diludahi bak binatang jalang yang penuh dosa. Sumpah serapah selalu keluar dari setiap mulut manusia yang biasa melihatku mondar-mandir setiap hari. Kenapa aku masih bertahan? Entahlah, sepertinya diri ini telah terbiasa memakan semua sampah sisa pembuangan makhluk yang bernama manusia yang terkadang mereka lebih hina dari anjing yang sering kutemui mengais sisa-sisa dari tempat pembuangan.
Tepat sang surya berada pada titik puncak sebuah kepanasan yang menusuk begitu menyakitkan kedalam kepala, yang sering dikatakan neraka sedang bocor, aku menepi dari keramaian dan berteduh dibawah sebuah pohon besar nan rindang yang tak jauh dari jalan dan masih dilalui banyak makhluk materialis. Dari sini aku bisa mengamati berbagai macam manusia gila harta yang begitu mencintai hal-hal duniawi yang membuat jiwanya kosong. Kau tahu mainan robot murahan yang dijual di lapak-lapak mainan pinggir jalan? Ya, seperti itulah mereka, bergerak dan bekerja dengan rutinitas yang itu-itu saja lalu panik ketika baterainya habis dan berhenti mendapatkan uang.
Kau tanya aku? Ya, mungkin aku lebih hina dari mereka dengan mengais sisa-sisa yang mereka buang atau merengek untuk diberi sedikit dari apa yang tersimpan di kantong mereka. Aku pun sudah kenyang dengan hinaan-hinaan yang terlempar, jadi sia-sia saja kau menghina atau mengaggapku lebih hina, tak akan merubah hidupku. Aku hidup dengan menikmati semua pertunjukkan ini, mereka semua lucu sekaligus menyedihkan, pun aku juga sering menertawakan hidup mereka yang begitu membosankan sambil melihat tingkah mereka ketika kehabisan "baterai" atau sedang mengalami kesusahan.
Seperti itulah hidupku saat ini, muak dengan semua kebusukan dunia dan memutuskan untuk terpinggirkan sambil menertawai dunia. Pun juga tidak ada yang peduli padaku dan diriku tak akan mampu merubah dunia yang memang seperti ini adanya. Hingga suatu saat, ketika mataku menatap kekosongan, seperti biasa hati pun berharap kosong pula, hidupku berubah. Seseorang menghampiri dan aku belum pernah melihatnya. Pak tua berbadan tambun yang kulihat masih kuat bertahan namun mungkin tak lama lagi akan kalah dengan usianya. Tatapannya teduh dengan senyum tipis yang terhias di wajahnya.
"Ini pak ayo makan sama-sama" dia menodongkan nasi bungkus.
"Hei pak! Hewan najis macam dia nggak usah dikasih makan! Keenakan dia!" teriak salah seorang di seberang jalan, namun pak tua itu hanya tersenyum sambil mengangguk, dan lagi, tak ada yang peduli. Aku menerima suguhannya dan kita makan bersama dibawah teduhnya pohon rindang. Pak tua itu makan dengan lahap, sedangkan aku makan biasa-biasa saja hingga akhirnya dia sadar dan berkata, "Ayo dimakan yang lahap, nggak suka?" Aku tidak menjawab dan kembali melanjutkan makan. Makanan kami telah tandas dan kami saling menyandarkan punggung di batang pohon, beristirahat sambil menunggu makanan turun ke perut.
"Air?" Dia menawarkan padaku.
Aku pun menerima dan meminum beberapa teguk, segar membasuh kerongkongan ku dan rasa lega memenuhi tubuh. Seolah tahu apa yang kurasa, pak tua itu menimpali.
"Nikmat ya? Beginilah hidup, selalu nikmat dan dunia selalu memberi kejutan setiap harinya."
"Kenapa kamu memberi ku makanan? Aku belum pernah melihatmu? Kamu siapa?"
"Maaf?" Pak tua itu terlihat heran, antara aku yang berbicara dan pertanyaan ku yang bertubi-tubi.
"Kamu orang miskin kan? Lantas kenapa kamu memberiku makanan? Kenapa nggak kamu urus sendiri perutmu itu? Alih-alih mengurus perut orang yang bahkan tidak kamu kenal."
Pak tua itu tersenyum, senyum yang membuatku heran, kaget, marah dan penasaran.
"Kenapa kamu tersenyum? Jawab pertanyaan ku!"
Dia pun kembali ke posisi awal dia duduk, sambil menatap ke depan, jalanan yang dipenuhi kendaraan dan manusia lalu-lalang, lalu dia menghela nafas panjang dan berat. Nafas yang aku tahu dia telah melalui perjalanan hidup yang panjang dan jatuh bangun kegagalan dan kehilangan.
"Kenapa aku memberimu makanan? Aku adalah penjual topi anyaman, hari ini jualanku habis dan aku bisa makan enak lalu kebetulan melihat mu dari jauh, ya sudah aku belikan sekalian."
"Nggak mungkin, nggak mungkin kamu memberi hanya karena kebetulan , hei pak tua! Kamu lihat orang yang disana kan? Dia mati-matian mencari uang dan menyimpanya tanpa diberi ke orang lain sekalipun anaknya! Yang disana, dia mencari uang mulai dari gelap hingga gelap, itu pun nggak seberapa! Yang disana, itu, dia, mereka, semua mencari uang dengan susah payah dan kamu dengan mudahnya memberi ku makanan! Dunia ini tidak semudah membalikkan telapak tangan pak tua! Kamu miskin tetapi kenapa kamu masih memikirkan perut orang?!"
Pak tua itu kembali menghela nafas Panjang,
"Aku tahu hidupku sudah tak lama lagi, aku juga tak punya siapa-siapa lagi, pun jika aku mau aku bisa mati kapan pun karena kelaparan. Namun, di sisa hidupku yang tak berguna ini, setidaknya aku ingin mati tenang dengan melihat orang bahagia, setidaknya aku berguna untuk orang lain, setidaknya itulah ucapan terima kasih ku kepada dunia yang telah membiarkan ku hidup dan mendapatkan berbagai cerita buruk hingga baik. Hidup memang tak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi, dengan melihat orang tersenyum saja telah membuatku bersyukur akan hidup yang telah diberikan. Hiduplah!"
Dia pun bangkit dan berjalan menjauh, masuk kedalam kerumunan dan hilang ditelan keramaian. Meninggalkan sebotol air yang tinggal setengah isinya. Fikiranku menggantung di udara, beserta asap jalanan. Terbang tinggi ke angkasa menembus kubah pembatas, lalu tiba-tiba dadaku terasa sesak dan berat, terpukul begitu menyakitkan. Tak lama setelah pak tua itu pergi, datang seseorang mengejekku.
"Enak ya dapet makan gratis! Kerja sana! Cuih!"
Semakin diejek, akalku semakin kacau, liar, jiwaku goncah dan fikiranku membuncah keluar bak dam yang dibuka pintu airnya. Hingga pada suatu titik, semua lamunanku berhenti, fikiranku berhenti begitu pula jiwaku berhenti. Semua ini menyadarkanku. Sontak aku mengeluarkan ponsel yang kusembunyikan, menelepon seseorang.
"Jemput aku disini. Sekarang."
"Bukannya sekarang lagi banyak orang? Nanti ketahuan"
"Jemput saja."
Panggilan kututup dan kulihat orang yang daritadi menghina dan meludahiku berhenti terheran-heran. Namun kulihat ekspresinya telah berganti marah dan murka.
"Dasar sampah! Bajingan! Tai!"
Aku pun ditendang, dipukul dan dianiaya habis-habisan. Namun aku tetap diam menerima itu semua hingga pada akhirnya ia mengencingiku. Aku pun tetap diam menerima itu semua. Setelah selesai aku pun bertanya.
"Sudah selesai? Ini, ambil saja, itu ponsel pintar mewah keluaran terbaru, ambillah aku sudah tidak butuh."
Tak lama setelah itu, mobil sedan hitam melaju pelan dan berhenti di depanku, pintunya terbuka dan aku berjalan masuk ke dalam mobil. Banyak orang melihat kejadian itu, ada yang shock, ada yang melongo, ada yang marah dan ada yang mengeluakan kata-kata ajaibnya kepada ku.
Mobil pun segera keluar dari area itu dan melesat jauh ke jalan raya. Meninggalkan kumpulan manusia buta yang gila harta.
"Kok tumben?"
"Aku mau berubah."
"Oh. Terus sekarang?"
"Bagikan saja hartaku kepada mereka yang benar-benar membutuhkan dan layak untuk diberi."
"Laksanakan, bos!"
Dwiki Rikus Darmawan
Wuxi, 2 Januari 2020