Aayden bener-bener nggak ada waktu buat komplain masalah perjodohan ini ke mamanya. Apalagi ayahnya. Aayden udah terlalu sibuk ngurusin masalah kerjaan, mantau laporan akhir tahun dan semacamnya. Itu udah cukup bikin kepalanya pusing.
Aayden udah cukup pusing, so nggak perlu ditambahin lagi sama urusan yang makin nggak penting macam pernikahan konyol hasil perjodohan kedua orang tuanya ini.
Jangan salah,
Walaupun zaman sekarang adalah era, dimana demokrasi bisa dicuitkan untuk dijadikan bahan gembar-gembor dalam platform manapun, Aayden masih tetap merasakan fakta bahwa demokrasi anak di mata orang tua itu sama sekali nggak ada harganya. Mendebat perintah mama, selaku orang yang sudah mempertaruhkan nyawa demi melahirkan anak ke dunia, itu hukumannya setara dengan dosa menyembah telapak kaki dajjal.
DOSA BESAR.
Memperjuangkan hak asasi manusianya sebagai anak semata wayang yang sudah dewasa dan mandiri hanya akan buang-buang waktu dan cuma bisa bikin Aayden rugi tenaga. Jujur aja, percuma Aayden dididik untuk jadi anak cerdas dengan wawasan luas dan pola pikir terbuka kalau nyatanya perkataan orang tua tetap dijadikan sumber hukum paling tinggi hingga mengorbankan anak sebagai kaum tertindas.
Memang.. Tujuannya akan selalu mengarah ke apa yang seluruh orang tua di dunia ini sepakati..
Kebaikan.
Aayden selalu sadar seratus persen akan niat baik seluruh orang tua di dunia ini. Bahkan, Aayden sangat jarang mengkritik tentang kesalahan orang tua manapun karena menurutnya, argumen sesengit apapun akan terasa hambar dengan sanggahan 'Orang tua juga manusia. Orang tua juga butuh belajar.'
Well.. there he can't help.
Oleh karena itu, Aayden ngeiyain aja pas mamanya setuju sama rencana suaminya untuk ngejodohin anak laki-laki sematawayangnya dengan anak perempuan salah satu koleganya. Berdasarkan hasil pengamatan mata Aayden, Rosianne udah bukan sekedar setuju lagi. Melainkan, mamanya tercinta udah sampai ke tahap excited yang berlebihan waktu tahu kalau dia bakalan punya anak perempuan.
Yup. Anak perempuan. Bukan cuma sekedar calon mantu biasa. Seketika Aayden ngerasa mual dengan anggapan berlebihan mamanya. Walaupun sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, Aayden bisa memaklumi.
Rosianne cuma punya Aayden sebagai anak semata-wayang karena kesibukan Jay di kantor. Walaupun Aayden selalu paham kalau mamanya kerap kali kesepian saat dua laki-lakinya nggak biasa ada di rumah, Aayden juga nggak bisa ngelakuin hal semacam nemenin mamanya sepanjang hari di rumah. Aayden udah pasti bukan anak kecil lagi. Ada tanggung jawab yang harus Aayden pikul, begitu juga ayahnya.
But, no. In his father's case, at so many points, Aayden could see that he really didn't want to try.
Agak males sih ngebahasnya..
Aayden merasa bahwa Jay bukannya nggak bisa meluangkan waktu, tetapi pada dasarnya ayahnya itu memang nggak mau meluangkan waktu.
Ayahnya sama sekali bukan pebisnis berhati mulia, apalagi pecinta keluarga, yang mau sengaja meluangkan waktu untuk anak istri di rumah. Semenjak Aayden kecil, Aayden udah terbiasa dengan ketidak-hadiran sosok ayah dalam kesehariannya. Even just for playing a little silly game, Jay nggak ada. Mungkin anak laki-laki lain punya --setidaknya- satu pengalaman merengek ke ayahnya untuk dibuatkan pesawat dari kertas. Unfortunately, Aayden nggak pernah merasakan pengalaman itu.
YOU ARE READING
Sanctuary
Ficção GeralChelsea Joseph terjebak di pernikahan ini karena perjodohan yang diatur ayahnya. Chelsea dijodohin. Oh, bukan. Lebih tepatnya di jual ke keluarga kolega bisnis ayahnya yang katanya 'seberharga' itu. Konon katanya, keluarga itu memiliki putra semata...