Suda Jatuh Teritimpa Tangga Pula

25.4K 4.1K 309
                                    


TYPO BERHAMBURAN!

Aku menggaruk betisku. Nyamuk jaman sekarang memang luar biasa ganas. Bahkan bisa menyusup ke balik gamis demi makan malam.

Tukang sate di depanku -- Pak Rojiun, begitu kami biasa memanggilnya -- kini berjibaku dengan kipas dan asap yang berasal dari arang. Sate kambing  adalah menu makan malam yang harus kusiapkan setiap malam kamis untuk Bapak, karena beliau mengatakan  bahwa tidak akan tidur nyenyak dan pasti mimpi buruk jika belum menyantap olahan daging dari hewan yang biasa mengembik itu.

"Dua porsi, Neng?" Aku mengangguk menanggapi Pak Rojiun. "Bapak sudah lama tak ke sini. Sehat beliau?"

"Alhamdulillah sehat, Pak."

"Alhamdulillah. Aku sempat lihat Bapak kemarin, keluar dari sekolah, tapi tak sempat menyapa. Beliau buru-buru."

Sepanjang ingatanku, Pak Rojiun telah berjualan lama sekali di daerah tempat tinggalku dan keluarga kami menjadi pelanggan tetapnya. "Itu kapan, Pak?"

"Siang itu. Pulang sekolah anak-anak."

"Oh, itu kan jam makan siang, Pak Roji." Aku terkekeh begitupun Pak Rojiun. "Dan Bapak nggak boleh telat makan. Nanti galau." Kali ini Pak Rojiun terbahak-bahak mendengar guyonanku.

"Oalah ... iya ... iya. Tapi berarti Bapak makan dimana, Neng?" tanya Pak Rojiun setelah berhasil menguasai tawanya.

"Di rumah."

"Lah, Neng kerja kan?"

Aku tersenyum, bekerja bukan berarti tidak bisa menjamin makanan terhidang di meja makan. "Iya, tapi biasanya sudah saya masakin buat Bapak. Jadi pas Bapak pulang tinggal dipanasin dan disantap."

Kilat prihatin terpampang nyata di wajah Pak Rojiun. Beruntung aku sudah kebal, jadi hanya menyunggingkan senyum tipis, pertanda tak ingin membahas lebih lanjut hal-hal yang berkaitan pribadi dengan hidupku. Kepergian Ibu enam tahu  lalu menjadi rahasia umum yang tak lekang waktu di kampung kami.

"Mau acar juga?" tanya Pak Rojiun setelah membungkus pesanan.

"Boleh, Pak. Timunnya lebih banyak ya."

"Sip ...!" Dengan cekatan Pak Rojiun membungkus acar untukku.

"Kamu beli sate?" Aku terlonjak dan menoleh penuh rasa kaget pada Hajid yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku. "Yara ...! Hallo ...?"

"Aku nggak budek!" sentakku ketus dan langsung menyesal karena respon orang-orang di sekelilingku. Bahkan pak Rojiun pun berhenti mengipas satenya. "Pak nanti satenya hangus," aku menegur spontan.

"Eh, hehe ...." Pak Rojiun nyengir salah tingkah, lalu kembali mengipas sate untuk pelanggan yang lain.

"Kamu masih galak ya." Hajid terkekeh dan aku mendelik kesal.

"Berapa, Pak?" tanyaku pada pak Rojiun.

"Aih, si Neng bercanda ya?"

"Kok bercanda? Saya kan tanya harga, Bapak."

"Kan biasanya beli di sini. Harga belum naik, Neng. Jadi kayak biasa."

"Dua pulih lima?"

"Iya, Neng geulis."

Dengan muka merah padam aku membuka dompet, lalu mengambil uang lembaran dua puluh ribu dan lima ribuan. Aku mengulurkan pada Pak Rojiun yang langsung menangkat tangannya yang sedang memegang kipas dan tusuk sate.

"Lagi sibuk aku, Neng. Kasi ke Ibu saja. Tumben sekali mesti aku yang harus nerima uangnya."

Jika tadi mukaku merah padam, sekarang rasanya seperti  terpanggang, seolah menggantikan sate-sate yang sedang dikipasi Pak Rojiun. Aku memang tolol, tapi bagaimana lagi. Mengambil pesanan dan membayar pada istrinya itu berarti aku harus melewati Hajid yang berdiri dekat dengan tempat istri Pak Rojiun berada. Ditambah ukuran trotoar di depan gerobak Pak Rojiun yang sangat kecil, sedangkan bahu jalan dipenuhi motor yang diparkir. Tidak mungkin melewati Hajid tanpa berpegangan atau berbicara agar dia sedikit menyingkir memberi jalan.

Tetangga SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang