Tameng

23.9K 4.1K 197
                                    

Jadiii ... cerita ini buanyak banget typo sama plot holenya, wkkwkwk ... aku beruntung punya kalian, reader2ku yang teliti dan sayang, jadi berkat komen2 kalian, aku tau letak salahnya dan terbantu banget pas revisi. Maaci ... muach 😘😘😘

Btw versi wp tetap akan kubiarkan amburadul kayak gini, tapi buat buku sama ebooknya udah dibenerin donk, hahay.

Dan ... besok aku post ending-nya, soo ... stay tuned 😎



Aku duduk di kursi teras dengan gelisah, sambil memperhatikan layar ponsel yang masih mati. Aku berusmpah akan mengubur diri jika sampai Habib tidak datang menjemputku pagi ini. Demi apapun, aku sudah membombardirnya dengan permintaan tolong yang lebih mirip mengemis sejak semalam. Harga diriku benar-benar dipertaruhkan pagi ini.

Hajid sudah duduk tenang di kursi teras rumahnya. Ada cangkir kopi dan koran yang menemani, tapi lelaki itu sama sekali tidak sibuk dengan kedua benda tersebut, karena kini--meski tak menoleh--aku tahu bahwa dia sedang memperhatikanku.

Ini kekanak-kanakan dan sangat menyebalkan.

Sepertinya, mulai hari ini aku harus mulai memikirkan ulangan ajakan beberapa teman lelaki yang ingin menjadi pacarku. Karena rasanya tidak mungkin terus menerus mengharap bantuan Habib sebagai tameng.

Aku kembali melirik pada Hajid. Lelaki itu menggunakan kaus hitam lengan pendek, yang terlihat kontras dengan kulitnya yang cerah. Celana selutut digunakan sebagai bawahan, tanpa alas kaki. Ya Tuhan, bukankah aku sedang sangat kesal padanya? Lalu kenapa aku malah memperhatikan penampilan lelaki itu.

Mendengkus kesal, aku kembali memperhatikan layar ponsel yang masih gelap.  Aku telah mengirim pesan kepada Habib sekitar setengah jam yang lalu. Empat pesan yang memberikan tanda centang biru, tanpa balasan, dan itu mulai membuatku panik.

Jangan sampai Habib tidak menjemputku. Aduh aku pasti akan menangis darah jika Hajid sampai melihat kengenesan itu.

Keteganganku sedikit terbagi saat Bapak keluar dari rumah dengan menenteng tas selempangnya dengan tangan sebelah kanan, dan kunci motor di sebelah kiri. Beliau kemudian mengambil tempat  duduk di kursi seberangku.

"Mukanya tegang banget." Bapak  berujar sekilas lalu mulai mencari letak sepatunya.

Aku sudah hapal gelagat Bapak ini. Meski ada rak sepatu di teras, Bapak tidak pernah meletakkanya di sana. Alhasil, setiap pagi beliau sering lupa tempat menaruhnya.

"Biasa aja," jawabku datar. "Nyari sepatu ya?"

"Kok tahu?" tanya Bapak yang kini sudah memutar badan agar bisa memperhatikan isi rak sepatu. "Nggak ada di rak sepatu itu."

"Gimana mau ada, orang sepatunya di bawah Bapak."

Bapak berdiri, lalu kembali duduk. "Kan nggak ada?"

Aku hanya bisa menggeleng pasrah. Ternyata pendapat  sebagian orang benar, bahwa orang tua saat semakin menua, kelakuannya kadang kembali seperti bocah. "Bukan Bapak dudukin."

"Terus?"

"Di bawah kursi Bapak."

Bapak kali ini membungkuk dan mengambil sepatunya. "Eh, benar. Kok bisa ya?"

"Orang Bapak taruh di sana kemarin."

"Masa? Seingat Bapak, sepatunya tak taruh di rak sepatu."

"Memangnya kapan Bapak merasa nggak naruh sepatu di rak?"

Bapak cengar-cengir mendengar sindiranku. "Duh, cepat banget sih kesalnya. Tambah tegang ya?"

Aku cemberut pada Bapak yang kini tengah berjuang memakai sepatu. Perut Bapak yang buncit membuatnya tidak bisa berjongkok untuk mengikat tali sepatu dengan leluasa.

Tetangga SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang