Bagian 1 (Balada Jiwa Muda)

16 1 0
                                    

Hari hari yang kulalui terasa berat dan sesak, hanya penderitaan yang aku dan keluarga ku rasakan. Tiap hari terasa berat dan berpeluh tak pernah kubayangkan suatu hal yang besar daripada kegiatan bercocok tanam sehari hari. Nama ku Bejo seorang anak yang lahir dari keluarga petani yang tertindas oleh kaum asing yang semena mena. Tiap hari mereka bekerja keras demi keuntungan antek antek asing. Mereka memberi nama ku ini bukan tanpa alasan, mereka berharap anak mereka ini akan memiliki kehidupan yang lebih beruntung ketimbang orang tua nya. Tapi apa yang kurasakan? Aku hanya bekerja dalam pengawasan asing bersama kedua orang tua ku. Setiap hari yang aku dan mereka kerjakan hanya mengurus sawah yang hasilnya tidak bisa kami nikmati, miris memang tapi kita punya pilihan selain menuruti keinginan asing karena jika kita tak menurutinya kita akan ditembak mati ditempat atau diasingkan karena dianggap penghianat.

Dalam jiwaku sebenarnya bergejolak rasa ingin memberontak tetapi lingkungan ku menyarankan diriku untuk berdiam diri. Ahhh hal ini hanya membuatku delima karena miris dengan keadaan yang seharusnya bukan begini. Tindakan yang semena mena dari pihak asing terhadap orang orang terdekat ku membuat api semangat untuk memberontak selalu aku jaga dan hal itu yang membuat semangatku semakin membara. Suatu waktu aku berusaha melawan mereka yang mencoba menindas ibuku, dengan semangat dalam jiwa ku kulancarkan pukulan ku tepat ke wajahnya. Pukulan telak itu membuat kaget orang disekitarku, serta aku pun hanya bergeming dan berpikir apakah ini akhir dari diriku? Segera setelah itu aku ditangkap oleh tentara asing lain yang ada disana. Aku pun pasrah saat ditangkap dan saat aku dibawa aku menoleh kebelakang dan melihat ibuku yang menangis tersedu sedu sambil ditenangkan oleh bapak. Beberapa saat kemudian tentara asing itu memukulku dan hanya gelap yang aku rasakan.

Saat ku terbangun aku berada di ruangan gelap dan hanya ada satu lampu untuk menerangi dan lampu itupun terlihat sudah redup dan akan mati. Aku sadar bahwa aku duduk bersama seseorang diruangan ini. "hei! anak muda kenapa kau melakukan itu?" dengan sedikit membentak dia bertanya kepadaku dengan logat khas Londo. Aku hanya diam, dalam hatiku berkata cihh dasar orang orang hina tak tau malu dengan pertanyaan konyol itu apa dia tidak menyadari perbuatannya kepada kami rakyat kecil? "Hei!! Apa kamu tuli?" dia berteriak sembari menarik kerah bajuku "Memang tuan mau apa kalau saya tuli?" Jawabku tanpa ada rasa takut. Seketika itu juga dia melepaskan tangannya dari kerah bajuku, aku merasa lega ternyata dengan gertakan kecil seperti itu dia melepaskan tanganya. "bawa dia ke ruang penyiksaan" katanya sambil pergi meninggalkanku. Tak berapa lama 2 orang tentara masuk dan kembali lagi aku merasakan kegelapan itu lagi.

"Bangun monyet disini kau bukan buat tidur" kata seorang tentara "bangun orang lemah" lanjutnya sembari memukul perutku. Aku merasakan sekujur tubuhku terasa lemah dan kedua tanganku di ikat, sepertinya aku telah lama berada ditempat ini. Aku hanya merasakan kesakitan yang diterima oleh badanku tetapi jiwaku membuat ku memiliki harapan untuk hidup. Seorang prajurit masuk dengan tergesah gesah menuju orang yang memukuli ku "kapten..... pasukan kita kapten" katanya. "ada apa cepat katakan?" balas kapten itu. "pasukan Purwawira kapten mereka telah masuk dan menyerang gudang senjata beserta barak saat pasukan kita tertidur" dengan cepat dua orang itu meninggalkanku dan yang bisa aku lakukan hanya bergantungan. Beberapa saat kemudian ada sekelompok orang kira kira mereka seumuran dengan ku mereka bergerak mendekatiku. Diriku yang lemas hanya bisa diam dan menunggu apa yang ingin mereka lakukan padaku. Ternyata mereka melepaskan ikatanku dan seorang dari mereka menggendongku dan pergi menjauh dari sana menggunakan truk.

Sepertinya aku sudah berada disana cukup lama hal ini ku lihat dari suasana saat aku ditangkap dan setelah aku dibebaskan mungkin aku disana sudah ada 13 jam. Kemudian aku sadar ternyata aku tidak mati dan di selamatkan oleh orang orang ini. Pasukan Purwawira? Siapa mereka? Mengapa mereka menyelamatkanku? Pernyataan pernyataan itu terngiang ngiang dalam benak ku, tapi apa daya tubuh ini lemas karena banyaknya pukulan dan siksaan fisik yang diterima. Jiwa ku bersorak kegirangan karena tidak hanya aku yang pasrah dengan keadaan ini. Mereka mendudukan ku pada kursi bak truk dan seorang yang lain memberiku air untuk minum. "Sopo, Jenengmu?" tanya seorang di pojokan truk itu "Jenengku Bejo... Bejo Kuswadi" Jawabku setelah aku meneguk air. "Oalah, Jenengku Sardi" orang itu mendekat padaku sambil mengulurkan tangannya, tak segan segan aku segera menggenggam erat sambil menjabat tangannya "terimakasih lho mas kalo tadi sampean nggak dateng mungkin aku sudah jadi mayat". Orang itu hanya tersenyum saat mendengar perkataanku, "sebenarnya Purwawira kesana hanya ingin mengambil perbekalan dan amunisi Belanda aku sendiri ndak nyangka kalo ada orang yang disiksa di gudang senjata kayak gitu". Sejenak aku terdiam dan memikirkan kejadian yang telah aku alami tadi, sepertinya orang orang kampungku tidak pernah membantah para mandor dan dan tentara Belanda karena konsekuensi yang cukup berbahaya. Aku rasa baru aku saja yang berani menjawab dan memberontak pada Belanda sehingga mereka ingin membunuhku secara perlahan.

"Mas Sardi, Ngapunten iki aku sebenarnya sudah muak dengan para Belanda yang memperlakukan kita seperti sapi pembajak sawah, tiada hari tanpa bercocok tanam dan disiksa belum lagi pajak tanah yang begitu membelit orang di kampungku mas. Aku ingin berjuang dengan sampean dan kawan kawan Purwawira agar Belanda tidak semena mena lagi dengan kaum pribumi" ujarku dengan semagat berapi api hingga tak kusadari luka luka yang tadi aku dapat. Sardi menoleh ke teman temannya dan mereka memberi isyarat anggukan "yo wes mulai sekarang kamu adalah bagian dari Purwawira, dan sebelum kamu berjuang kamu harus latihan memegang senjata dan pencak silat agar kamu bisa membela kaum kita yang tertindas". Setelah itu kami panjang lebar berbicara tentang hal yang pernah mereka alami ketika bergerilya melawan Belanda. Mereka bercerita ketika itu di pinggiran desa dekat bantaran kali Surabaya, Belanda menawan semua penduduk desa itu untuk dijadikan buruh kasar di perkebunannya. Saat dalam perjalanan mata mata Purwawira menyamar menjadi penduduk desa itu dan melakukan pembajakan pada truk pengangkut itu. Dan beberapa orang Purwawira adalah pemuda dari desa itu termasuk Sardi, aku yang mendengar cerita itu sangat takjub dengan keberanian mereka dalam melawan Belanda tak kusangka masih ada orang dengan jiwa kuat dan berani di tengah tengah penjajahan Belanda.

Tak terasa truk kami sampai di sebuah pedesaan yang kecil namun cukup padat dan orang orang di desa ini semuanya memegang senjata, ada yang memegang pistol, bedhil, clurit, dan masih banyak lagi. Ketika kami turun merek semua mendekat dan saling memeluk "Mas Sardi itu sopo tho?" tanya seorang gadis yang tadi memeluknya "iki dek jenenge Bejo" jawabnya sambil merangkul pundak ku. Ternyata pasukan Purwawira juga menampung wanita dan anak anak, aku kira hanya laki laki saja yang menjadi anggotanya. "jo Bejo ini adik ku namanya Ayu panjangnya Ayu Nirmala" ujar Sardi sambil mendorongku ke arah gadis itu. Aku mengamati wajahnya yang lonjong dengan mata yang sayu namun begitu cantik, kulitnya yang sawo matang dan rambutnya yang hitam diikat membuatnya semakin manis dalam parasnya. "mas? Mas Bejo?" suara gadis itu menyadarkanku dari lamunan takjub ku kepadanya "namaku Ayu bagian kesehatan disini" lanjutnya "eh iya aku Bejo... Bejo Kuswadi orang baru hehe" jawabku dengan sedikit gugup karena belum pernah aku melihat wong wadon berparas cantik seperti dia "lho jo rasah ndredeg adik ku lho nggak ngapa ngapain kamu, kok kayanya kamu terbatah batah kaya jawab Belanda" ujar Sardi menggoda ku. Aku hanya tersenyum kecut dan mereka mengajak ku ke balai kesehatan.

Miris sekali melihatnya, korban perang melawan Belanda mengakibatkan luka yang sebegitu parah. Timah panas yang ditembakan ke Pribumi membuat luka yang sangat dalam, beberapa dari mereka buta atau kehilangan sebagian anggota tubuhnya. Marah dan sedih menjadi satu dalam hatiku, begitu jahatnya Belanda memperlakukan kami. "Jo ini lho korban penyiksaan dan korban ketika Purwawira berperang" ujar Sardi, raut wajah dan matanya yang tadi tegas bergembira sekarang berubah menjadi sedih kelabu. Mungkin memang seharusnya aku berjuang dengan mereka, aku sudah muak dengan keadaan ini dan tak akan ada lagi luka atau derita yang ada hanya lawan.

Dara JuangWhere stories live. Discover now