Bagian 3 (Pabrik Tembakau dan Jabatan)

13 0 0
                                    

Ketika perjalanan di bak truk kami bergurau ria "Jan kok ancen asu, biyen ki londo senengane ngepek garwo ne wong kok. Biyuh biyuh mandor londo ki njaluke opo to?" ujar seorang kawan yang mengeluh karena dulu istrinya di rebut oleh mandor Belanda. "Walah koe iki tau due garwo ta Jad? Takiro mbiyen awakmu mbujang amarga ra eneng seng arep karo koe" Timpal seorang yang lain sambil meledek bahwa dikira dulu dia belum menikah karena tak ada yang mau dengan dirinya. Ledekan dan guyonan tiada henti kami lontarkan satu sama lain. Rasanya senang sekali di keadaan seperti ini tak ada yang namanya tangis atau derita. Aku harap keluargaku disana masih bisa merasakan hal yang seperti aku rasakan ini. "Jo Bejo" teriak Sardi di kursi depan truk, akupun segera mendekati kaca pembatas antara tempat kemudi dan bak "Nopo mas? Ada apa sampeyan manggil saya?" tanyaku "ngene Jo di Bojonegoro itu banyak mata mata Londo, aku cuma mau kamu hati hati jangan sampai kamu ketauan Jo, kalo ini sampe gagal mungkin kita harus segera menyingkir ke Banyuwangi. Dan itu sangat tidak menguntungkan karena mobilisasi disana sangat terbatas" ujar Mas Sardi. Kemudian aku termenung apa aku sanggup mengemben tugas yang sangat berat ini? Gelap malam mulai berganti menjadi remang pagi, gelak tawa berubah menjadi suara siulan tanda para Purwawira sudah menyerah pada rasa kantuknya. Dan hanya aku yang masih terjaga karena memikirkan bagaimana keadaan disana nanti.

Perlahan mataku mulai sayup ditambah aku sudah banyak kali menguap kupejamkan mataku lalu kulemaskan punggungku bersiap untuk tidur. Beberapa jam kemudian kami sampai di kota Bojonegoro, jika dilihat dari letak matahari sepertinya ini menunjukan pukul 9 pagi. Kami bergegas keluar dari bak truk lalu mempersiapkan segala bekal yang ada untuk persiapan misi kami nanti. "Jo kamu sama Yatip nanti melakukan perjalanan lagi menuju pabrik mbako di sebuah desa" ujar mas Sardi memberi informasi apa saja yang terjadi disana. Mendengar cerita Mas Sardi terlintas aku teringat keluargaku di desa, dalam benak ku bagaimana keadaan bapak, ibu ku? Apa londo masih berbuat semena mena layaknya para pekerja di pabrik mbako? "Jo kamu kenapa Jo?" suara mas Sardi menyadarkan ku dari lamunan itu "ahh nggak papa mas cuman kepikiran bapak, ibu di desa, wajar kan namanya juga anak pasti kangen kalo jauh sama orang tua" jawabku sembari memberikan senyuman tanda orang tuaku baik baik saja. Beberapa waktu setelah perbincangan serta persiapan itu aku dan bung Yatip mengambil persediaan bekal lalu bersiap siap untuk menuju pabrik tembakau. Dari kejauhan kami melihat beberapa delman yang datang "ini adalah satu satunya transportasi menuju tempat yang para bung tuju, karena mobil sangat jarang di pedesaan paling paling juga truk milik pabrik" ujar mas Sardi. Kami segera naik sambil menyusun barang barang kami di delman segera setelah itu kami pun berpisah menuju tempat tujuan masing masing.

Di kala perjalan bung Yatip menggerutu karena misi ini jauh dari ekspetasinya "Bung apa bung tau keadaan desa ini? Desa ini sunyi dan bagaimana saya harus menyamar jadi gembel? Lha wong disana orang hidup sebagai jelata lho?" aku hanya tersenyum tipis kepadanya dan menepuk pundaknya sambil memberikan masukan "Bung Yatip gausah jadi gembel, kita sama sama ngelamar saja disana sambil melakukan pengawasan". Dia tersenyum dan akhirnya kami larut dalam pembicaraan yang makin lama makin mengeratkan kami layaknya surat dan perangko. Tak kami sadari ternyata delman yang kami tumpangi sudah sampai di desa yang dituju "pak sudah sampe" ujar sang kusir. Kamipun turun, setelah itu seorang wanita dengan rambut sepundak datang menghampiri kami "Apa kabar mas Yatip?" ujarnya, dalam pikiranku aku bertanya kenapa wanita ini tau nama bung Yatip? "Ealah Lastri piye kabare?" jawab Bung Yatip yang dibarengi dengan pelukan hangat. Sepertinya kami adalah gelombang kedua yang dikirimkan oleh Purwawira ke desa ini, dilihat dari keadaan desa sebenarnya desa ini cukup bersahaja. Sawah dan ladangnya cukup luas namun sama seperti desaku mandor mandor londo selalu mengawasi mereka dalam mengolah ladang. "wah nama bung siapa? Sepertinya baru ya? Saya Lastri" ujar wanita itu dengan ramah sambil mengulurkan tangannya kepadaku "aku Bejo, aku baru beberapa bulan bergabung dengan Purwawira" Jawabku sambil menjabat tangannya tanda resmi kami berkenalan. "ayo, ikuti saya ke penginapan" Lastri berjalan didepan kami sambil menunjukan arah ke penginapan.

Kamipun sampai pada rumah yang cukup lebar namun sepertinya kurang terurus karena dindingnya penuh dengan lumut. Bila ku lihat sepertinya ini tempat untuk para pekerja dari luar kota yang disediakan oleh pabrik tembakau. "Mas setelah berkemas nanti sampeyan ikut saya menemui mandor untuk bekerja disini". Sekilas rumah ini cukup memprihatinkan namun sepertinya bangunan ini bekas lumbung padi yang diubah menjadi rumah singgah bagi pekerja. "Bung ayo jangan sia siakan waktu" kata Lastri yang membuat ku sadar bahwa tugas ku bukan mengamati sebuah rumah singgah. Kami bertigapun berjalan menuju kantor pabrik yang kira kira berjarak 50 langkah dari rumah singgah itu, Lastri memberi isyarat untuk kami berdua agar menunggu didepan kantor "haiya Lastri a? ada apa lu orang datang kemari?" ujar seseorang didalam kantor. "Koh Liem saya bawa saudara kesini biar mereka bisa bekerja disini, mereka butuh duit koh buat ongkos hidup keluarga mereka" bujuk Lastri kepada orang itu. "suruh masuk la" jawab singkat orang itu, kemudian Lastri keluar dari kantor dan memanggil kami ke kantor. "ini koh saudara saya" ujar Lastri kepada orang itu. Tanpa berbicara dia segera berdiri dan mengamati kami mulai dari kepala hingga kaki. "lu orang cocok jadi mandor di gudang a" ujarnya padaku "kalo lu jadi kuli panggul saja la" lanjutnya sembari memegang pundak Bung Yatip. Memang bung Yatip tidak tinggi namun badannya kekar mungkin itu yang membuat orang itu menganggap bung Yatip adalah kuli panggul.

"Mulai besok lu pada bisa kerja disini la, jadi lu orang diterima disini" kata orang itu pada kami. "terimakasih koh" ucap kami bertiga, setelah itu kamipun keluar dan kembali kerumah itu untuk beristirahat. Tak sengaja kami melihat seorang kuli panggul terjatuh saat memanggul tembakau basah dari sebuah truk, orang itu terlihat renta rambutnya yang setengah botak memperlihatkan bahwa dia orang yang sudah tak layak menjadi kuli panggul lagi. Tak berapa lama seorang mandor datang menghampirinya dan segera melayangkan tendangan kearah kuli panggul itu "dasar, sudah kubilang berapa kali kalau bawa mbako jangan teledor" ucap mandor itu. Sebenarnya aku ingin membantu namun Lastri memberikan isyarat jangan "mandor itu sama seperti kita, dia orang pribumi namun gaji dari londo membutakannya, dan bila kita ikut dalam urusan mandor bisa bisa kita langsung diserahkan kepada londo" ujar Lastri. Hati ini sebenarnya meronta bila melihat orang semena mena terhadap yang lain namun apa daya misi ini mengharuskanku agar tidak gegabah. Mandor itu menoleh kearah kami "apa kau lihat lihat hah?" ujarnya dengan nada yang tinggi, tanpa banyak bicara kami bertiga langsung pergi dari situ dan menuju rumah singgah.

"Las, kenapa bisa begitu? Apa semua mandor disini bersikap seperti itu? Apa mereka tak tau siapa yang mereka tindas? Mereka itu sesama pribumi las" ujarku jengkel ketika sampai di rumah singgah. Dia memegang pundak ku dan menenangkanku "hirarki disini sangat terasa bung, tak seperti didesa desa yang lagsung dipegang tentara londo, disini pribumi menjadi pekerja kelas bawah dan paling tinggi hanya menjadi mandor, mandor disini sangat diperhatikan oleh karena itu mereka sangat setia dengan londo dan tak segan menindas saudaranya" jelasnya padaku "sebenarnya para kuli panggul bisa naik jabatan bila pekerjaan mereka bagus dan cekatan dalam melakukan sesuatu tetapi biasanya para penyelia lebih memilih pemuda desa daripada harus menaikan posisi kuli panggul" lanjut Lastri. "Sebentar, penyelia? Jabatan apa itu?" tanyaku bingung, "begini Bung setelah jadi mandor sebetulnya mereka bisa naik pangkat menjadi penyelia, tapi pabrik lebih memilih orang cina daripada harus menaikan jabatan para mandor, kata londo orang cina lebih berhati hati dalam mengeluarkan anggaran bagi pabrik dan itu sangat menguntungkan bagi pabrik" jawab Lastri "dan penyelia saat ini ada 7 orang dan hampir semuanya adalah orang keturunan cina, sedangkan hanya 2 orang pribumi yang menjadi penyelia Pak Jatmika dan Pak Janadi" lanjutnya. "lha dek Lastri ini terus apa lho? Kok kayanya kamu cukup berpengaruh untuk orang cina itu?" pertanyaan lain ku lontarkan padanya "gini bung saya di pabrik ini jadi bendahara pembantu buat orang cina itu, dan sebenarnya penyelia punya 3 tugas penting, pertama penerimaan pekerja, pengawasan mandor dan terakhir pemberi anggaran untuk masing masing pos yang telah diberikan pabrik, nah koh Liem itu megang gudang tembakau makanya dia perlu saya untuk mengatur keuangan" jelasnya "dan sebenarnya ada jabatan yang lebih tinggi daripada penyelia namun untuk memperolehnya harus dilirik oleh gubernur pemilik pabrik ini". Akupun berpikir misi ini cukup berat dan tak bisa dilakukan secara tergesah gesah, semoga aku bisa mengambil alih kuasa atas pabrik ini dan akan ku usir para londo yang mengadu domba antar saudaraku.

Dara JuangWhere stories live. Discover now