Bagian 5 (Sebab Musabab Mataku)

8 0 0
                                    

Hari ku berubah, tiap hari aku hanya mengawasi pekerjaan mandor. Sangat membosankan karena hubungan sosialku menjadi sedikit terbengkalai. Namun pekerjaan baruku ini membuatku lebih leluasa berkoordinasi dengan Lastri. Bung Yatip pun telah diangkat menjadi mandor atas rekomendasiku kepada penyelianya sehingga lebih leluasa menggerakkan massa. Tetapi aku masih penasaran dengan si Sangkil, kalau dia berusaha membelot mengapa ia memperlakukan saudaranya sendiri seperti hewan? Pertanyaan itu mengawang terus di kepalaku sampai akhirnya aku berusaha memberanikan diri berbincang dengannya. "oii Sangkil" teriakku memanggilnya, dia yang fokus dengan kuli panggul menoleh ke arahku. "jangan ganggu aku, aku sedang sibuk" jawabnya ketus padaku. Sebenarnya dalam hatiku kesal hingga ingin memukulnya namun itu tak akan menjawab pertanyaanku. Akupun mengalah dan mendekat padanya "hoi kenapa matamu?" tanyaku pelan berusaha mendapatkan jawaban darinya. Tanggapan Sangkil sama sekali tak kusangka, tiba tiba ia menghatamkan kepalan tangannya pada wajahku sehingga aku terpental kebelakang. Suasana yang awalnya damai berubah menjadi tegang dan para kuli panggul berusaha melerai kami berdua. "jangan mentang mentang kau naik jabatan bisa menghinaku ya?" teriak Sangkil sembari meronta agar kuli panggul melepaskannya. Aku hanya tertegun sambil memegang hidungku yang berdarah, aku tak bisa menyalahkannya mungkin dia tertekan akibat londo itu. Beberapa hari kemudian rasa penasaranku memuncak sehingga aku coba bertanya pada Lastri. "Las awakmu kan sudah lama disini, itu si Sangkil kenapa sih?" tanyaku. "ehh anu mas susah jelasinnya katanya sih kena kutuk gitu" jawab Lastri dengan sedikit terbata bata. Aku hanya mengangguk kecil namun jawaban itu tak memuaskanku akan tetapi perlahan lahan pertanyaan itu menghilang dan aku berfokus pada misiku.

Hari berganti hari, tak sadar aku sudah beberapa bulan sejak aku dan Bung Yatip tiba namun tidak ada tanda tanda pembelotan dari Purwawira. Tiap minggupun menjadi koordinasi biasa yang sangat monoton, pembahasan kami hanya seputar masyarakat yang sudah mulai pro pada gerakan ini, namun tidak ada pergerakan signifikan dari para pekerja maupun warga desa. Ini membingungkanku mengapa beberapa bulan kami disini tak ada pergerakan? Apa mungkin mereka masih takut dengan tentara londo yang selalu berkumpul dibalai desa atau yang menjaga pabrik? Padahal sebenarnya masyarakat memiliki jumlah yang lebih banyak daripada anjing londo itu, lagipula aku juga sudah menjabat sebagai penyelia apalagi yang kurang?. Ahhh aku ingin segera membebaskan mereka namun tak ada isyarat dari Mas Sardi maupun pasukan Purwawira yang masuk ke desa ini. Hatiku makin gusar dan tak sabar, setiap koordinasi aku selalu mengeluh kapan penyerbuan dimulai. "Bung apalagi yang harus ditunggu? Akupun sudah dijadikan penyelia!! Lalu apalagi?" tanyaku dengan nada tinggi. Wajah Bung Yatip hanya mendatar mendengar perkataanku "Bung Bejo, Bung Sardi saja belum kesini bagaimana kita mau memberontak?" jawabnya santai. "Iya mas jangan gegabah kan para pekerja dan masyarakat ndak punya bedhil" timpal Lastri. Seketika aku terdiam karena perkataan itu, satu sisi aku ingin secepatnya terjadi penyerbuan tetapi di sisi lain aku tak ingin banyak orang mati hanya karena egoku. Akupun menghela nafas sambil menenangkan emosiku "yowes, yang penting sekarang kita harus mengumpulkan pasukan sebanyak banyaknya dan menunggu Mas Sardi yang sedang mengumpulkan pasukan dilain tempat" ujarku. Kemudian kami melanjutkan koordinasi seperti biasa.

Beberapa hari kemudian ketika jam istirahat Sangkil datang ke ruanganku. "sugeng enjing, aku masuk" ujarnya sambil nyelonong masuk. Sebagai orang berpengaruh dipabrik aku tidak terima dengan perlakuannya yang sangat kurang ajar itu. "woe Sangkil ra ndue dur awakmu mbok yo seng sopan lek karo penyelia" ujarku ketus yang berarti 'nggak punya sopan santun kamu Sangkil'. Dia tak menggubrisnya dan langsung duduk di kursi tanpa aku persilahkan. "woi Jan kok" Teriak ku sambil berjalan kearahnya. Darah yang sudah mendidih karena perlakuannya pun membuatku gelap mata sehingga memukul langsung wajahnya. "woi jo seng tenang" ujarnya sembari memberi isyarat untuk menghentikan pukulanku. Aku yang tak tega menghentikan pukulanku "ono opo? Apa urusanmu datang kemari?" tanyaku ketus. "kamu pengin tau kan kenapa mataku begini" jawabnya sambil menghela nafas karena menahan rasa sakit dari pukulanku. Seketika aku penasaran dan meredam emosiku lalu kamipun berbincang perihal mata Sangkil. Sangkil menceritakan bagaimana matanya seperti itu, berawal 4 tahun yang lalu ketika ia masih seumuran sepertiku. Sebenarnya ia perantau dari kota yang hanya ingin mencari uang di pabrik mbako itu. Pada awalnya semua baik baik saja sampai suatu saat dia melihat penindasan yang dilakukan oleh tentara londo maupun mandor pribumi. Hatinya menjadi tergugah untuk menyelamatkan mereka dari tangan besi londo, perlahan namun pasti ia mengumpulkan pasukan dari pekerja yang tertindas. Merasa sudah kuat akhirnya mereka melakukan pembelotan kepada pabrik itu. Naas mereka kalah persenjataan sehingga banyak dari mereka yang gugur dan tertawan. Pemilik pabrik itu tau bahwa Sangkil lah pemimpin dari pembelotan itu, sehingga ia ditangkap dan disiksa selama beberapa hari. Ia menceritakan bahwa beberapa jam disana menjadi terasa lama dan sangat menderita sampai sampai ia ingin mati saja daripada disiksa. Sampai puncaknya adalah pemilik pabrik menyulut cerutu pada mata Sangkil sebagai pengingat bahwa jangan pernah main main dengan londo. Oleh karena itu ia menjadi berubah menjadi mandor yang sangat kejam kepada saudaranya. Mendengar ceritanya itu membuatku tertegun karena Sangkil ternyata sesuai dugaanku. "Wes Kil sepurane seng katah! Maafkan aku kalo sering ngganggu kamu" ujarku dengan penuh penyesalan. Sangkil hanya tersenyum lalu pergi meninggalkanku.

Dua hari kemudian para penyelia dipanggil ke kantor pemilik pabrik untuk melakukan koordinasi dengan pemilik pabrik. Aneh aku dijemput oleh beberapa tentara, tak biasanya mereka ditugaskan untuk mengawal. Akupun tiba di ruang koordinasi, ku lihat semua penyelia berkumpul dengan posisi duduk melingkar. Pemilik pabrik pun juga hadir disana sambil menghisap cerutunya. Setelah itu kami duduk sambil melaporkan keadaan pos masing masing. "Stop" Pemilik Pabrik mengentikan laporanku "kemari nada urusan apa you sama si Sangkil" lanjutnya. Aku diam membatu karena terkejut dengan perkataan pemilik pabrik, bagaimana dia bisa tau kemarin aku dengan si Sangkil berbincang? "oii Bejo... Bejo Kuswandi Answer Me, Please" desaknya. Aku tak sanggup melontarkan jawaban sehingga pemilik pabrik itu kesal lalu naik ke meja dan menendangku. Karena tendangan itu aku terpelanting kebelakang lalu dua orang tentara tadi segera menangkapku. "Bejo aku tau gelagatmu dari awal hanya saja aku menunggu waktu yang pas untuk membunuhmu" Kata pemilik pabrik sembari mengacungkan cerutunya ke wajahku. Pikiranku kalut, takut serta merasa gagal sebagai seorang pejuang. Dalam misi pertama saja aku sudah gagal dan harus mati konyol ditangan londo. Kepalaku dipaksa jatuh ke meja oleh tentara itu sehingga aku tak dapat bergerak. Bila aku mati dengan cara seperti ini maka ini adalah penghinaan bagiku, dengan sigap aku meronta berusaha melepaskan genggaman tentara itu sambil melayangkan beberapa pukulan kearahnya hingga mereka pingsan. Penyelia lain carut marut keluar ruangan akibat ketakutan akan kejadian itu, sang pemilik pabrikpun terkejut dengan perlawananku. "matio ae le" ujarku sambil menarik kaki pemilik pabrik hingga terjatuh sehingga lehernya terbentur meja. Tak berapa lama suara tembakan terdengar di daerah halaman pabrik, lalu aku melihat keluar dan pasukan Purwawira dibantu para pekerja melakukan penyergapan. Pemilik pabrik ternyata masih sadar sehingga ia menangkapku sambil melemparkanku ke pojok ruangan, perkelahian satu lawan satu tak terhindarkan. Aku segera berlari kearahnya sambil melayangkan tendanganku kearah dadanya. Ia berusaha menahan dengan tangannya namun masih terhuyung kebelakang, kulanjutkan seranganku dengan pukulan telak ke wajahnya senhingga pandangannya kabur. Aku berusaha menumbangkannya dengan sapuan kaki namun tidak berhasil, ia pun dengan segera melancarkan pukulannya tepat ulu hatiku yang membuatku muntah. Tak sampai disitu ia juga melayangkan pukulannya ke wajahku akibatnya aku tergeletak serta pandanganku kabur. Dengan cepat kakinya melayang diatasku seraya ingin meremukan tengkorak ku, namun aku berguling kearah kanan untuk menghindarinya sambil menjegal kaki belakangnya sehingga ia terjatuh. Kesempatan itu tak kusia siakan, secepat kilat ku duduki tubuhnya agar tak bergerak sembari melayangkan pukulan kewajahnya. "iki wes wayahmu" teriakku mengisyaratkan kematiannya sudah dekat, lalu kucekik lehernya dengan kuat agar tak bernafas. Dia yang kesakitan berusaha melepaskan tanganku dari lehernya namun aku sudah gelap mata dan tak bisa melepaskan tanganku hingga akhirnya ia mati lemas karena cekikanku.

Beberapa saat kemudian aku sadar bahwa desing peluru terdengar keras diluar. Aku yang sedikit panik pergi keluar sambil merunduk di pinggir kiri tembok gedung pabrik agar taka da peluru yang bersarang dalam tubuhku. Sembari ku berjalan beberapa tentara londo sudah jatuh tumbang sehingga mereka tak menyadari keberadaanku. Dengan posisi terhimpit di medan laga aku mempercepat langkahku agar segera sampai pada kerumunan rakyat dan pekerja yang sedang berjuang bersama Purwawira.

Dara JuangWhere stories live. Discover now