VI. Pesan

170 19 1
                                    

Roni kini berdiri di hadapan ku, memandangi ku dengan wajah penuh penyesalan.

Sebenarnya tak ada yang perlu ia sesali, seluruh kesalahannya murni telah ku maafkan. 

“Kau sedang memikirkan apa? Kenapa wajah bodohmu begitu melas Ron?” tanyaku pada roni yang biasanya suka berlagak menjengkelkan.

“Aku sedang memikirkan kematian temanku”

“padahal aku yang akan mati. Kenapa kau yang stress?”

“bodoh! Kau pikir aku teman macam apa yang tak stress setelah tahu temannya akan meninggal beberapa hari lagi!”

“Lebih baik kau bantu orang tua ku, mengurusi pemakaman ku ron”

“tidak akan. Aku akan menemanimu disini. Biar ku lihat wajah malaikat yang akan mencabut mu nanti. Aku ingin bersamamu sampai detik terakhir mu” ujar Roni serius, bagiku itu lucu.

“anak manis” tawaku. Roni tak pernah semanis ini sejak pertama kami bertemu.

Aku hanya tau roni itu teman yang menjengkelkan tapi selalu ada ketika aku membutuhkannya.

“ngomong ngomong, bara apa kau tau gadis di kamar sebelah? Kemarin aku melihatnya dibawa dengan kursi roda.

Parahnya lagi bersama adam, pria yang sudah menghancurkan hati pacarmu itu” ujar roni dengan wajah kompornya seperti biasa.

“Kana” 

“siapa?”

“Namanya Kana ron, aku lupa lupa ingat nama panjangnya. Tapi kemarin aku sempat berbicara sedikit dengannya ketika kami bertemu ditaman rumah sakit”

“Terus? Hubungan Kana sama Adam apa??”

“Aku tak tau. Kami hanya sebatas bertukar nama”

“Yah payah. Harusnya kau tanya dengan mendetail. Seluk beluknya. Biar tau”

“memangnya aku wartawan!”

“ya biar kita tau informasi yang akurat! Biar gak penasaran terus!”

Ya ya terserah Roni sajalah. Lagi pula bukan urusan ku. Toh kini hidup ku akan berakhir dan sagita sudah tau perasaan yang telah lama ku sembunyikan darinya. Bukankah seharusnya cerita ini sudah tutup buku? Tapi biarlah. Biarkan saja mereka tertarik dengan apa yang terjadi setelahnya.

“aku yakin setelah mendengar berita darimu. Sagita pasti menangis tersedu-sedu seperti saat ia memelukku waktu itu.” Ujarku menghela nafas, dan mengingat kembali kejadian itu.

“tentu. Mungkin dia bisa protes pada pramugari atau pilotnya untuk turun dari pesawat.
Karena dia gak mau kehilangan waktu terakhirnya bersamamu” 

“Tak mungkin. Aku sudah bilang. Pergi saja. Itu lebih baik. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku hanya pergi suatu saat kita pasti bertemu lagi. Apa yang kau takutkan?”

“Kau berkata seperti itu seolah kau yakin kalian pasti bertemu!?”

“Tentu. Aku akan mencarinya di manapun ia berada” senyum ku.

“seandainya aku bisa menolong mu. Seandainya penyakit mu tak serumit ini. Aku ingin sekali menolong mu bara” ujar Roni menatap ku dengan tatapan mata yang tak dapat aku artikan dengan kata kata.

“Bawa aku ke taman. Aku ingin jalan jalan Ron” pintaku.

“baiklah kapten.”

Roni pun mendorong kursi roda ku, dan kami pergi ke taman yang ada di tengah tengah rumah sakit.

Tamannya begitu rindang dan sejuk, ada banyak bunga warna warni yang selalu bermekaran indah setiap hari.

“tunggu sebentar disini. Aku mau buang air kecil. Jangan kemana mana ya bara!” ujar Roni  kemudian berlari ke kamar kecil. 

Kira kira apa yang sagita lakukan sekarang?
Apa ia masih menangis?

Aku tau mengikhlaskan itu sulit tapi jika takdir sudah digariskan tak ada satupun yang bisa mengubah takdir Tersebut.

Aku ingin melihat sagita kembali, bukan dari foto tapi wajah aslinya yang biasanya aku tatapi dari jauh.

Aku tak pernah sekalipun merasa gelisah terhadap penyakit ku, tapi rasa gelisah ku kini hadir karena aku tak mampu meninggalkan sagita sendirian tanpaku.

Aku tak ingin berpisah dengannya. Apa kami bisa bersama?

Sekali saja. Apa akan ada keajaiban?

Di saat aku tengah berbincang pada diriku sendiri, muncul Adam tengah mendorong Kana dengan kursi rodanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ABOUT US ✓ Hunjoy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang