Pengganggu

740 33 15
                                    

Sebuah tangan merayap naik seolah mengukur seberapa panjang kakiku. Dingin dan basah, itu yang kurasakan ketika tangan itu memegang penumpu tubuh ini dan menariknya secara perlahan. Beberapa kali aku mencoba mempertahankan posisi agar tidak tertarik olehnya, tapi semua gagal. Pemilik tangan itu menarik dengan begitu kuat sehingga tubuhku terjatuh dari tempat melepas semua lelah.

Jantungku berdegup semakin kencang saat tangan itu akhirnya sampai pada bagian tubuh yang memiliki daging paling banyak. Napask tersengal dan mata ini berusaha mempertajam penglihatan hanya agar dapat melihat si pemilik tangan yang telah mengusik mimpi indah. Tetapi tak ada wajah yang dapat kulihat bahkan tidak ada sosok lain, mungkin karena tidak ada cahaya di dalam kamar ini.

"Kamu telah mengusik hidupku!" bisik sebuah suara tepat di saat cengkaraman di pahaku menghilang.

Mendengar suara orang itu membuatku menoleh, mencari seseorang yang telah mengusikku. Tetapi lagi-lagi aku tak menemukan siapa-siapa di sampingku, semua kosong dan hampa. Seolah suara tadi berasal dari angin malam yang berhembus pelan, atau mungkin hanya halusinasiku semata. Namun semuanya terasa begitu nyata dan indra pendengaran ini masih berfungsi dengan baik.

"Kamu telah mengambil semuanya dari hidupku,"bisik suara lainnya di sisi tubuhku yang lain. Seketika aku melihat ke sisi lainnya dan semua masih sama, tidak ada siapa pun.

"Si ... siapa kamu?" teriakku dengan suara bergetar dan tubuh sedikit beringsut ke belakang.

Tidak ada jawaban dari siapa pun yang tadi berbisik, yang ada hanya suara gema yang timbul dari terikanku. Seolah di kamar ini aku hanya seorang diri dan bisikan-bisikan itu merupakan halusinasi semata.

"Aku tidak suka diusik!" Suara itu kembali ke samping telingaku dan kali ini disertai dengan sebuah jilatan pada leherku yang terbuka. Seketika bulu kudukku meremang dan tubuhku membeku. "Kamu seharusnya paham jika kehadiranmu tak pernah diinginkan!"

Kata-kata itu berputar di dalam otakku seolah menjadi sebuah simfoni yang kembali mengusik jiwa setelah lama terlupakan. 'Tak pernah diinginkan', kata-kata itu bagai sebuah mantra yang akan selalu membuatku menjadi patung dengan luka yang semakin dalam dan menganga seolah kenangan terpahit itu telah kembali dan membawa masuk ke dalam kegelapannya.

"Kamu hanya pengganggu!" Suara itu kembali dikatakan seseorang yang entah apa dan kali ini disertai sebuah belaian lembut nan basah di bahuku yang perlahan merambat ke leher hingga berhenti pada pipi sebelah kiri.

Bau amis menguar dengan begitu kuatnya hingga membuatku tersadar akan sesuatu. Gelisah, takut, dan rasa lainnya bercampur menjadi satu. Tenggorokanku berusaha mengatakan sesuatu, tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari bibirmu seolah lidah ini kelu. Hanya tangan yang bisa kugerakkan dan berusaha menggapai lengan basah serta dingin itu.

"Kamu di sini hanya untuk mendengarku, menerima hukuman yang seharusnya kamu terima dari dulu!" katanya dan tangan berkuku tajam itu mulai ditekan hingga membuat rasa perih di sepanjang pipi.

"Ehhmm ...," rintihku dengan suara yang hampir menghilang dan nyaris tak terdengar.

Tidak ada suara lagi, tapi tangan itu mulai merambat kembali ke leher dan tetap menekannya kuat. Rasa perih kini mengikuti setiap gerakan yang dilakuka  oleh siapa pun itu, sepertinya bagian tubuh yanh dia lewati telah terluka dan mungkin mengeluarkan darah segara.

Tidak perlu menunggu lama karena beberapa detik kemudian aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipi dan leher. Detik selanjutnya dapat kurasakan sesuatu yang dingin dan kasar menempel pada luka yang telah ditorehkan hingga membuatku meringis karena perih yang teramat.

"Rasa darahmu sangat manis, cantik!" katanya sambil bertepatan dengan menjauhnya benda kasar itu. "Jangan berpikir jika aku akan menghabisi tanpa dirimu mengetahui sosokku yang begitu menawan ini!"

Mendengar perkataannya membuat jantungku berhenti berdetak dan tubuh ini mematung. Aku sangat sadar maksud dari ucapannya, dia akan mengambil nyawaku yang mungkin hanya tinggal dalam hitungan detik saja semuanya akan terjadi. Lebih parahnya, aku tak tahu siapa dia dan alasan dia melakukan seperti itu. Sosok itu hanya menganggapku sebagai seorang pengganggu dan seseorang menyadarkanku akan sesuatu yang berusaha untuk aku redam dari dulu, seseorang yang tak diinginkan.

"Aagghh ...," teriakku saat tubuh ini tiba-tiba bagai terseret sesuatu dengan begitu keras hingga membentur pada kaca yang ada di dalam kamarku. Suara  kaca yang pecah dan aliran cairan hangat berbau amis membuatku meringis. Inginku mengelus luka pada bekas benturan, tapi tangan ini tidak dapat digerakkan meski hanya satu inchi.

Belum reda rasa sakit di kening, kini tubuhku kembali tertarik dan membentur dinding, lagi-lagi begitu keras hingga rasanya tulang-belulang telah remuk. Aku terjatuh dan mengaduh tapi sebuah tarikan kembali kurasakan. Tidak, kali ini tubuhku tidak dibenturkan pada benda apa pun, melainkan melayang. Angin kencang berhembus seolah menahanku agar tidak terjatuh ke lantai.

"Ini hanya sedikit siksaan yang harus kamu rasakan atas semua kesalahanmu!" teriak suara itu menggema.

Gorden yang tertiup angin perlahan mulai tersibak hingga membuat sinar rembulan perlahan masuk dan memberikan penerangan meski samar. Dalam kesakitan, aku mencoba untuk menajamkan indra penglihatan hingga mampu menangkap sesosok tubuh berbadan tinggi dengan rambut panjang tergerai. Inginku melihat wajahnya, mengenali siapa orang yang telah melakukan sesuatu yang begitu keji kepadaku, tapi sayang wajahnya tidak terkena cahaya sang rembulan meski hanya setitik.

"Apa salahku kepadamu? Aku tak pernah mengganggu siapa pun?" tanyaku dengan sedikit keberanian sambil berusaha untuk melihat sosok itu dengan lebih jelas lagi.

Suara tawa menggema memenuhi kamar tidurku seolah itu merupakan jawab atas pertanyaanku. Tidak berapa lama tawa itu menghilang berganti dengan tangisan penuh kepiluan dan rasa sakit yang menyayat. Mungkin jika dalam keadaan normal aku akan kasihan, tapi saat ini hal itu justru membuat bulu kudukku berdiri.

"Kamu tidak menyadarinya? Kamu memang tidak memiliki otak dan pantas mendapatkan hukuman dariku!" kata sosok itu sambil membalikkan badan hingga wajahnya terkena sinar bulan dan aku dapat melihatnya dengan jelas.

Seorang perempuan berambut panjang dan tinggi semampai dengan wajah penuh bercak darah dan luka di mana-mana. Luka itu bukan hanya di wajahnya, tapi juga pada leher serta tubuhnya yang lain. Baju putih yang dikenakannya pun penuh dengan warna merah. Tangan yang kuperkirakan dia gunakan untuk menarikku pun penuh dengan luka dan darah mengalir cukup deras hingga menetes ke lantai.

"Tidak ... ini tidak mungkin terjadi," kataku tak percaya saat berhasil menajamkan penglihatan dan berhasil melihat sosok itu lebih jelas lagi.

You & MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang