Anggrek Putih

19 4 1
                                    

Andini menatap lamat-lamat netra kekasihnya, Rifandi. Bulir bening mulai menggenang di kelopak mata. Sungguh rasanya berat, tapi bagaimana lagi alur takdir berkata lain.

“Maaf, Ndi!” lirih Andini merasa bersalah.
Rifandi membisu, sorot mata elangnya mengisyaratkan tak terima.

“Aku tahu, ini bukan yang mudah buat kita. Tapi, kamu juga gak boleh egois, aku berhak untuk terbang bebas dengan sayap-sayapku yang mesti dilatih untuk kukepakkan lebih jauh.”

Rifandi menoleh, giginya bergemeretak.

“Cuma buat aku doang, Din. Kurasa kamu tidak! Kamu yang egois! Belum cukupkah penantianku selama ini? 3 tahun Din, 3 tahun. Aku sabar menanti-nantikan saat indah itu. Tapi ketika waktunya tiba, kamu malah mau pergi. Kamu egois!”

Andini menunduk, bulir bening meluncur begitu saja di pipinya.

“Kamu berjanji setelah lulus sekolah bakal menerima pinanganku. Tapi apa? Sekarang kamu mau nerusin kuliah di tempat yang jauh pula. Buat apa? Toh wanita nantinya hanya mengurusi dapur, sumur, dan kasur! Kuliah Cuma bakal mengulur waktu aja, Dini! Dan aku gak yakin kamu bakal tetap bisa jaga komitmen kita. Aku tahu di kampus sana pasti banyak laki-laki yang lebih. Sedangkan aku apa? Aku Cuma buruh pabrik, jelas kamu bakalan kegaet sama mereka!” Rifandi naik pitam, baru kali ini ia melontarkan ucapan-ucapan setajam itu.

Bagai dihunjam tombak tepat di ulu hati oleh kekasihnya sendiri, sungguh Andini tak menduga akan mendapatkan hal ini dari lelaki yang dicintainya. Hujan air mata semakin menderas memandikan pipi Andini di bawah terik sang Surya yang menyaksikan pertengkaran sepasang insan itu.

“Sekarang aku semakin yakin sama pilihanku! Kita selamanya gak akan pernah sejalan. Aku gak menduga pikiranmu sedangkal itu, Ndi! Wanita juga berhak bermimpi, berhak memperoleh pendidikan tinggi. Dan 1 lagi, wanita bukan cuma harus berada di belakang laki-laki. Tapi pasangan itu sejalan dan berdampingan. Dan soal janji, aku memang tak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi, jika 5 tahun ke depan aku masih sendiri, yang entah bagaimana dengan dirimu. Kamu akan mengetahui cintaku memanglah murni. Dan maaf, aku tetap akan pergi.”

Rifandi menatap lekat netra gadisnya berusaha mencari suatu kebohongan di sana, tapi nihil. Di sisi lain hatinya masih diselimuti keraguan. Bagaimana bisa ia kembali menggantungkan harapan dalam waktu yang lebih lama pada wanita yang telah mengingkari janjinya bahkan dalam kurun masa yang lebih sebentar dari yang dia katakan barusan.

“Andiniii!” Rifandi menggumamkan nama gadis bermata teduh itu geram, tangannya terkepal hingga menonjolkan urat-uratnya. Pertengkaran terakhirnya bersama gadis itu kini seakan kembali berputar di kepala Rifandi.
Sorot netranya terfokus pada 5 pot bunga anggrek sewarna kapas yang diletakkan ibunya di beranda rumah. Yang merupakan pemberian Andini sehari sebelum kepindahan gadis itu ke luar kota— 2 bulan yang lalu.

Rifandi tak habis pikir kenapa gadis itu malah memberikannya bunga untuk dirawat. Suvenir perpisahan yang konyol, bukannya tumbuhan bakal mati? Hal yang tak bisa dikenang. Rifandi tersenyum kecut. Jika saja waktu itu tak dicegah oleh ibunya, mungkin nasib anggrek-anggrek itu telah hancur melebur bersama tumpukan sampah.

“Kenapa? Inget Andini, ya?” Suara seorang wanita membuyarkan pikiran Rifandi.
Rifandi hanya menoleh sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Ndi, ibu yakin jika kalian berjodoh suatu saat akan dipersatukan.”

“Fandi udah males sama dia, Bu. Wanita keras kepala dan egois!”

“Berhenti menghakimi dari satu sisi, Nak! Jalani aja seperti air yang mengalir. Bila pun nanti kamu menemukan gadis yang bisa membuatmu jatuh hati, itu pun sudah kehendak Tuhan, jika tidak, ya rencana-Nya mungkin lebih indah.”

Rifandi mengembuskan napas berat seraya menempelkan punggungnya ke sandaran kursi.

“Ngomong-ngomong anggreknya indah ya?”

“Iya, Bu. Tapi berbunganya lama juga ya, gak kaya bunga-bunga Ibu yang lain.” Pandangan Rifandi menyapu bunga-bunga di taman yang bermekaran di depan rumahnya.

“Memang, tumbuhan anggrek itu proses pemekarannya cukup lama, perlu ketelatenan dan kesabaran buat ngerawatnya. Tapi setelah mekar bunganya begitu indah, tidak mudah layu. Siklus anggrek ini perlu proses cukup panjang buat menuai hasil bunga yang begitu indah.”

Rifandi manggut-manggut, memang pengetahuan sang Ibu tentang tumbuhan tak perlu diragukan lagi. Ia seorang pencinta tanaman, khususnya jenis perbungaan.

“Dan kita bisa mengambil pelajaran dari proses panjang tumbuhan anggrek ini, Ndi.”
Rifandi merenung sejenak.
Dan kini Rifandi memafhumi, alasan dulu mengapa Andini memberikan 5 buah pot tanaman anggrek yang belum berbunga itu.

Delhi Van Java, 26 Januari 2020
KarangBala

JELAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang