Langit jingga sore itu bergemuruh, membuat candu pada sepasang mata yang sedang berteduh dalam lamunan sayu. Bertukar cerita perihal masa lalu yang membuat keduanya bertemu. Sedangkan dilain sisi, langit sore itu mengantar sepasang lainnya berseteru hingga mencipta kristal bening yang jatuh meluruh bersama rintik hujan paling sendu.
Ada robekan baru yang hanya dapat didengar oleh hati paling bisu. Membuat isak penuh rintih tentang luka yang baru tadi pagi mengering.
“Apa salah jika aku menghubungi seseorang yang kusebut teman? Apa maumu yang sebenarnya?”
“Jika kau mau membaca, benar-benar. Kata teman tidak akan lebih dari perasaan sayang, dan harusnya aku yang bertanya, apa maumu yang sebenarnya? Aku cukup paham jika jarak tidak akan pernah bisa berdamai dengan pertemuan, tapi harusnya kamu juga tahu kalau semua itu bisa diubah oleh pemiliknya, tapi nyatanya tidak dengan kita."“Itu semua karena kamu yang terlalu pencemburu."
Salah satunya memilih pergi, berpayung mendung dan air mata langit menyamarkan tangisnya. Luka baru itu semakin perih sebab rintik hujan yang tak kunjung berhenti. Langkah kakinya tak pernah mau berhenti walau lelah mengiringi. Bayangan perempuan itu terus mengendap di kepalanya, memutarkan kemesraan bersama kekasihnya yang membuatnya kembali dalam balutan luka hingga ia lupa jika ia sedang jatuh dalam pelukan orang yang salah.
Lekukan wajah selalu enggan meninggalkan paras cantik Althea, anehnya kemurungan itu malah mengundang pria yang sengaja mendekatinya semakin tertarik untuk memilikinya. Raka yang siang itu mengetahui kemurungannya segera bergegas menghibur perempuan yang diam-diam telah bersemanyam jauh dalam dadanya. Dada yang lebih tenang dari milik Juna, dada yang selalu berhasil menyimpan kenyamanan dari milik Juna, juga dada yang menyimpan ketulusan lebih dari Juna. Namun Althea tak pernah tahu tentang itu.
Baginya, Raka hanya sekadar sahabat yang selalu berhasil menghiburnya. Selalu tahu konflik dari kisahnya tanpa ia harus memberi tahu kebenarannya. Seiring langkah Rangka yang semakin dekat, semakin sayu pula mata Thea memandangnya. Raka hanya tinggal melewati satu meja untuk mendekati Althea, dan semakin buram pula wajah Raka dalam netranya. Kristal itu terjatuh lagi kala Raka telah sepenuhnya meletakkan raganya di atas kursi hijau yang warnanya telah pudar dimakan usia.
“Menangislah semaumu, tapi jangan pernah mengundang buaya walau mereka hanya ingin sekadar menenangkanmu, harus berpa kali aku bilang?”
“Maaf”. Ucap Althea sambil mengusap air matanya.
Keduanya kini melangkahkan kaki menuju Taman yang ada di belakang kampus, tempat yang selalu menjadi luapan amarah Althea, sekaligus persembunyian air matanya. Dan lagi-lagi selalu Raka yang akan menemukannya ketika yang lain tidak akan pernah bisa menemuinya. Althea kemabali terisak, setelah melihat gawai yang sunyi dari notifikasi Juna. Raka yang mampu membaca pikirannya, dengan sigap merebut gawai miliknya.
“Mau sampai kapan, kamu bertahan dalam balutan luka?” ucapnya dengan tatapan kosong.
“Kamu pasti tahu jawabannya, ketika kamu telah menemukan orang yang benar-benar kamu sebut kekasih.”
Senyum sinis Raka berkembang ketika ia mendengar ini.
“Aku baru tahu, ternyata gadis yang dibangga-banggakan unversitas ini ternyata pikirannya tak secerdas apa yang dikatakan orang-orang. Thea, kalau kamu tahu, aku juga memiliki orang yang saat ini benar-benar aku sebut sebagai kekasih, tapi dengan itu aku tak menjadi sebodoh otakmu,” ucap Raka sebal.
“Kamu benar-benar tidak sendiri lagi, Ka? Sejak kapan?” Althea terkejut.
“Sejak lama, bahkan sebelum kamu dengan menyebut Juna sebagai kekasih.”
KAMU SEDANG MEMBACA
JELAGA
Short StoryTidak selamanya kegelapan adalah duka yang berkepanjangan. Kamu tahu kenapa? Pikirkan jawabannya dengan sudut pandang yang berbeda! Esok, aku akan membawamu lebih dekat dengan sang pencipta. Agar kamu tahu, bahwa sebenarnya senja dan hujan adalah ke...