Teratai

12 4 0
                                    

Tak ada harapan, itulah persepsi yang kini menguasai seluruh pikiran sesosok perempuan berparas ayu dibalut dress selutut yang ketat berwarna Jingga, dialah Clarissa.

Sudah cukup lama Clarissa duduk selonjoran dan bersandar di batang pohon beringin yang rindang. Berulang kali ia melempar kerikil kecil ke danau yang menghijau di hadapannya. Hamparan bunga teratai tampak elok dipandang, riak air membuat mereka menari perlahan.

Terik mentari kian meredup, serupa sorot mata Clarissa. Burung-burung mulai bernyanyi riang begitu terdengar indah, tapi terkalahkan oleh riuh suara-suara penghakiman dari seseorang yang tak Ia duga akan berucap seperti itu ketika Clarissa mengutarakan keinginannya.

"Apa? Lo mau berhenti dari tempat ini? Dan mau kerja sambil kuliah? Ngaca, Say! Zaman sekarang nyari kerjaan itu susah! Dan Lo yakin tentang pekerjaan kita yang sekarang ini gak bakal jadi hambatan? Nih ya orang yang hidupnya baik-baik aja susah nyari kerjaan, apalagi macam kita-kita! Udahlah, orang-orang seperti kita ini tak pantas bermimpi melangit seperti itu, inget tempat berpijak. Jalani saja! Kita udah terlanjur berada dalam lingkungan yang kotor, Clarissa!" Delia, sahabat Clarissa memutar bola mata seraya berlalu begitu saja. Tadinya Clarissa berpikir akan menuai dukungan dari sahabatnya itu, tapi apa? Lagi-lagi dia peroleh penghakiman, cemoohan, dan direndahkan.

"Apakah salah seorang wanita sepertiku ingin menjadi manusia yang memiliki cita-cita selayaknya mereka yang berada di luar sana? Bukan di lingkungan keparat itu!" Clarissa membuang napas kasar.

Sejujurnya, Clarissa sudah lama merasa terpenjara di tempat itu. Bukan maunya berada di sana. Dulu, Clarissa hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Namun, tepat ketika Ia menginjak semester ketiga di kampus, harus menelan kenyataan pahit. Ayahnya ketahuan selingkuh dengan sekretaris di kantor, sikap konsumtif sang Ibu semakin menjadi-jadi. Entah sebagai bentuk pembalasan atau apa, bahkan sampai sering jalan bersama berondong yang hanya memoroti uang saja. Belum lagi kebiasaan judi sang Ayah membuat mereka terlilit hutang kepada rentenir.

Clarissa merasa begitu terpukul, benar-benar merasa hancur saat itu. Apalagi ketika tahu kenyataan bahwa dirinya dijadikan alat tukar sebagai pembayaran utang-utang ayahnya. Demi apa pun Ia sangat membenci ayahnya yang terkutuk itu. Ia berontak dan ingin pergi sejauh mungkin, tapi tubuh indahnya yang lemah kalah kuat dari para pengawal yang berbadan kekar. Akhirnya rentenir yang merangkap sebagai germo kelas atas itu berhasil membawa Clarissa. Ia sempat berkali-kali berusaha kabur dari tempat itu, tapi usahanya pun gagal.

Hingga suatu malam, dalam keadaan tidak sadarkan diri mahkota berharga Clarissa berhasil direnggut seorang yang membawanya ke tempat ini. Ia kehilangan arah, putus asa, dan banyak ketakutan menghantuinya. Apalagi dengan paradigma masyarakat yang menyaratkan keperawanan sebagai ukuran kehormatan seorang wanita. Semakin membuatnya ingin mengakhiri hidup saja. Namun, berkat bujukan-bujukan dan kalimat-kalimat Delia yang terdengar seperti nasihat Ia urungkan niat itu. Dan memutuskan menerima semua sebagai jalan hidupnya yang ternyata masih disesali hingga kini.

"Apakah di mata Tuhan wanita sepertiku ini sebegitu hinanya? Hingga tak pantas memiliki mimpi? Apa kami hanya pantas merias diri, dihidangkan bagai makanan di meja-meja bar, lalu dinikmati di atas ranjang sebagai pemuas nafsu para lelaki berengsek itu?" ucapnya lagi seraya berteriak. Sayup-sayup terdengar langkah kaki seseorang, gemeresik daun yang terinjak bersahutan.

"Gue juga brengsek, ya?" ucap seorang lelaki berjas Abu-abu sembari turut duduk di samping Clarissa.

"Elo?" Clarissa membulatkan matanya. Dia masih ingat dengan pria yang semalam menatapnya dengan cara berbeda. Tidak seperti para pria hidung belang yang pernah dipuaskannya.

"Ya, Gue. Oya semalem belum sempet kenalan, Gue Raka." Raka mengulurkan tangan.Clarissa merasa tak perlu menyambut dan menimpali perkenalan tersebut, pria di sampingnya ini sudah mengetahuinya. Bahkan semalam masih terngiang jelas di telinga wanita ber-dress jingga itu bagaimana Raka berulang kali memanggil namanya seiring deru napas ketika mencapai klimaks.

"By the way, tentang keluhan Lo yang gue curi denger. Itu persepsi yang salah besar." Clarissa refleks menoleh, tatapannya menyiratkan keheranan.

 Apa Raka sudah lama menguping?

"Elo ngebuntutin, gue?" todong Clarissa.

"Eh- enggak. Itu gak penting!" Raka membuang muka.

Ya, kenyataannya memang demikian. Ketika di perjalanan menuju kantor tanpa sengaja matanya menangkap siluet wanita yang wajah dan bayangan tubuhnya masih menghantui pikiran dari kaca spion mobil. Raka kemudian mengekorinya dan ketika sampai di tempat ini, Ia memperhatikan dari mobil. Dan ketika Raka hendak kembali melajukan kendaraan roda empat itu, sekretarisnya menelepon memberitahukan bahwa meeting ditunda 2 jam ke depan. Hingga Ia memutuskan untuk menyambangi Clarissa.

Hening. Mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya terdengar desau angin dan bunyi cemplungan kerikil yang dilemparkan oleh Clarissa.

"Maaf, gue lancang dengerin keluhan Lo dari awal!" Clarissa hanya menoleh sekilas.

"Dan tentang itu, perkataan Lo bener. Emang gue juga lelaki brengsek. Tapi gue gak setuju tentang diri Lo sebagai manusia paling terhina dan gak pantes punya mimpi.

Semua manusia itu berhak buat ngerajut mimpi dan berjuang ngewujudinnya. Solusinya ada sama pilihan dan tekad Lo sendiri."Clarissa menatap bola mata Raka. Ia memastikan persepsinya terkait tatapan pria berjas abu-abu itu, dan benar sorot mata itu tetap sama seperti semalam. Untuk pertama kalinya ada seorang pria yang memandangnya bukan hanya sebatas pemuas nafsu.

"Dan Lo benci tempat Lo berada sekarang, bukan?" Clarissa mengangguk.

"Coba liat bunga teratai itu!" Telunjuk Raka mengarah ke danau.

"Meski pun bunga itu berada di air yang ijo, kotor, dan aromanya pun bau kalo dihirup, tapi mereka tetep tumbuh mekar dan indah. Begitu pun kita sebagai manusia. Seburuk apa pun lingkungan tempat kita tinggal jadilah tetap indah, dan jangan ikut-ikutan jahat." Clarissa tertunduk berusaha memahami perkataan Raka.

"Bunga teratai itu unik. Makin keruh dan kotor air tempat dia berada malah tambah bagus kualitas bunganya. Begitu juga sebagai manusia, semakin banyak orang yang ngerendahin kita justru itu harus jadi motivasi buat kita meningkatkan kualitas hidup. Terus berusaha lebih gigih biar bisa lebih maju dan lebih baik." Raka tersenyum menatap Clarissa, meyakinkan.

Clarissa menatap Raka dengan pandangan penuh rasa syukur.

"Makasih banyak, Ra-Ka!" lirihnya sedikit tercekat.

-Selesai-

~Karang Bala~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JELAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang