2

34 3 0
                                    

Bulan yang pucat itu menggantung dengan indah di langit yang pekat. Samar-samar sinar keperakannya menerobos celah dedaunan di tepi jalan.

Setelah kepindahan Tahta dan Prama ke rumah baru mereka, belakangan keduanya lebih sering menghabiskan malam untuk makan di luar. Sekadar membeli pecel, atau bahkan makan di warteg. Kendati Pramana seorang dokter spesialis dengan gaji yang lumayan, ia tetap menjalani kehidupan sederhana. Istrinya juga demikian, rumah yang mereka tinggali sekarang adalah rumah sederhana di kompleks perumahan yang akan dicicil selama lima tahun ke depan. Bukan apa-apa, Prama memilih lamanya mencicil juga mempertimbangkan bila mereka memiliki seorang putra tahun depan, maka cicilan itu haruslah lunas sebelum si anak masuk sekolah.

Angin bertiupan sedikit mengganggu anak rambut Tahta yang malam ini tak mau diatur. Bahkan sebagian harus rela termakan di tengah sedap-sedapnya bicara dengan Pramana.

"Padahal aku udah bilang, Ta, pakai hoodie yang tebal, malah pakai blazer tipis gitu. Musim gini kan anginnya keras," omel Prama sambil membuka jaket tebalnya.

"Keras tuh sampai lebam aku dihantam angin, Pram," jawab Tahta sekenanya.

Selesai melepaskan jaket putihnya, Prama memaksa lengan Tahta untuk masuk ke dalam. "Kencang maksud aku."

Keduanya masih berjalan di atas trotoar. Ya, mereka berjalan, tidak menggunakan mobil. Menurut Tahta, selain hemat, berjalan kaki juga menjadi alternatif untuk membangun kemesraan bersama pasangan. Setidaknya dengan begini mereka bisa bergandengan tangan, sambil sesekali saling meremas jemari sebab pembicaraan yang menyebalkan.

"Kamu tahu, Pram, dulu waktu aku jadi ajudan gubernur, itu kan kami sempat ditempatkan di pelosok untuk mengajar. Nah, anginnya setiap waktu lebih kencang dari ini. Sampai suatu malam, selepas acara mengaji dengan anak-anak desa, aku keluar rumah peristirahatan. Ya ... niatnya mau beli pembalut. Tapi angin malam itu seolah-olah taufan. Baru beberapa langkah aku jalan di gang, baju-bajuku semua terbang. Ini sih nggak ada apa-apanya," tutur Tahta masih sambil bergandengan tangan dengan Prama.

Sesekali lelaki itu menarik lengan Tahta untuk lebih ke kanan ketika berpapasan dengan orang atau benda. Masih asyik memperhatikan langkahnya, Pramana menggenggam jemari Tahta lebih kuat, mereka hendak menyebrangi jalanan yang tanpa zebra cross. Setelah menengok kanan dan kiri, keduanya setengah berlari sambil melambaikan tangan.

"Ya tetap aja, 'kan, Ta. Sistem imun di tubuh kita itu akan melemah kalau sering kena angin malam yang otomatis nantinya bakal mudah sakit. Yang repot siapa kalau kamu sakit?"

"Kamu?" tanya Tahta sambil melihat ke arah Prama yang tak balik menatapnya.

"Dokter di faskes 1 kamu, aku malas ngurusin kamu."

"Yee ... siapa juga yang mau kamu urusin, Dokter Pramana Bratadikara yang begitu indah."

Pramana tersenyum sekilas, menepikan diri ke tenda hijau yang kumuh seraya menarik lengan istrinya untuk turut serta bergabung.

"Dua mangkuk, Mas. Yang satu gulanya setengah porsi, yang satu jangan pakai kacang ijo, ketannya aja," kata Pramana.

Seperti ini biasanya. Setelah satu atau dua jam makan nasi, maka Pramana dan Tahta akan melanjutkan ke makanan penutup. Yang paling mereka gemari adalah bubur kacang ijo yang dijual di gerai dekat pom bensin. Jaraknya mungkin sekitar 2 km dari rumah mereka. Sambil menunggu nasi yang mereka makan terserap oleh tubuh, keduanya akan menghabiskan waktu di jalanan. Seperti tadi, sekadar berjalan-jalan atau duduk-duduk di taman kota.

Menurut Pramana, meskipun lelah seharian bekerja di rumah sakit, jika itu bersama Tahta, harinya kembali menyegarkan. Kendati tak terlalu cantik, Tahta tetap sedap dipandang. Mata kenarinya yang lucu, serta bibir mungil yang bertengger di wajahnya yang ayu. Kadang, Prama begitu ingin menciumnya di muka umum, tetapi ia selalu sadar akan status sosialnya dan status sosial istrinya. Perempuan di sampingnya begitu memesona. Cara duduknya, cara bicaranya, cara menatapnya, bahkan cara memanggil nama Prama terdengar indah. Dengan nada rendah yang diayunkan sedikit, suara yang tak terlalu merdu itu terdengar elegan.

JenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang