Yena dan Yuri otomatis melirik kearah pintu. Mempertimbangkan pilihannya sebentar, Yena kemudian bergerak dari atas Yuri. Dia menatap Yuri tanpa mengalihkan kewaspadaan. Yuri balas menatapnya dari bawah dengan kekesalan yang belum juga mereda.
"Dengar, ya." kata Yena. "Ini sebenarnya cuma masalah sepele. Jika kamu tidak membesar-besarkannya seperti tadi, semuanya tidak akan jadi seperti ini."
Yuri masih diam. Terdengar suara napasnya yang tajam dan dadanya yang naik turun. Dia masih terkejut karena Yena sebenarnya hampir membunuhnya tadi kalau bukan karena ketukan di pintu itu. Tetapi entah kenapa dia lebih merasa marah karena berhasil di kalahkan dengan mudah.
Ketukan di pintu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Yena berjalan kearah pintu tapi berhenti sebentar dan memandang Yuri yang masih berbaring di lantai.
"Aku akan membuka pintunya. Jangan bertingkah." ucap Yena.
Ketika membuka pintunya, Yena mengerutkan keningnya karena tidak ada siapapun yang menyambutnya di situ. Sampai akhirnya ia menydari sosok kecil itu ketika menunduk sedikit.
"Apa kamu punya pena ?" tanya gadis itu. Dia mendongak memandang Yena.
"Pfft." Yena tak bisa menahan tawanya. Merasa tersinggung sedikit gadis itu pun menghela napas dan berkacak pinggang. Hal seperti ini memang sudah biasa ia terima. Fisik yang kecil ini memang tidak bisa di tolong lagi.
"Siapa kamu ? Ini sekolah SMA, lho." kata Yena. "Apa kamu tidak salah masuk ?"
"Aku ada di satu ruangan bersamamu semalam. Kamu tidak lihat ?"
"Maaf, mungkin ruangannya terlalu gelap atau kamu yang..." Yena sengaja tidak berbicara sampai selesai. Untuk menambahkan unsur humor dalam ucapannya.
Gadis pendek itu mendengus dan menatap Yena yang masih berusaha menahan tawa dengan malas. Semakin lama dia disini makin kesulitan untuk menahan diri.
"Jadi kamu punya pena atau tidak ?"
"Ah, iya iya. Tentu saja ada. Memang kemana penamu ?"
"Lupa bawa."
"Kamu tahu kalau kamu akan masuk ke sekolah, kan ?"
"Maaf, tapi aku ke sini untuk membunuh orang." jawab gadis itu kalem.
Yena tertawa kecil kemudian melangkah ke dalam. Sekilas dia melirik Yuri yang sudah pindah dari lantai dan sekarang duduk di ranjangnya. Yena tidak mempedulikan aura membunuh yang kental dirasakannya itu. Dia hanya melangkah mengambil pena di mejanya lalu kembali menuju pintu. Ke arah gadis kecil yang masih menunggunya.
"Ini penaku." kata Yena sembari menyerahkan penanya. Gadis itu segera merebut pena dari tangan Yena kemudian pergi berlalu.
"Hei, siapa namamu ?" tanya Yena. Gadis itu menjawab tanpa menoleh.
"Nako."
~~~
Yabuki Nako masuk kembali ke kamarnya dengan perasaan kesal. Namun sebenarnya semua itu sudah ia duga sebelumnya. Tentang bagaimana fisiknya yang kecil membuat orang meremehkannya ketika pertama kali bertemu. Hal itu selalu ia alami dan akhirnya jadi kebiasaan. Sayangnya dia belum bisa menerima itu sepenuhnya.
Ketika kembali ke kamarnya Wonyoung ternyata tidak ada di dalam. Ironis sekali menempatkan gadis setinggi itu dengannya. Bahkan penampakannya saja membuat Nako merasa marah.
Seberapa sering pun Nako melihat Wonyoung dia tetap saja iri kepada bentuk tubuh itu. Jang Wonyoung adalah juniornya di agensi pembunuh bayaran mereka. Kemampuan anak itu memang hebat dan dia berbakat. Tapi Nako tetap mengunggulinya. Satu-satunya yang jadi kekurangan Nako adalah tinggi badannya yang menjulang itu.
Pintu dibuka secara tiba-tiba tak lama kemudian. Ketika Nako sedang sibuk dengan gerutuannya sendiri tentang tinggi badannya. Orang yang mengisi pikiranya dari tadi masuk sambil membawa sebuah gulungan kertas dan sebuah buku.
"Apa itu ?" tanya Nako.
"Ah, ini ?" Wonyoung mengangkat gulungan kertasnya. "Atau ini ?" Lalu dilanjutkan dengan mengangkat buku di tangan satunya.
Nako memutar matanya sambil menghela napas. "Tentu saja dua-duanya. Dan darimana kamu tadi ?"
Wonyoung duduk di ranjangnya. Kemudian dia membuka gulungan kertas itu. Bagian kertas yang bergambar dia arahkan kepada Nako yang menunggu dengan tangan bersedekap. Dan Nako akhirnya dapat melihat cetak biru dari sebuah bangunan. Begitu melihat ke tulisan hitam yang berada di atasnya Nako pun menyadari apa itu.
"Darimana kamu dapat ini ?" tanya Nako.
"Perpustakaan." jawab Wonyoung. Ada nada bangga dalam suaranya.
"Kamu mendapatkan cetak biru sekolah ini dari perpustakaan ?" Kening Nako berkerut dalam.
"Tempatnya memang perpustakaan." Wonyoung menggulung lagi kertas berisi cetak biru SMA khusus putri Andromeda itu. "Tapi sebenarnya aku merayu penjaga perpustakaannya yang sudah tua. Lalu dia memberikan salinan cetak birunya dengan imbalan ciuman di pipi."
Senyuman licik di wajah Wonyoung memang terlihat imut jika orang baru pertama kali melihatnya. Namun Nako sudah tahu berapa banyak nyawa yang melayang karena termakan senyuman itu. Wonyoung adalah tipe pembunuh yang mengerikan. Dia kebanyakan menggunakan wajah dan perilakunya yang manis untuk membuat target percaya kalau mereka sedang berbicara dengan seorang gadis yang tidak berbahaya dan tidak ada alasan untuk tidak mengikutinya ke tempat yang sepi.
Baru saja dia menggunakan cara itu. Untung saja dia tidak menuruti kebiasaan dan membunuh penjaga perpustakaan itu.
"Aku hebat, kan ?" kata Wonyoung. Seperti anak kecil yang meminta penghargaan karena sudah berhasil mandi sendiri.
"Lumayan." kata Nako. Tidak tulus. "Berikan padaku."
Wonyoung diam sebentar. Rasanya kurang adil jika memberikannya begitu saja pada Nako. Dia tidak melakukan apapun dan sekarang memintanya begitu saja padahal Wonyoung harus susah payah merayu penjaga perpustakaan untuk ini.
"Sini !" Nako mengulurkan tangannya tidak sabar. Lalu dia menangkap tatapan Wonyoung yang tidak enak dipandang menurutnya.
"Kenapa ? Kamu tidak mau memberikannya ?" tuntut Nako lagi.
"Kamu, kan tidak melakukan apa-apa." jawab Wonyoung.
"Ooh, kamu tidak mau memberikannya padaku ? apa aku perlu merebutnya secara paksa ?"
Wonyoung mendengus marah. Jika dia bisa, dia sudah menghabisi Nako sejak dulu. Dialah satu-satunya senior yang ia tidak sukai. Entah kenapa Nako memperlakukannya dengan begitu buruk sejak dulu. Meskipun ketua agensi mereka memuji pekerjaan Wonyoung habis-habisan Nako hanya menganggap setiap pekerjaan Wonyoung sebagai keberuntungan pemula biasa.
Lalu akhirnya waktu itu Wonyoung sudah tidak tahan lagi. Akhirnya dia memutuskan menyerang Nako ketika sedang melakukan pengintaian. Dia melakukan serangan sembunyi-sembunyi. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya sebelumnya. Tetapi Nako menyadari itu dengan mudah. Dia balik menyerang Wonyoung dan mematahkan lengannya saat itu juga. Dengan nada marah yang kental Nako menempelkan pisau kecil di leher Wonyoung hingga darah menetes keluar.
"Aku bisa melihat tubuhmu yang seperti menara itu dari seratus meter !"
Kata Nako waktu itu. Kemudian Wonyoung menyadari dia tidak bisa mengalahkan seniornya itu.
Wonyoung berhenti membayangkan masa lalu yang hampir merenggut nyawanya. Kemudian menyadari tangan Nako yang masih terulur.
"Jadi kamu memang memintaku merebutnya, ya ?"
Sebelum Nako benar-benar berdiri Wonyoung pun menyerahkan gulungan itu. Sambil memendam gerutuan yang ia simpan sendiri. Tapi Wonyoung akan tetap mengambil kesempatan yang ada jika akhirnya ia bisa menghabisi Nako kapan pun itu.
~~~
>>>
KAMU SEDANG MEMBACA
TARGET
FanfictionSeorang gadis menjadi target pembunuhan besar. Sebelas orang pembunuh bersaing dalam perlombaan berdarah itu. Lee Chaeyeon tidak pernah memikirkan apapun dalam hidupnya selain menyelesaikan tugas yang diberikan padanya. Kali ini targetnya adalah Mi...