5

16 5 0
                                    

Dersik angin yang berhembus mengibaskan sehelai demi sehelai rambut Juli, membuat ia merasakan pedihnya semakin mendalam.

Senja dikala itu, membangkitkan kenangan yang sudah seharusnya Juli buang jauh jauh. Tik, tetesan air mata jatuh pada kertas yang Juli gunakan sebagai media meditasi perasaannya.

Ia mulai menggerakkan jemari nya untuk mengungkap apa yang ia rasa, meski enggan dan air mata terus luruh ia tetap tak berhenti menulis.

"Aku, akan selalu belajar merelakanmu. Kehilanganmu ialah suatu hal yang tak pernah ingin ku pahami, karena semakin ku pahami, itu hanya akan semakin menyakiti juga melukai hati. Entah aku yang kehilanganmu, atau kamu yang kehilanganku.

Diam, menangis, menyendiri. Mungkin hanya itu yang bisa kulakukan. Bukannya tidak memperjuangkan, namun aku hanya berhenti mengharap. Ya, kita tidak bisa melupakan. Kita hanya harus bisa menerima kenyataan. Sulit, pasti. Tapi sampai kapan akan seperti ini?"

Dirasa cukup menulis perasaanya, Juli cepat cepat menghapus air matanya yang telah membanjiri pipi. Ia beranjak dari kursi taman, dan melangkahkan kaki ke rumahnya.

                                    •••

Gen, orang pertama yang Juli temui ketika Juli memasuki ruang tamu. Ia melihat Gen menatap dirinya tajam, "Darimana lo? Kenapa matanya sembab? Kenapa hidungnya merah?" tanya Gen tanpa basa basi.

Juli berdecak malas, ia menjawab singkat "Cari udara segar" katanya. "Bohong!" ujar Gen marah seraya beranjak dari duduknya dan menghampiri Juli.

Gadis itu membuang mukanya malas karena omelan kakaknya yang terlalu berlebihan menurutnya. "Lo abis dari taman kan? Nangisin bajingan itu lagi iya?" desak Gen.

"Apaan sih? Dia manusia kak! Kakak bakalan terima ga kalo aku di sebut bajingan sama orang lain? Engga kan?!" bentak Juli, bahu gadis itu bergetar.

Gen diam. "Apa? Kenapa diem? Aku salah kan? Ayo marahin lagi kak! Marahin sampe bikin aku ngerasa bener bener ga berguna kak!" kata Juli melemah.

Gen meraih tangan Juli, namun Juli menepis nya kasar. "Maafin kakak, de. Ga seharusnya kakak bilang gitu. Kakak yang salah."

"Udahlah kak, Juli cape. Kakak atau siapapun itu ga pernah ada yang benar benar ngerti perasaan aku! Sekalipun ada yang bilang "Aku ngerti kok perasaan kamu" dia cuma empati bukan peduli kak" Juli menangis di sela sela kalimatnya.

Hingga, Ira, Bunda nya keluar dari kamarnya. Ia mengernyit bingung "Ada apa ini? Kok ribut?" tanya nya pada Juli dan Gen. Juli menunduk dan masih menangis, sedangkan Gen diam.

Ira menghampiri Juli dan memeluk anak bungsunya itu "Kenapa nak? Jangan nangis dong" ia mendongakan kepala Juli dan menghapus air mata anaknya. Juli balas memeluk Ira, bahkan lebih erat.

Gen membuka suara, "Juli tadi dimarahin Gen Bun, maaf." aku Gen. Ira tersenyum "Bagus kamu, udah berani mengakui kesalahan. Sekarang masuk kamar, biar Bunda yang tenangin adikmu."

"Iya" kata Gen lalu berjalan ke atas, ke kamarnya.

                                     •••

Ting tong

Ting tong

Di hari Minggu, bel rumah Juli berbunyi. Bi Ina yang membuka. "Eh? Ini aden yang waktu itu ya?" tanya Bi Ina.

Juno tertawa "Saya mah Juno Bi, bukan Aden." jawabnya membuat Bi Ina ikut tertawa. "Silahkan masuk atuh nak Juno, mau ke Juli kan? biar bibi panggilin."

Juno mengangguk, "Saya ga ganggu Bi?"

"Engga nak Juno" jawab Bi Ina. "Saya tunggu disini aja, engga akan lama juga lagian Bi."

Bi Ina pun masuk ke rumah memanggil Juli, sedangkan Juno menunggu sambil mengotak ngatik handphone yang hanya sekedar mengurangi rasa gugup. Tak lama, Juli keluar bersama Gen.

Juno memasukan handphone ke saku celananya santai. Lalu tersenyum ke arah Juli, "Hai, sorry nih kalo gue ganggu." kata Juno.

Gen menatapnya tajam, "Siapa lo?" tanya nya sarkas. Juli lagi lagi memutar bola matanya malas, "Dia teman Juli kak, Juno." jawab Juli.

"Kakak ga nanya kamu, kakak nanya orang ini." katanya masih menatap tajam Juno. Juno tetap santai, dan kembali tersenyum "Saya Juno, teman Juli. Mungkin sebentar lagi lebih dari teman." jawabnya.

Juli melotot "Apa apaan sih lo heh?" lalu Juli memukul lengan Juno membuat sang empu tertawa. "Berani lo macem macem sama adek gue, abis lo!" ancam Gen kemudian ia masuk kedalam rumah.

"Jalan yuk, ini kan hari Minggu." ajak Juno. "Gue gaada waktu." jawab Juli. "Waktu berapa sih? Beli dimana? Kalo gaada, ayok gue beliin." candanya membuat Juli menahan tawa.

"Jadi gimana? Mau ga?" tanya Juno sekali lagi. "Tanya nya sama kakak gue yang tadi gih. Nyokap bokap gue pada pergi, jadi sebagai pengganti nya lo izin ke kakak gue."

Juno tersenyum lebar. Juli menatapnya geli "Kenapa lo? Kesambet?", "Engga, seneng aja denger bidadari ngomong panjang kali lebar." jawabnya santai.

"Ck, yaudah cepetan izin!" titah Juli. "Gimana bilangnya?" tanya Juno. "Gimana bilangnya?" tanya balik Juli. "Iya, gimana bilangnya?" tanya balik Juno, lagi.

"Lo yang punya mulut, lo yang niat ngajak gue jalan. Lo juga yang harus nerima resiko nya lah, kenapa jadi gue?" kesalnya Juli. "Iya iya sorry, jadi gue masuk dulu nih kerumah lo?" tanyanya polos.

"Astaga Juno Algae, ya iya lah! Terus lo mau kemana?" Juli yang kesal membuat dirinya semakin lucu dimata Juno, Juno pun tertawa. "Tunggu sini." katanya, lalu ia masuk.

                                     •••

Susah payah sebenarnya untuk membawa Juli pergi walau sebentar, tapi apapun rintangannya Juno akan tetap melakukan itu. Begitu prinsip Juno.

"Aneh banget deh gue, masih kepikiran aja gitu. Kok dengan mudah kak Gen ngizinin gue buat pergi sama lo sih?" tanya Juli kesekian kali.

"Kenapa sih di pikirin mulu? Seneng lo pergi sama gue?" goda Juno. "Hih, seneng matamu! Mataku kagak!"

"Cie mulai aku-kamu nih" Juno terbahak. "Najis tau ga?!" delik Juli tajam.

"Ini sebenarnya mau kemana?" tanya Juli. "Ke tongkrongan, gue pengen aja bawa lo. Ngenalin lo ke temen temen. Fine kan?" tanya Juno hati hati. Juli mengangguk, "Jadi, jalannya tuh ke tongkrongan lo gitu?"

"Iyap, pinter kamu." kata Juno dan tangan kiri nya terulur mengacak rambut Juli. Sang empu pun mendumel kesal. FYI, Juno membawa Juli pergi menggunakan mobil BMW hitam miliknya.

Give Me Happiness!Where stories live. Discover now