'Cantik, bukan kuingin mengganggumu, tapi apa arti merindu selalu. Walau mentari terbit di utara, hatiku hanya untukmu.' — Kahitna, Cantik
***
BIRU tahu sampai kapan pun dia tak akan pernah menjadi warna favorit Re. Ada banyak warna di hidup gadis itu, Biru mungkin salah satunya, tetapi bukan yang paling utama. Warna lain, nama lain, yang tak pernah absen dibicarakan di setiap pertemuan mereka. Biru mengenalnya, sekalipun Biru tak pernah bertemu dengan lelaki itu. Memang, tak satu kali pun Re mengutarakan secara gamblang tentang perasaannya; isi hatinya, tetapi kilat bahagia di bola mata Re tak bisa Biru abaikan begitu saja.
Re selalu lebih bersemangat setiap kali warna satu itu menjadi topik pembicaraan mereka. Biru menyebutnya Kelabu, tetapi sepertinya Re lebih suka memanggilnya Baskara. Ya, Baskara yang itu, yang memiliki arti matahari. Matahari buat Re. Namun, langit keruh pertanda hujan bagi Biru.
Sayangnya, setidak suka apa pun Biru pada Kelabu, dia tetap saja tak bisa menyingkirkan Kelabu dari hidup mereka. Kelabu akan tetap di sana. Mengisi celah kosong tak kasatmata di antara Biru dan Re. Meski wujudnya tak pernah nyata, tetapi namanya tak pernah absen.
Namun, sungguh, Biru tak keberatan. Baginya Re adalah segalanya. Gadis itu semesta Biru yang lain. Apa pun akan Biru lakukan demi membahagiakan Re. Apa pun. Benar-benar apa pun. Bahkan, dia rela memberi nyawanya kalau memang itu yang paling Re butuhkan. Meski, Biru yakin, seandainya Re diberi pilihan, warna apa yang gadis itu mau, bukan dia yang jadi jawaban.
Biru memejamkan mata selagi tangan kanannya menekan tuas untuk menurunkan sandaran jok. Pelan coba diusirnya pemikiran aneh yang sejak tadi menghuni isi kepalanya. Kelabu enggak ada di sini, pikir Biru. Re bersamaku. Tak seharusnya dia memusingkan rivalnya di saat dia sedang menunggu kedatangan Re.
Pelupuk mata Biru semakin rapat. Cuaca di luar cerah, terlalu cerah. Syukurnya pendingin mobil bekerja maksimal. Setidaknya, dia bisa terlelap sebentar sampai gadis yang ditunggunya itu datang. Sabtu ..., Biru tersenyum miring. Hanya Re satu-satunya yang bisa membuatnya meninggalkan kamar di hari Sabtu.
Akhir pekan adalah waktu yang paling Biru tunggu-tunggu. Senin sampai Jumat bekerja, dia lebih suka hanya berada di rumah saat Sabtu dan Minggu. Namun, ini Re! Gadis yang dicintainya. Kalau Re sudah memberi titah, tak ada yang bisa menolak. Bahkan Biru yang kelelahan sekalipun.
Tidak, tidak, Biru tidak lelah. Tadinya, iya. Namun, saat membayangkan akan bersitatap dengan wajah Re, capai itu meluap, hilang, sirna. Yang tersisa hanyalah semangat. Re memang seajaib itu. Perempuan itu tak perlu melakukan apa-apa, tetapi semesta Biru berhasil dibuatnya jungkir-balik. Jangankan mengorbankan Sabtu, kalau Re meminta tujuh hari dalam sepekannya, Biru yakin dia akan langsung mengiakan.
Ketukan di kaca jendela membangunkan Biru. Dia segera membuka kunci pintu otomatis. Re, dengan napas satu dua, duduk di sebelahnya, mengisi tempat kosong yang sejak tadi disiapkan Biru hanya untuknya seorang.
"Ru ...." Re menggoyang pelan bahu Biru. "Kamu tidur?"
"Hhhh." Biru menggeliat, tetapi pelupuknya tetap merapat.
"Ponsel aku enggak di aku, jadi aku enggak tahu kamu ada telepon berkali-kali," Re menjelaskan alasan mengapa beberapa panggilan Biru tidak mendapat respons. "Aku lagi menghadap atasan, ponselnya ketinggalan di kubikel. Ru ..., bangun, dong. Aku lagi bicara sama kamu, nih."
Biru tersenyum samar. "Aku dengar, Re," katanya. Dia akhirnya membuka netra, mendapati Re menatapnya cemas. Kamu cantik, Biru memuji diam-diam.
YOU ARE READING
REWIND
Short StoryBehind every favorite song, there's an untold story. Rewind © 2018 by Jenny Annissa.