SEPTEMBER

2.6K 157 6
                                    


'Maaf dan maaf.... Tak ada lagi yang diperdebatkan. Semua kesalahan itulah yang aku berikan. Apakah sang waktu telah menyembuhkan lukamu? Apakah dirimu mau memaafkan aku?' – The Finest Tree, Sedikit Waktu



***


JAM dinding belum genap mengarah ke angka sepuluh, masih ada enam menit lagi. Namun, dingin yang merasuk berhasil membuat Adrien Elyas semakin merapatkan sweter kelabunya. Sama halnya dengan langit malam ini. Alih-alih kerlipan bintang menghias, gumpalan awan tipis tersebar di setiap penjuru. Keadaan yang bertolak belakang. Seolah baru saja beberapa menit lepas dari kepergian senja. Seolah dua jam lagi bukanlah waktu di mana pergantian hari terjadi. Pun, seolah tidak ada rapat penting menantinya esok.

Adrien tahu, seharusnya dia kembali ke kamar. Merebahkan diri. Berusaha mengundang kantuk. Berakhir dengan mimpi indah. Seperti hari-harinya biasa. Namun, Adrien pun tahu, hidupnya tak lagi sama semenjak kehadiran perempuan satu itu.

Septembernya.

Tidak ada dua pasang mata saling menatap dengan sorot terkejut. Tidak ada gerak tubuh kaku cenderung canggung. Tidak ada ucapan yang terpatah-patah. Hanya Adrien yang melihat. Tidak dengan perempuan itu. Hanya Adrien yang menyadari selagi sang perempuan semakin jauh memunggunginya. Hanya Adrien yang berusaha mengejar, tetapi perempuan itu malah menghilang dibawa pekatnya malam. Ya, semua hanya tentang Adrien, tidak dengan Septembernya.

Helaan napas berat melepaskan diri. Adrien sungguh-sungguh tidak tahu apakah dia harus bersyukur dengan pertemuan tak terduga tersebut atau malah mengumpat. Sekian tahun berlalu, setelah segala sesuatunya perlahan membaik, Septembernya kembali hadir. Seakan dia tak pernah lenyap begitu saja.

Tidak begitu saja, sebenarnya.

Septembernya tidak mungkin pergi kalau saja dia tidak melakukan kesalahan. Septembernya adalah perempuan paling pengertian. Septembernya adalah perempuan yang paling memahaminya. Septembernya adalah perempuan yang paling peduli padanya ketika orang lain bahkan tak ingin menolehkan kepala barang sejenak. Septembernya adalah segalanya.

Hanya Septembernya yang berhasil membuatnya bicara ketika bibirnya selalu bungkam berhadapan dengan orang lain. Bukan karena lawan bicaranya tak pandai, Adrien hanya tidak ingin. Namun, berbeda dengan Septembernya. Perempuan itu tahu benar bagaimana bersikap. Kapan dia harus mengusap punggung tangan Adrien. Kapan dia harus menepuk pundak Adrien. Kapan dia harus memberi pelukan menenangkan.

Lantas, mengapa Adrien Elyas begitu bodoh bila memang benar Septembernya seberharga itu?

Pernahkah kau mendengar kutipan bijak yang kurang lebih berbunyi begini, Jangan pernah menggenggam terlalu erat. Sebab, bukannya membahagiakan, kau justru melukai?


***


NAMANYA bukan September. Namun, Adrien suka memanggilnya September.

Mengapa September? Karena mereka bertemu di pertengahan bulan September. Pada siang yang begitu menyengat. Saat jarum jam mengarah tepat di pertengahan hari. Di antara orang-orang yang sibuk meneliti dari satu rak buku ke rak buku lain. Beberapa tampak girang setelah menemukan apa yang dia inginkan, lalu mendekap seerat mungkin selagi langkah tertuju ke meja kasir. Beberapa lainnya terlihat tak begitu peduli. Setelah mendorong pintu membuka, tersenyum senang ketika pendingin ruangan berhasil menyegarkan sekujur tubuh, mereka berputar-putar tak tentu arah. Seakan sekadar menghindari kenyataan di luar sana.

REWINDWhere stories live. Discover now