LANGIT ABU-ABU

1.1K 82 2
                                    


'Di bawah basah langit abu-abu, kau di mana? Di lengangnya malam menuju Minggu, kau di mana?' – Tulus, Langit Abu-abu



***


TANGANKU memutari bibir cangkir. Belum ada perubahan pada langit di luar sana. Masih seabu-abu saat aku tiba di Ruang. Sebuah kedai kopi yang lucunya juga menyediakan cokelat hangat terenak. Letaknya di sudut pertigaan jalan. Kalau kalian menatap ke depan, kalian akan menemui warung tenda yang penuh dengan lautan manusia. Aku tidak pernah mampir ke sana, meskipun aku penasaran apa yang warung tenda itu sediakan sampai orang-orang lebih tertarik berada di tempat itu alih-alih kedai kopi senyaman Ruang—yang selalu sunyi dari hari ke hari.

Sama halnya aku tidak tahu mengapa aku masih saja tega menyakiti mataku menatap jendela kaca tidak jauh dari tempatku duduk, padahal aku tahu benar kamu tidak akan datang. Tidak akan pernah kembali. Entah apa yang terjadi padamu, tetapi aku yakin sorot matamu hari itu adalah jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah berani kuajukan. Bahwa kamu tidak menginginkanku, sebab itu kamu memutuskan menghilang. Pergi ke tempat di mana tidak ada aku. Menjalani hidupmu seperti sebelum menyadari ada sepasang mata yang diam-diam terus memperhatikan gerakmu.

Sekarang, pertanyaanku hanya satu.

Maukah kalian berkenalan denganku dan mendengar kisahku?

Benar, aku. Seorang gadis yang tidak suka kopi, bahkan hanya dengan mencium aromanya kepalaku bisa pusing tujuh keliling, tetapi anehnya aku tidak keberatan duduk di Ruang berjam-jam hanya untuk menunggu kedatangan lelaki itu.

Pun, aku—seorang gadis yang mengaku menyukai hujan, tetapi meragu berada di bawahnya, sebab aku tidak siap basah. Namun, lagi, aku tidak masalah andai saja kamu menghampiriku lalu mengajakku pergi berjalan-jalan di bawah rintihan langit abu-abu.

Sebab, bersamamu akan selalu ada pengecualian.

Jadi, apa jawaban kalian?


***


AKU tidak tahu siapa namamu. Kita tidak pernah berkenalan. Lalu, bagaimana ceritanya aku bisa tahu kamu?

Hari itu aku sedang menikmati waktu senggang di toko buku bekas langgananku. Berharap menemukan harta karun. Sebuah novel yang tampak lusuh, menguning, terlipat di beberapa bagian, tetapi ada keajaiban besar tersimpan di dalamnya. Semisal, menumbuhkan semangat menulisku—yang entah lenyap ke mana selama beberapa waktu terakhir.

Di tengah-tengah pencarian, di antara rak-rak buku yang tak lebih tinggi dari kepalaku, aku melihatmu. Seorang lelaki menggunakan kacamata berbingkai hitam. Pandanganmu lurus tertuju pada lembaran kertas kuning di hadapanmu. Sedikit pun tampak tak terganggu keriuhan pengguna jalan di luar toko buku. Aku memiringkan kepala, berharap dapat membaca judul yang tercetak di sampul. Sayangnya, kamu buru-buru menutup, lalu melangkah menuju bapak-bapak tua pemilik toko.

Dalam diamku, tak kulepas pandangan darimu.

Entah dari mana datangnya magnet, selepas kamu menyelesaikan pembayaran, beranjak keluar, aku malah mengekori langkahmu. Terus saja, meskipun aku tidak sungguh-sungguh tahu di mana pemberhentian yang kamu inginkan.

Kita melewati beberapa blok. Gerak kakimu stabil, tak menyadari ada gadis penguntit beberapa meter di belakangmu. Sedikit banyak aku bisa mengembuskan napas lega. Sampai akhirnya, tiba-tiba saja kamu bergegas, mendekap kantong plastik hitam di tangan kananmu, kemudian berlari kecil.

REWINDWhere stories live. Discover now