'It's you, it's always you. If I'm ever gonna fall in love, I know it's gon' be you. It's you, it's always you. Met a lot of people, but nobody feels like you.' — Alie Gatie, It's You
***
PEKERJAAN Re membuat gadis itu sering bepergian. Sebentar-sebentar Re di Bandung, sesekali ke Yogyakarta, Malang, dan beberapa kota lainnya di pulau Jawa. Pernah juga Re pergi ke Kalimantan dan Sumatera. Biasanya, karena jarak tempuhnya lebih jauh, harus naik pesawat, Re pergi lebih lama. Maksimal sepekan.
Namun, buat Biru, sepekan rasanya lama sekali. Biru selalu saja dibuatnya uring-uringan. Syukurnya, sekalipun jarak membentang, Re tak pernah keberatan dirusuhi dengan telepon-telepon tak penting dari Biru. Ada saja yang lelaki itu jadikan topik obrolan. Entah bos menyebalkan, kantin kantor yang lebih penuh dari biasanya, deadline naskah yang harus direvisi, atau sesederhana Jakarta macet—demi Tuhan, Jakarta tak pernah tak macet, Biru tahu itu.
Pernah, dari semua perjalanan Re, ada satu kali Biru mendapati Re tidak seperti biasanya. Gadis itu pulang dengan wajah setingkat lebih cerah. Re juga lebih sering tersenyum. Biru pun kerap menangkap basah pipi Re bersemu merah jambu setiap kali menatapi layar gawainya. Entah pesan dari siapa yang berhasil membuatnya demikian. Biru tak bertanya, tak ingin.
Pertama, dia tak ingin mengusik. Re selalu cerita, apa saja. Kalau Re tidak cerita, mungkin gadis itu lupa. Atau, hal tersebut memang tidak terlalu penting. Tak seharusnya mereka bahas. Yang pasti, Re tidak suka didesak. Tidak peduli sekeras apa usaha Biru mengorek informasi, kalau Re tak ingin, dia tak akan dapat hasil apa-apa. Jadi, Biru menyepakati satu hal, lebih baik menunggu. Selama apa pun itu. Kalau dia memang pantas untuk tahu, dia akan tahu, langsung dari yang bersangkutan.
Kedua, jujur saja, Biru takut mendengar kenyataan. Biru takut mengetahui siapa sesungguhnya yang berhasil menghuni hati Re. Sejak lama mereka bersama, dekat sebagai sahabat, tak pernah ada yang sukses tinggal lama di sana, di hati Re. Termasuk Biru.
Sayangnya, Semesta ingin Biru tahu.
Hari itu, setelah merasa cukup menyimpannya sendiri, Re akhirnya memberi tahu Biru perihal lelaki itu. Baskara, katanya. Bukan nama sebenarnya, tetapi Re senang memanggil demikian. Biru, tentu saja, diam-diam menolak keras! Dia lebih suka menyebut si perusuh itu sebagai Kelabu. Awan keruh yang mengundang badai. Badai di hubungan mereka. Biru tahu Re tidak berubah—Re tidak meninggalkannya, tetapi Biru pun sadar ada jembatan tak kasatmata di antara mereka sejak kehadiran Kelabu.
Re lebih senang berlama-lama memandangi gawainya daripada berbincang dengan Biru. Re juga kerap memilih berakhir pekan di rumah daripada mengitari Jakarta tak tentu arah bersama Biru—seperti kebiasaan mereka. Belum lagi betapa seringnya Kelabu jadi topik pembicaraan mereka. Demi Tuhan, Biru muak. Sangat.
"Aku pikir kamu marah karena aku enggak cerita." Biru ingat Re berkata demikian. "Kamu enggak pernah tanya apa pun."
Biru diam. Lama sekali. "Kamu enggak suka didesak, aku tahu itu, Re. Aku cuma ngerasa, kalau kamu mau cerita, enggak perlu aku tanya pun, kamu bakal cerita."
Re terdiam di ujung panggilan. Ya, mereka terhubung melalui sambungan telepon. Terpisah jarak Jakarta dan Bandung. Seperti biasa, Re dapat tugas ke luar kota. Seperti biasa pula, Re kesulitan tidur di malam pertamanya. Juga, seperti biasa, Biru orang satu-satunya yang tak keberatan direpotkan. Jadilah mereka ngobrol ngalor-ngidul.
Niat awalnya mengundang kantuk. Namun, semakin tinggi rembulan menuju peraduan, semakin terang mata keduanya. Belum lagi, malam cenderung menguak kejujuran, berbanding terbalik dengan gelap yang disuguhkan.
YOU ARE READING
REWIND
NouvellesBehind every favorite song, there's an untold story. Rewind © 2018 by Jenny Annissa.