Aku Pernah Merasa Takut

18 0 0
                                    

Hidup terlilit hutang demi orang lain selama tiga tahun, apakah ini sebuah kebodohan? Hutang bank mencapai sepuluh juta perbulan, gaji minus hanya untuk membayarnya. Bukankah Allah tidak suka pada hamba yang mendzolimi diri sendiri?

Tapi bagaimana? Mereka membutuhkan bantuan dariku, kalau bukan aku yang berkorban lalu siapa lagi? Mengorbankan diri demi orang banyak, bukankah itu lebih baik? Mengorbankan diri agar bisa memastikan bahwa adik-adik memiliki masa depan yang layak, orang tua hidup tak berkekurangan?

Rezeki sudah di atur oleh-Nya. Takdir baik maupun buruk DIA Yang Maha Mengetahui. Namun, aku takut jika adik-adik tumbuh mencari jadi diri dan masa depan di lingkungan bebas, lingkungan yang tidak bisa menjamin bahwa mereka akan menjadi pemuda baik-baik di masa depan.

Aku juga takut, kalau usia kedua orang tuaku tak lama lagi. Kapan mereka akan menikmati masa tua yang indah? Memetik buah yang mereka rawat selama puluhan tahun lamanya. Apakah harus menunggu mereka tua dulu baru membahagiakan?

Sementara, masa tua mereka tidak butuh makanan lezat, di ajak jalan-jalan ke sana-kemari. Dibelikan baju baru, diberikan uang hasil kerja memeras keringat. Mengapa harus menunggu tua?

Ibuku pernah berkata, "Nak, mungkin ibu akan segera menghadap panggilan-Nya. Almarhumah nenek mu pun sudah menjemput, ibu akan pergi."

Malam itu semakin larut, suara kicauan tidak lagi terdengar. Hanya suara hening beserta sunyi yang kian mencekam.

Aku dan ibu malam itu tidur di ranjang yang sama, jarak sekitar dua meter. Ibu tidur dengan wajah lesu, lemas dan penuh tangisan di raut wajahnya. Kami tidur terlelap, bersama hening nya sang malam. Sampai aku terbawa ke alam mimpi. Suara bantingan terdengar dari arah dapur, baskom melayang, suara tak...tik...tok...terdengar jelas. Seolah ada suara yang memanggil. Aku terbangun dan merasa tercengang dengan mimpi buruk itu. Seperti ditarik paksa saat napas di ujung penghabisan.

Suara itu semakin terdengar jelas. Ya, aku rasa ini sekadar mimpi buruk. Tapi ternyata aku salah, Ibu yang di samping tengah menangis dalam tidurnya. Kucoba untuk membangunkan, kugerak-gerakkan tubuhnya. Ini ada apa? Aku sangat ketakutan, keringat dingin mulai bercucuran.

“Bangun Bu, bangun! Ibu, bangun!” kugerakkan tubuhnya sambil memanggil.

Aku bisikan di telinganya, “ibu, tolong bangun, ampuni dosaku ibu, ampuni aku yang sudah durhaka, aku sudah membuatmu kecewa, aku sudah membuatmu hancur, beri aku kesempatan ibu. Tolong bangun!” air mataku bercucuran dan penuh ketakutan.

Tiba-tiba air mata menetes di wajahnya tak terpendung lagi. Ibu sudah sadar, tapi Ibu membuang mukanya dari arah pandanganku sambil menahan isak tangisnya penuh dengan lelehan air mata. Kemudian Ibu mulai berbicara.

“Kamu sudah durhaka, tadi almarhum ibuku (Nenek) datang, Ibu ingin menjemputku. Katanya dia kasihan melihatku menderita, di perlakukan seperti pembantu oleh anakku sendiri. Ibu bilang, untuk apa aku hidup di dunia ini lagi, sedangkan hanya dibuat menderita oleh anakku sendiri.”

Ibu tetap membuang wajahnya dari arahku sambil menangis, air matanya sungguh tak terbendung lagi.

Aku menarik tubuhku ke ujung kaki nya. Lalu kucium-cium telapak kakinya, kupegang erat-erat.

“Ibu, ampuni dosa-dosa anakmu, aku belum siap kehilanganmu. Kalau Ibu tiada pasti aku nanti masuk neraka. Surgaku telah tiada. Tolong ibu, aku berjanji akan berubah. Aku akan menjadi anak yang akan mengharumkan namamu," dada ini sungguh rasanya sangat sakit, bagaikan teriris berkepingan.

Kemudian aku melompat dari telapak kaki ke arah tubuh dan memeluknya. Kami menangis bersama. Ternyata tadi aku tidak hanya sekadar bermimpi, ini kenyataan. Sambil melirik dari arah dapur yang pintu kamar sudah terbuka. Sementara alat-alat dapur sudah berantakan.

Malam itu aku bersumpah untuk berubah, apapun yang terjadi ini bukan salah ibuku, tapi garis takdirlah yang bermain. Aku telah berdosa, merobek dan mencabik-cabik hatinya. Menancapkan duri yang begitu tajam bahkan bisa membunuhnya setiap waktu.

Aku yakin ibu tidak ingin aku menjadi pendosa yang teramat durjana, atas ijin Allah, ibu bertahan hidup demi memberiku kesempatan untuk bertaubat.

Aku ingin membahagiakan ibu, memberikan semua hal yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.

Akhirnya malam itu kami tidur bersama, aku memeluknya dengan erat, bagai masa kecilku dulu. Tidur terlelap dalam pelukan Malaikatku.

****

Kau tahu apa yang aku rasakan? Aku ketakutan. Teramat ketakutan.. dunia dan seisinya menolak anak durhaka seperti ku. Ketakutan tentang kematian, tiba menjadi candu memenuhi tempurung kepala, menguasai jiwa rapuh, diri tersadarkan. Bahwa aku tidak lebih dari sampah menjijikan di dunia. Meski sekali pun tubuh menjadi mayat, mayat ku bangkai paling bau. Kenapa? Karen dosa-dosa pada ibu.

Pernah sekali waktu, saat masa remaja tidak tahu diri, suka membangkang, menghabiskan uang, foya-foya, tidak tahu diri, suka melawan, keras kepala. Saat menjadi mahasiswi di luar daerah hobi minta uang, hobi berbohong demi di akui.

"Ma, pa, beras habis. Ma, Pa, uang belanja habis."

"Iya, Nak. Kami akan segera usahakan."

Entah bagaimana pun caranya mereka akan mendapatkan uang itu.

Hingga suatu ketika, Allah menurunkan hidayah-Nya. Semua kemewahan dalam hidupku seolah menangis, jiwaku memberontak. Aku ingin berhenti dari kebiadaban itu. Jatuh bangun untuk berubah, tetap tidak berhasil. Ku ulangi terus menerus, kemudian Allah memberi petunjuk untuk meninggalkan kota Mataram, kota sejuta kenikmatan dunia, surganya dunia.

Aku takut pada dunia, takut kehilangan ibu. Jadi, hijrah ke Hong Kong jalan dari-Nya. Belajar segala hal baru, kehilangan, kehadiran, pertemuan, perpisahan, tangisan, tak ada lagi tawa, tinggal candu berjuang merubah diri.

Banyak orang bertanya, mengapa aku harus begitu berhasrat mengubah keluarga? Menghabiskan seluruh gaji untuk mereka? Rela menderita kekurangan dan kelaparan di negeri orang? Aku punya Tuhan. Tuhan tidak akan membiarkanku sendirian disaat yang diperjuangkan adalah nasib keluarga. Allah bersama ku, dalam keadaan apa pun. Aku sudah lelah dengan hidup ini. Sudah puas, sudah hampir selesai dengan sendiri.

Dan pada kenyataannya, selulit apa pun kesulitan di hadapi, DIA- selalu ada, bahkan dari segala ketidak mungkin-an di dunia ini. Selalu ada jalan dari-Nya.

Perjalanan sang pengembara seperti ku, tidak ada lagi tentang dunia. Cuma bagaimana caranya pengorbanan ku sebagai jihad di sisi-Nya. Jihad membahagiakan ibu, bapak, adik-adik, dan anak-anak yatim. Menjadi manusia bermanfaat bagi orang lain.

Semoga mereka bertahan, sabar, ketika aku tidak bisa mengirim uang belanja, kutitip pada-Nya. Semoga Allah mengizinkan diri ini membahagiakan ibu hingga di tetes darah penghabisan.

A K UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang