Untuk Kata Maaf

18 0 0
                                    

Aku tidak tahu, bagaimana jika nanti kita akan dipertemukan oleh waktu.

Dulu kita adalah sepasang yang saling menyayangi, menjaga, mengagumi, merindukan satu sama lain. Sebelum kita menjadi kau dan aku. Terpisah oleh keegoisan, dari setitik noda.

Aku mundur memilih hancur, daripada bertahan tapi merawat luka. Barangkali begitulah akhir dari sebuah kisah (cinta) yang sudah terbangun dan tertata dengan rapi jika tidak bisa dirawat dengan baik.

Malam itu, setelah kita pulang dari rumah sakit menjenguk keluargamu. Kau hantarkan aku ke kos, dalam perjalanan kita tak saling sapa. Aku benci di diamkan. Ingin lompat dari sepeda motor lalu berteriak.

"Berhenti..."

"Kamu kenapa sih, Ras?"

"Aku bilang hentikan sepeda motormu," suara bariton memecah keheningan malam.

Ia meminggirkan sepeda motor. Wajahnya serba salah. Matanya bening berair.

"Ras, aku hanya ingin kamu bersabar. Aku tidak bisa memilih,"

"Kenapa cintaku di jadikan pilihan? Kenapa Albert? Karena aku tidak seperti keluarga mu harapan? Aku tidak berhijab? Aku menunjukan tubuhku yang sexy?"

"Ras..."

"Apa, bodoh? Aku sudah tanya kan padamu. Aku pakai jilbab atau tidak? Jawab mu mana-mana saja yang penting sopan. Lalu aku putuskan untuk memakai pakaian sopan meski tanpa jilbab?"

"Ra... "

"Tidak, Albert. Aku datang atas undangan darimu. Memperkenalkan pada keluarga mu. Apa ini hasilnya? Yang diterima adalah penghinaan?"

"Tolong, biar aku jelaskan," ia terus berusaha menarik dan memeluk.

"Tadi kamu dimana saat aku dihina bibi mu? Ia mempersilakan aku makan malam bersama, lalu di hina kan. Belum sampai sebutir nasi masuk melewati lidah. Perkataannya mencekik leher," aku menangis keras.

"Berapa harga jilbab, katanya menusuk. Cuma lima belas ribu. Kau tahu, bagaimana sulitnya menelan butir-butir nasi? Seperti duri melewati kerongkongan. Napas tiba-tiba berhenti-tersentak di dada."

"Tolong lah, Ras... Berpikir positif."

"Aku selalu berpikir positif. Tapi lihat bagaimana mereka menghinaku? Jilbab panjang tak akhlak Dan attitude. Kalau bibi mu ustazah sebagaimana pakaian syar'i nya, tak begitu cara menegur."

"Maaf, Ras."

"Tidak, Albert. Aku bukan pilihan. Jangan memilih ku."

Kami pun pulang, dan sejak malam itu merubah segalanya.

Aku tidak tahu apakah selepas ini kita masih menjadi sepasang rindu yang berkabar? Atau malah diam-diam menahan rindu lalu kehilangan.

****

Tetes terakhir peluh telah jatuh pada titian jarak temu yang semakin gaduh atau pada hening nya sepi kini terasa sangat membunuh. Terpisah jauh dari realita. Tersesat. Merana-dalam teka-teki asmara.

Hari-hari mulai berlalu begitu cepat. Aku kira Albert akan menghubungi, menjelaskan yang perlu di jelaskan. Kami memilih diam, tak berkabar, menanggung rindu, amarah, penyesalan, serta penuh tanda tanya?

Ditelepon tidak di angkat, di sms tidak di balas. Setidaknya katakan pada rindu yang menunggu ini.

Ia tak masuk kuliah, kucoba pergi tanya ke kampusnya. Nihil. Keadaan menjadi tak waras.

Kemana dia? Tiga tahun menjaga dengan sangat baik. Di doktrin, tumbuh remaja dalam didikannya.

Albert, aku melihat dunia karena mu. Terbebas dari sangkar. Memiliki hasrat untuk terbang. Andaikan saja, aku tumbuh dari lingkungan yang mengajari untuk menutup aurat mungkin keluargamu akan menerima ku.

A K UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang