Kebahagiaan itu seperti kecantikan paras seorang wanita. Kebahagiaan dan kesedihan itu relatif bagiku. Aku selalu mencari kebahagiaan dari hal-hal kecil di jalanan. Memberi makan para gelandangan kelaparan.
Kebahagiaan itu ada di lorong-lorong, di sepanjang sudut gorong-gorong, di antara para pengemis, gelandangan, penjual sapu lidi, pria tua pejalan kaki tengah malam. Di sana, ya, di sana aku menemukan kebahagiaan hakiki dalam batin. Aku mencari mereka setiap pagi dan siang saat matahari berada di atas puncak. Ku temukan mereka kelaparan tanpa alas kaki berjalan di bawah terik matahari, di atas aspal mendidih. Aku memanggil mereka untuk makan bersamaku di depan kos, atau dibelikan sebungkus nasi dan air aqua botol. Sesekali mereka makan bersama ku, lainnya malu dan memilih makan sendiri. Tatkala jika aku membeli makanan lezat, di jalan menemukan mereka, meski diriku sendiri dalam keadaan lapar dan membutuhkan makanan tersebut. Pikirku aku tidak akan mati hanya karena tidak makan ini, mereka lebih butuh daripada ku. Barangkali mereka belum pernah makan pizza selezat ini. Sungguh, aku menemukan kebahagiaan, rasa lapar hilang berganti senyuman begitu menawan.
Ketika aku tinggal kos di kota Mataram, merantau sebagai anak kuliahan. Tinggal di pusat kota, dengan segala fasilitas hidup memadai. Ada satu hal yang lebih berkesan dalam hidupku, dan itu adalah salah satu hal membuatku sangat bahagia. Setiap pukul 23.00 hingga 01:00 pm, entah keberanian datang darimana. Hampir 3X seminggu aku berjalan mengendarai motor keluar di sepanjang jalan raya, tempat di mana biasanya menemukan kakek penjual lidi, duduk di pinggir jalan penuh lelah dan lesu.
"Assalamualaikum, Kakek.."
"Waalaikum Salam," jawabnya.
"Kakek, belum pulang?"
"Belum nak, ke terminal Bertais
begitu jauh, kakek tidak cukup uang untuk naik ojek atau sekadar Bemo (mini bus).""Berapa biaya ke sana kek? Ini rezeki nanda hari ini, semoga cukup untuk ongkos, dan biaya makan keluarga besok pagi," ucapku menanggapi serta mengambil tangan kakek menyimpan sejumlah dibalik telapak tangannya.
"Terima kasih, Nak," wajah keriput dengan ciri khas topi zaman dahulu kala, serta sarung sebagai ganti celananya.
Kemudian aku juga menyodorkan sedikit makanan dan minuman.
Hal itu aku lakukan selama hampir tahun lamanya, berturut-turut. Aku rindu mereka.Selama berada di HongKong, aku melakukan hal yang sama. Mencari kebahagiaan di sela-sela hati yang tak terjangkau. Aku sendiri hampir lupa, bagaimana kebahagiaan itu? Yang aku pahami satu hal bahwa aku akan bahagia ketika orang lain tertawa dan nyaman saat bersamaku.
Wong Tai Sin, adalah salah satu nama pusat kota di negara Hong Kong. Di sini lah aku tinggal bersama bos dan anak-anak. Lokasi strategis: pasar besar di bawa rumah, 7-eleven tepat di bawah rumah, Park n Shop, toko roti terbaik, taman berderet-deret, Mall, Restauran, McDonald's, store pakaian termurah, empat toko Indonesia yang menyediakan makanan halal, orang-orang baik, tempat naik bus, terminal bus, kereta di bawah tanah, dll. Semua berada tepat di lokasi daerah tempat tinggal kami. So, untuk segala hal membuatku merasa sangat baik-baik saja.
Tepat di bawah depan apartment, di sana biasnya aku menemukan beberapa loyanka (nenek dan kakek) yang berjualan barang rongsokan di pinggir jalan. Meski berkali-kali ditegur polisi, mereka tetap saja ke esokan harinya berjualan. Sebelum memberikan uang atau sekadar makanan terbaik, kupastikan dulu bahwa hari ini barang-barang mereka tidak laku. Pernah sekali waktu, saat pulang menjemput anak sekolah. Kami melewati tempat itu setiap hari.
"Semoga ini cukup untuk beli air minum ku hari ini."
Anakku bertanya "kenapa kamu selalu memberikan dia uang dan makanan mu?"
"Karena dia tidak punya uang. Dan dia juga tidak makan, makanan yang enak seperti kita. Jadi ketika kamu dewasa dan punya banyak uang, tolong sedekah lah pada mereka lebih membutuhkan."
"Ok, cece."
Kami berlalu, dan sungguh hatiku gembira.
Sekali waktu aku dan Kaden berangkat les tai boxing (tinju). Sebelum berangkat kami diminta sama bapak nya untuk makan siang di McDonald's. Kebetulan sebelum berangkat aku sudah kenyang, jadi dibungkus siapa tahu nanti saat menunggu aku akan sangat lapar. Namun di lokasi yang sama dalam perjalanan ditemukan seorang kakek tua dengan pakaian kumuh, berjualan rongsokan entah siapa yang mau membeli. Dengan semangat Aku mengeluarkan jatah makan siang, ku
letakkan di tangannya."Toce... Toce... " wajah nya menunduk mengucap terima kasih.
"Cece, kenapa kamu memberikan makan siang mu? Nanti kamu kamu kelaparan?" Kaden menanggapi.
"Dia kelaparan, mungkin aku akan kelaparan beberapa jam. Namun dia, bahkan mungkin tidak bisa membeli semua makanan ini. Nanti aku bisa beli air minum di 7-eleven nanti," aku bahagia dan kami berjalan bergandengan tangan.
****
O ya, di salah satu toko Indonesia, namanya toko Abadi. Sesuai nama abadi di hati para pelanggan. Pelayanan baik, pemilik toko baik. Bisa makan sepuasnya hanya dengan membayar 35HKD, setara sekitar 50,000 sampai 60,000 rupiah. Mereka begitu baik pada ku.
Hal lain membuat bahagia adalah saat bersama para sahabat.
Kemudian bisa membuat lelucon sehingga orang lain tertawa dan mungkin mentertawakan.
Dan melihat keluarga, kerabat, sahabat, orang-orang susah, bahagia.
O ya, ada satu hal. Setiap kali aku melakukan nilai kebaikan kepada orang lain, aku berdoa pada Tuhan agara setiap keikhlasan, kerelaan, dan penerimaan dari orang lain Allah ganti kan dengan memberikan kebahagiaan berlimpah untuk kedua orang tua dan adik-adik, di angkat derajat mereka setinggi-tingginya, dijauhkan dari kesusahan dan kelaparan. Di balik doa selalu ada air mata tulus mengalir.
Saat aku tidak bisa menjaga keluarga dari dekat, maka aku membantu orang lain agar dunia, semesta, beserta isinya memperlakukan orang-orang yang ada dalam doa melebihi kebaikan kecil yang di berikan. Bukankah Allah Maha Adik? Allah ada dimana-mana? Allah ada di hati, bukan di lisan.