BAGIAN 1

1K 27 0
                                    

Awan hitam bergulung-gulung di langit, menyelimuti Hutan Gading dan sekitarnya. Bahkan gulungan awan hitam itu sampai ke Desa Jatiwangi yang letaknya agak jauh dari hutan itu. Angin pun bertiup begitu kencang.
Daun-daun yang tak mampu menahan gempuran angin yang begitu keras bagai hendak terjadi badai dahsyat, terpaksa berguguran. Langit tampak kelam, membuat matahari tak mampu lagi memancarkan sinarnya ke bumi. Begitu pekatnya, sehingga suasana siang ini terasa bagaikan malam.
Seluruh penduduk Desa Jatiwangi jadi gelisah melihat keadaan alam yang kelihatan hendak murka. Mereka menduga-duga, apa yang bakal terjadi di desa ini. Bahkan semuanya kini berbondong-bondong, dan tumpah ruah di halaman depan rumah kepala desa yang cukup luas. Halaman itu dipadati hingga tak ada lagi tempat yang tersisa.
Sementara awan hitam terus bergerak semakin pekat menyelimuti langit di desa itu. Angin pun bertiup semakin kencang, menyebarkan udara dingin menggigilkan tubuh. Satu dua pohon mulai bertumbangan, tak mampu menahan gempuran angin yang begitu kencang.
Penduduk Desa Jatiwangi yang berkumpul di halaman depan rumah kepala desa yang bernama Ki Rangkuti jadi semakin gelisah saja. Berbagai macam suara dan pendapat pun mulai terdengar terlontar, seakan-akan ingin mengalahkan deru angin yang semakin bertambah dahsyat saja. Mereka tidak tahu, apa yang bakal terjadi. Belum pernah tanda-tanda badai yang begini dahsyat dialami sebelumnya.
Sementara itu di beranda depan, tampak Ki Rangkuti berdiri tegak didampingi anak gadisnya yang bernama Sekar Telasih.
"Tenang kalian semua! Tenang...! Jangan membuat keributan...!" teriak Ki Rangkuti mencoba menenangkan warga desanya.
Seruan Ki Rangkuti yang begitu keras, membuat semua orang yang memadati halaman rumahnya jadi terdiam. Mereka semua mengarahkan pandangan ke arah laki-laki tua kepala desa itu. Sedangkan Ki Rangkuti sendiri merayapi tiap-tiap wajah dengan sinar mata berharap banyak.
Keadaan alam yang tampaknya sedang murka seperti ini, memang membuat semua orang yang ada di Desa Jatiwangi jadi gelisah. Dan mereka menunggu petunjuk dari kepala desanya yang begitu dihormati.
"Sebaiknya kalian semua kembali ke rumah masing-masing. Ini hanya badai biasa saja. Tidak perlu ditakuti...!" seru Ki Rangkuti dengan suara yang begitu lantang dan keras sekali.
Dari gema suara yang hampir mengalahkan deru angin keras, jelas kalau Ki Rangkuti mengeluarkannya disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi semua orang yang memadati halaman rumahnya tidak juga akan beranjak pergi. Mereka tetap diam dengan raut wajah mencerminkan kecemasan yang tiada tara.
"Dengar..! Ini hanya badai biasa. Cepatlah kalian kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini!" ujar Ki Rangkuti lagi. Suaranya masih terdengar keras dan lantang.
Para penduduk Desa Jatiwangi itu belum juga ada yang beranjak pergi. Tapi ketika tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat menggelegar di angkasa, seketika itu juga mereka berlarian sambil menjerit-jerit ketakutan.
Ledakan menggelegar tadi langsung disusul berkelebatnya secercah cahaya kilat. Lidah-lidah kilat itu sempat menyambar beberapa orang, sehingga seketika itu terjungkal roboh tak bangun-bangun lagi. Seluruh tubuh mereka hangus bagai terbakar.
Suasana kalang-kabut semakin melanda seluruh warga Desa Jatiwangi. Sedangkan Ki Rangkuti jadi kebingungan sendiri. Bahkan beberapa penduduk sudah menerobos masuk ke dalam rumahnya. Laki-laki tua berjubah putih itu tidak bisa melarang mereka yang mencari perlindungan. Sedangkan mereka yang rumahnya dekat dengan tempat tinggal kepala desa itu, sudah menghilang di dalam rumahnya masing-masing.
Crasss! Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar disertai sambaran kilat dari angkasa. Sebatang pohon besar yang berdiri di tengah-tengah halaman rumah Ki Rangkuti, seketika hancur berkeping-keping tersambar kilat.
Kekacauan semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman rumah Ki Rangkuti itu berlarian tak tentu arah menyelamatkan diri masing-masing. Desa Jatiwangi benar-benar bagaikan sedang mengalami kiamat.
Sementara itu kilat semakin sering menyambar ke bumi, disertai ledakan dahsyat menggelegar memekakkan telinga. Ki Rangkuti terus berteriak-teriak memerintahkan warganya untuk mencari tempat perlindungan yang aman.
Secercah cahaya kilat kembali berkelebat. Namun, kali ini menyambar langsung ke sebuah rumah yang terletak tidak seberapa jauh dari rumah kepala desa itu. Tak dapat dikatakan lagi Rumah itu hancur seketika, sehingga menimbulkan kobaran api yang menyebar ke segala arah. Bahkan beberapa rumah lainnya terkena percikan bunga api dari sambaran kilat tadi. Lidah api begitu cepat menjilat-jilat apa saja, membuat orang-orang yang memang su-dah bingung semakin kalang-kabut.
"Oh, Dewata Yang Agung.... Dosa apa yang telah kami perbuat, sehingga kau timpakan malapetaka sehebat ini pada kami...," keluh Ki Rangkuti mendesah perlahan.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa keras menggelegar di antara deru angin yang begitu keras dan suara-suara gemuruh guntur yang membelah angkasa. Suara tawa itu semakin membuat semua orang kalang-kabut. Bahkan Ki Rangkuti sampai terlompat keluar dari beranda rumahnya. Kepalanya segera ditengadahkan ke atas.
Pada saat itu, tampak sebuah bentuk seekor ular naga berukuran sangat besar luar biasa. Sisiknya berwarna merah menyala bagai darah. Naga berwarna merah itu melayang-layang di angkasa, di antara gelombang awan hitam yang menyelubungi seluruh Desa Jatiwangi. Bukan hanya Ki Rangkuti yang melihat naga merah itu. Bahkan Sekar Telasih dan semua orang yang berada di situ, melihatnya dengan jelas.
Namun tiba-tiba saja naga merah itu lenyap dari pandangan. Bersamaan dengan itu, awan hitam yang menyelubungi angkasa juga sirna. Dan keadaan pun kembali terang. Bahkan angin badai yang semula mengamuk begitu dahsyat, kini berhenti sama sekali.
"Oh..., pertanda malapetaka apa ini...?" keluh Ki Rangkuti bertanya sendiri dalam hati.
Kekacauan yang terjadi, mendadak saja lenyap. Dan keadaan alam yang semula mengamuk begitu dahsyat kini kembali seperti sediakala. Bahkan tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua begitu terpaku pada naga merah yang mengambang, melayang di angkasa tadi. Sementara api terus berkobar menghanguskan beberapa rumah yang tadi tersambar petir.

64. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Naga MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang