“Ga, kenapa sih banyak banget orang di dunia ini yang ga peduli sama apa yang terjadi di sekitarnya?” Pertanyaan Citra tiba-tiba memecah heningnya malam.
“Lo tau nggak sih ada berapa banyak orang di dunia ini yang ngerasa kalau kehadirannya itu nggak pernah dianggap ada oleh sekitarnya dan seolah-olah kondisi apapun nggak akan bisa berubah walau ada dia. Gue tu miris aja gitu baca cerita dari mereka. Gue ngerasa ada beberapa baris dari cerita mereka yang juga gue rasain dalam hidup gue dan gue merasa ini sudah menyedihkan sekali. Gue ga bisa bayangin seberapa lebih menyedihkannya mereka.”
Arga hanya mendengarkan dan pandangan mata lurus ke depan melihat pemandangan dari atas kota sambil meminum kopi dalam cupnya.
“Dunia memang kejam, Cit dan itu kenyataannya.”
“Ya, tapi…” Balas Citra ingin mengelak namun terhenti karena Arga memulai pembicaraan baru.
“Kenapa sih banyak orang di dunia ini yang udah tau kalau seseorang itu sayang sama dia, tapi dia malah biasa aja dan seolah-olah nggak tau semuanya?” Pandangan Arga tetap lurus dan Citra pun menoleh ke arah Arga mendengar pertanyaan itu.
“Lo kenapa malah ngubah topik sih” Citra menyenggol lengan Arga.
Arga hanya tersenyum. Mereka terdiam sejenak.
“Kadang ada hal yang harus kita biarin biasa aja, walau kita udah tahu yang sebenernya, Ga.”
“Kenapa harus gitu?” Arga pun menoleh ke Citra.
Citra membenarkan duduknya menjadi menghadap Arga.
“Gue jelasin ya. Misal nih, kita. Kita udah temenan lama. Udah akrab, udah deket banget. Terus tiba-tiba Gue tau Lo suka sama Gue. Pasti Gue kaget dong. Dan bagi Gue cuman ada dua pilihan dalam menanggapi masalah seperti ini. Mencoba biasa aja dan pura-pura nggak tau atau menjauh aja pelan-pelan. Nah Lo pilih yang mana?”
“Kenapa nggak ada pilihan buat membalas perasaannya?”
“Maksudnya perasaan Lo?” Citra tertawa kecil.
“Kok jadi perasaan Gue?” Arga mulai salah tingkah.
“Lha kan tadi Gue misalinnya Gue sama Lo” Citra tertawa lagi.
“Hmm, iya deh. Kenapa nggak Lo nggak ada pilihan buat bales perasaan Gue?”
“Gini ya, Ga. Dalam hubungan itu ada komitmen. Kalau sekali aja komitmen itu nanti dilanggar, akan ada bagian dari kaca yang retak atau pecah, dan walau disambung pake lakban sekalipun buat ngaca udah nggak akan sesempurna dulu lagi. Jadi nggak semudah itu untuk membalas perasaan orang, Ga. Gue nggak mau apa yang udah kita rangkai kita jalanin selama ini menjadi sebuah kenangan pahit yang menyedihkan jika diingat kalau nanti kita ada apa-apa.”
“Dasar melankolis.” Arga sedikit tertawa mengejek Citra.
Arga beranjak dari tempat duduknya.
“Ga, Lo mau kemana?!”
“Balik. Lo mau sampai kapan duduk disitu? Sampai orang-orang sadar akan kehadiran Lo?” Arga terkekeh.
Citra segera berdiri dan mengejar Arga.
“Arga!?!”
~~~
~~~
~~~Terima kasih sudah membaca, semoga dicerna dan diambil maknanya :)
O iya. Di cerita ini kenapa pakai nama aku? Karena aku ngebayangin yang ngomong itu diri aku sendiri. Dan kenapa Arga? Karena kebayang tokoh perempuan di film ILYF38KF teriak nama Arga, wkwk.
Enjoy, guys.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE INVISIBLE
Teen FictionTentang sebuah kisah, suara hati, kenyataan yang tersembunyi, yang dirangkai dalam sebuah cerita antara kau dan aku. Semoga dia dan mereka bisa mengerti.