1 | Kala Itu

24 3 0
                                    

Waktu satu bulan sudah berlalu. Zahra masih saja menangis mengingat fahri yang memilih pasrah untuk menikah dengan wanita pilihan abahnya. Bukan sesuatu yang mudah melupakan fahri. Sosok lelaki yang mengisi ruang hati zahra sejak lulus SMA hingga kuliah.

Fahri adalah sosok lelaki agamis dan santun. Dia bukan anak kuliahan seperti Zahra. Dia mengisi hari-harinya dengan belajar dan mengajar di Pondok Pesantren milik ayahnya. Menyandang sebutan Gus tidak membuat fahri mengabaikan perasaannya sebagai manusia biasa. Ia jatuh cinta kepada Zahra sejak pertama kali melihatnya.

Ketika lulus sekolah menengah pertama, fahri ditempatkan di pesantren yang jauh dari rumahnya. Fahri menyelesiakan sekolah formalnya sampai di jenjang SMA. Setelahnya, ia kembali ke rumah dan mengabdi di pesantren milik ayahnya.

Fahri memiliki senyum yang ramah dan suara yang merdu mendayu. Tak segan fahri sering bertegur sapa dengan santri santrinya. Mengajaknya berdiskusi, belajar bersama, bahkan menghabiskan waktu seharian untuk bermain rebana dan melantunkan qashidah.

Lain dengan fahri, zahra bukanlah gadis religius yang berasal dari keluarga pesantren. Ia hanyalah siswi SMA Trisakti yang baru saja lulus. Zahra memiliki bakat dan hobi menulis. Sudah berulang kali zahra menjuarai event menulis di sekolahnya. Bahkan ia memiliki buku antologi cerpen yang sudah di terbitkan.

Saat lulus sekolah, zahra diminta oleh Bu Wardah untuk mengisi kelas menulis bagi santri Pondok Pesantren Nurul Ulum. Kelas tambahan yang diadakan untuk mengasah bakat santri. Dengan senang hati zahra menerima tawaran dari bu Wardah, salah satu guru Agama di SMA nya dulu.

"Nanti enjoy saja ra disana, jangan membayangkan pondok Nurul Ulum seperti pondok salaf di kota Solo. Jelas beda. Santri Nurul Ulum sekitar 200 orang saja jumlahnya, laki-laki 90 orang dan perempuan 110 orang"

Bu Wardah mencoba menjelaskan pada Zahra dan mencairkan suasana, sebab memang terlihat jelas prasaan kaku di wajah Zahra.

"Iya bu, nanti Zahra harus kemana setelah sampai di Nurul Ulum bu" Tanya zahra ragu

"Nanti jam satu zahra langsung kesana, bu Wardah sudah menghubungi Gus nya. Nanti Zahra biar langsung diantar ke kelasnya"

"Boleh ya bu.. " Seakan mengerti arah pertanyaan zahra, bu Wardah langsung menjawab

"Iya zahra, Nurul Ulum hanya pesantren kecil yang memiliki sedikit tenaga pengajar. Santrinya juga rata-rata masih SMA. Jadi ya, untuk interaksi antar pengajar memang tidak terlalu di batasi"

"Hmmm..." Gumam zahra sembari mengangguk tanda mengerti

Obrolan kecil antara bu Wardah dan Zahra berakhir saat bu wardah harus pergi ke kelas IX. Dari ruang guru, zahra menuju ke  arah parkir. Mengambil sepeda motor kesayangannya dan berpacu meninggalkan sekolah.

Arah jarum jam di kamar zahra berada tepat di angka satu. Zahra mengenakan salah satu dari koleksi gamisnya yang tidak terlalu banyak. Mengenakan gamis cream dengan jilbab warna hitam, zahra membawa motornya menuju pesantren Nurul Ulum. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah zahra, hanya membutuhkan 25 menit perjalanan menggunakan motor.

Untuk pertama kalinya zahra memasuki pesantren. Dia berdiri di gerbang pesantren, dekat dengan kantor putri. Langkah kakinya tertahan sejenak mendengarkan lantunan qashidah yang berasal dari Muhsolla pesantren.

"Merdu sekali, tak pernah aku mendengarkan suara semerdu ini sebelumnya" Zahra berdecak kagum

Entah kenapa ia sangat ingin tau siapa pemilik suara ini. Tanpa pikir panjang. Zahra mengeluarkan hp dari tasnya. Mencari aplikasi perekam dan kemudian mengklik icon 'mulai merekam'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rasa adalah TamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang