Aku Pulang....

4 1 0
                                    



Beranjak sabtu, esok aku akan pulang ke kampung halaman. Ketiadaannya membuatku juga ingin hilang, saat aku hendak bertanya kemana dia pergi  dengan ibunya. Tiba tiba rumahnya saat itu kosong.
Entah kemana dia pergi, campur aduk rasanya. Kemudian di perjalanan pulang pepohonan dan sejuknya udara desa yang hampir sebulan tidak aku hirup, sembari menghirup nafas melupakan misi dan misteri ini.

Misi tentang Alfah dan misteri perasaan yang penuh pegharapan ini.  Aku turun dari mobil travel dengan keadaan yang tidak baik. Namun, senyuman masih senantiasa melekat dan lepas mencium tangan kedua orangtua ku. Saat itu juga Slamet sedang menanam jagung bersama ayahnya dan ayahku.

“Hoi, Slamet” sapa ku hangat

“Eh siapa ya?” jawabnya dengan logat jawa yang tak bisa ia lepas

“heleh, kok sombong to, wong  yang di kota aku, yang gaya kamu, Slamet slamet”

Melihatku sambil melempar tanah hitam ke bajuku.
Untung lepas turun tadi langsung ganti baju.
Akhirnya aku langsung membantu ibu menanam jagung sama Slamet, Ayah Slamet, dan Ayahku. Tak menghiraukan rasa capek selama perjalanan tadi, rasanya justru sebaliknya.

Langit mendung di desaku membuat ku berdialog dengn diri kalo di desa selalu dapat keberkahan dari Allah. Jika di kota sudah 3 minggu hujan tak kunjung datang, sementara disini, sudah 3 kali hujan dalam seminggu. Petir menggelegar menurunkan rintik penuh rizky untuk tumbuhan yang baru kami tanam tadi. Meski masih di ladang, ibu dan aku menyempatkan membawa air panas untuk teh hangat, dan ubi bakar yang sejak tadi tergulung arang dan abu.

“Bahagia itu sederhana, dengan cara yang sederhana seperti ini contohnya” ucapku pada mereka

“tapi, uangnya jangan sederhana. Harus banyak, gaya hidup boleh sederhana, tapi kalo uang jangan” sahut Slamet

“Tole, besok jadi petani yang mabrur ya”  ucap ayahnya pada ia

“Dia besok mau jadi sastrawan Pakde, jadi harus kuliah di UI jurusan sastra” sahutku

“Yah, nanti bapak usaha untuk cari biaya kuliah”

“eh, aku kemarin baru beli buku judulnya Hujan Bulan Juni”

“Pasti karangan Sapardi djoko damono”

“iya, betul”

Akhirnya kami ngobrol hingga larut.  Di tengah dinginnya hujan hingga hujan itu berhenti sendiri. Tak sadar jika senja sudah berlalu. Kami kembali ke rumah.

Rumahku dan Slamet berdampingan. Sejak kecil kita selalu main bareng. Abangku juga akrab dengan dia. Orangtua kamipun akrab, bedanya jika ibu Slamet guru honorer, sedangkan ibuku adalah guru ngaji. Perbedaan itu ternyata dijadikan peluang oleh ibuku dan ibu Slamet, aku sering melihat ibu berdiskusi memberikan gambaran perilaku sesuai syariat islam, sedangkan ibu Slamet menulis, dan merangkai katanya, kemudian di sore hari sambil mengaji ibu akan mendongeng sedikit.
Ibu Slamet juga sering memberikan kelas tambahan di luar jam sekolah. Aku selalu salut dengan ide kreatif kedua wanita hebat itu.

Tak terasa, rupanya waktu liburanku di desa habis. Aku harus kembali pulang. "Sungguh ada banyak sisi kehidupan ini yang masih kosong dan belum terisi. Bagaikan puzzle yang harus aku rangkai dan susun secara cermat. Berwisata alam membuatku melihat ciptaan Tuhan begitu Hebat."

KULI TINTA SAJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang