5. Sandiwara Hanum

66.6K 4K 66
                                    

Selamat membaca!

"Kening kamu panas, sakit?" Wildan sedikit terkejut begitu bibirnya menyentuh permukaan kulit sang istri, terasa hangat sekali.

Apa yang membuat istrinya bisa sampai begini? Cepat-cepat Wildan mengangkat tubuh Hanum ke atas kasur dengan gaya bridal, sangat hati-hati ia meletakkan kepala istrinya berlandaskan sebuah bantal empuk yang telah ia susun rapi di bawah, lalu menarik selimut tebalnya hingga setengah tubuh Hanum tertutup, sedangkan Wildan masih berada di lantai dengan kedua lutut yang menopang beban tubuhnya.

Wildan menatap Hanum heran dengan perasaan khawatir yang mendominasi hatinya. "Kamu kenapa, sayang?"

Hanum tersenyum sumringah, perempuan itu bahkan tidak menyadari kondisi badannya dalam kondisi yang sama sekali tidak bisa dibilang baik, kembalinya Wildan membuat Hanum lalai akan perkara lain.

Bahkan Hanum merasa tidak ada yang salah pada dirinya sebelum Wildan mengatakannya lebih dulu, Hanum hanya merasa tubuhnya sedikit lemas dari pada biasanya, ia menganggap itu adalah hal kecil yang tak perlu dipikirkan jauh-jauh.

Perlahan Hanum mengusap lembut lengan kokoh Wildan dengan jemari kanannya, lalu memberikan sebuah tatapan meneduhkan dengan senyuman yang belum luntur dari wajah eloknyanya, seakan memberi isyarat kalau ia memang baik-baik saja.

"Aku nggak papa mas, kamu nggak perlu khawatir." ucap Hanum dengan penuh kesungguhan dan kebersihan hati.

Mendadak Wildan bergerak naik ke atas kasur dengan merangkak melewati Hanum, membaringkan tubuh tegapnya di samping sang istri sambil menggunakan posisi menyamping, menghadap istrinya sambil menggunakan satu tangan sebagai alas kepala, sedangkan satu tangannya lagi ia kembali sentuhkan ke kening Hanum sebentar, hawa panas di fisik belum meninggalkan istrinya. "Nggak papa gimana? Suhu tubuh kamu lumayan tinggi, aku khawatir... sangat."

Hanum meraih sebelah tangan Wildan yang bersinggungan dengannya, lalu ia genggam erat, "Mungkin aku cuma kelelahan, kemarin pulang malam soalnya, nemenin Jia sampai pekerjaanya selesai, katanya Alan nggak bisa jemput, terus waktu pulang aku malah ketiduran di meja makan." jelas Hanum panjang lebar.

Hanum terpaksa bohong, tidak mungkin perempuan itu berkata jujur kalau ia sampai terlambat menyuap nasi hanya karena ingin menunggu Wildan balik ke rumah, padahal suaminya itu tidak memberi kabar pasti apakah ia akan pulang atau tidak.

Bisa-bisa Wildan sangat merasa bersalah karenanya, Hanum tidak ingin itu terjadi.

Menggunakan segenap tenaga yang ada Hanum mencoba menyimpan dalam kebohongannya di depan Wildan, "terima kasih ya mas kamu sudah pindahkan aku ke kamar?" tanya Hanum mencoba mengalih pusat pembicaraan

Hanum sedikit menarik kedua sudut bibirnya ke atas sampai membentuk senyuman tipis, lalu memberikan sebuah belaian mesra di rahang tegas Wildan yang sekarang nampak menegang karena mencemaskannya.

Sementara Wildan memandang Hanum dengan tatapan penuh selidik, seolah sedang mencari-cari kebohongan di dalam sana, namun yang ia temui adalah keseriusan dari istrinya, tanpa menyadari akan adanya sandiwara yang Hanum rahasiakan.

Apakah benar begitu? Hanum jatuh sakit karena terlalu giat dalam mengambil peran di tempat bekerja, kalau nyatanya tidak Wildan akan berjanji pada dirinya sendiri untuk memerintahkan Hanum agar berhenti berkerja saat ini juga.

Wildan masih sangat sanggup untuk menafkahi Hanum seorang diri, dari keperluan keluarga sampai jika istrinya ingin berbelanja barang yang diinginkan seperti istri lainnya pun, rasanya masih bisa ia tanggung sepenuhnya.

Sayangnya Hanum bukanlah pribadi yang seperti itu, rasanya tidak nyaman begitu ia menggunakan uang pemberian dari Wildan untuk dibelikan sesuatu.

Hanum hanya akan membelanjakannya untuk keperluan rumah tangga mereka berdua, sisanya akan ia kembalikan lagi kepada Wildan, sebagai simpanan di masa yang akan mendatang.

Hanum lebih mempercayakan Wildan yang memegang keuangan keluarga.

Sambil melafazkan kalimat istigfar Wildan membuang napasnya pasrah, Wildan tidak ingin terlalu dalam memiliki pikiran buruk pada istrinya.

Wildan lantas menatap Hanum penuh kasih, lalu mengulurkan sebelah tangannya untuk menyapu sedikit keringat yang keluar di pelipis istrinya. "Ya sudah, kamu istirahat saja hari ini, tidak perlu berangkat."

Mendengar penuturan Wildan kedua alis Hanum seketika bertaut, lantas siapa yang akan menemaninya sendiri di rumah kalau Wildan bepergian lagi? Lebih baik Hanum bekerja dengan bantuan Jia yang menyokongnya dari pada berdiam diri di atas kasur seharian penuh tanpa manusia lain yang mendampinginya.

Hanum mengalihkan haluan kedua matanya ke jam yang ada di atas nakas, jarum panjangnya menunjukan waktu pukul 6 pagi lewat 10 menit, lalu melirik sekilas ke arah jendela kamarnya yang sedikit terbuka, cahaya matahari sudah menerobos masuk ke dalam kamarnya, namun belum ada tanda-tanda kalau Wildan akan pergi meninggalkannya, mencari nafkah di kota orang.

Hanum menatap Wildan penasaran, "Mas sendiri nggak berangkat kerja? Ini sudah pagi loh mas, kalau telat bagaimana? Jarak dari rumah ke sana kan jauh, butuh waktu beberapa jam." tanya Hanun dengan sederet persoalan.

Apakah Wildan tidak ada kegiatan hari ini? padahal ia sudah menguatkan hati dan wajah agar tidak terlihat hancur saat melihat Wildan pergi dengan membawa mobil sedan kesayangannya.

Seharusnya di jam sekarang Wildan sudah siap dengan pakaian kerjanya dan memanaskan mobil sebelum berangkat.

"Aku ambil cuti untuk beberapa hari, makanya kemarin aku jarang pulang." jelas Wildan singkat, namun sudah menerangkan semua pertanyaan yang terbesit di kepala Hanum.

Hanum hanya menganggukan kepalanya pelan, berbanding terbalik dengan jiwa dalam dirinya yang bersorak riang.

Jadi apakah Wildan akan disini menemaninya? Tentu Hanum akan sangat bersedia tinggal di rumah untuk hari ini.

Tiba-tiba Hanum mengaduh kesakitan, hidungnya terasa sakit setelah mendapat cubitan keras dari Wildan. "Sakit, mas!" rengek Hanum yang entah sejak kapan berubah manja.

Wildan yang melihat respon dari Hanum malah tertegelak, "habisnya kamu buat gemas."

Hanum lantas menunduk malu, menyembunyikan semburat merah di kedua sisi wajahnya, "itu aku lihat kenapa pipinya sudah merah seperti kepiting rebus? Panasnya pindah ke sana ya sayang?" tanya Wildan bertingkah seakan tak tahu, padah itu semua ulahnya.

Hanum langsung menghambur ke dalam pelukan Wildan, menutupi kedua belah pipinya yang merah merona malu ke dalam ceruk leher Wildan.

Tawa Wildan semakin pecah, laki-laki itu lantas semakin menarik Hanum ke dalam pelukan hangatnya yang membuat sang istri betah berlama-lama di sana.

Namun beberapa detik kemudian Wildan melonggarkan pelukannya, menatap Hanum sambil tersenyum bahagia. "aku rindu kamu yang seperti ini, jangan bersedih lagi ya? Aku ikut sedih kalau kamu sedih."

Hanum menggerakan kepala ke bawah tanda setuju, namun masih tak berani untuk mengangkat kepala, perempuan itu menghindari tatapan Wildan yang sukses membuatnya salah tingkah.

"Kenapa, sayang? Kok malu? Seperti baru kenal mas aja." tanya Wildan tertawa geli.

Hanum menggelengkan kepalanya kikuk. "Nggak papa, mas."

Sesaat kemudian Wildan melepas rengkuhan karibnya, lalu bergerak duduk, berniat ingin turun dari kasur, "Ya sudah, kamu di sini aja, biar aku yang memasak untuk hari ini." Hanum hanya memberi respon dengan menunjukan ekspresi senangnya sambil menarik sudut bibirnya ke atas.

~bersambung~

Terima kasih sudah membaca!

Sampai jumpa di bagian berikutnya! Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote atau comment agar aku kian semangat untuk update!

Instagram : @/gadistampan.story

Madu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang