16. Maya

55.1K 3.9K 401
                                    

Selamat membaca!

   Sesaat Wildan terdiam, laki-laki itu dibuat terkejut dengan kondisi Hanum yang bisa dibilang menyedihkan, walau Istrinya itu sudah berpakaian rapi dan bersih, tetapi Wildan bisa melihat jelas akan air muka yang sendu dan mata sembab pada Hanum.

  Rasa khawatir perlahan datang menyelimuti hatinya.

"Mas," panggilan Hanum membuat Wildan tersadar, sejak tadi keduanya hanya diam dan sibuk pada pikiran masing-masing.

"Iya, sayang?" setelah melepas sepatu yang membungkus sepasang kakinya, sambil tersenyum manis Wildan berjalan menghampiri Hanum, ingin melepas rindu dengan sebuah pelukan mesra, namun langkah laki-laki itu langsung terhenti begitu kakinya menabrak sebuah benda di lantai sampai terlempar beberapa meter ke depan.

   Itu adalah ponselnya. Benda yang sejak tadi ia cari.

"Astagfirullah!" seru Wildan panik, cepat-cepat ia berlutut, mengambil ponselnya yang sudah lecet karena gesekan kasar di lantai.

   Kepala Hanum menunduk, bingung harus berkata apa. Apakah Wildan tahu kalau itu ulahnya?

"Kenapa bisa sampai seperti ini?" tanya Wildan setelah melihat layar ponselnya yang juga mengalami kerusakan.

"Tadi jatuh,"

"Kenapa bisa jatuh?" tanya Wildan lagi tanpa menatap Hanum, kedua matanya masih aktif memperhatikan beberapa bagian pada ponselnya yang sudah tidak sempurna.

  "Tadi ada yang kirim panggilan telepon, jadi jatuh dari meja karena terus bergetar." Hanum mencoba berbohong, tidak mungkin perempuan itu berkata jujur kalau ia adalah pelakunya.

Wildan tertegun, tubuhnya diam membeku, kedua matanya terbelalak. Hanum tahu apa yang tengah Suaminya pikirkan, laki-laki itu pasti cemas kalau rahasia besarnya akan terbongkar.

Sayangnya Hanum tidak sesederhana itu, perempuan itu ingin menyelidikinya sendiri.

"Kamu angkat?" Tanya Wildan.

Hanum menggeleng pelan.

"Dari siapa?"

Hanum mengedikkan kedua bahunya. "Waktu itu aku lagi ambil wudu,"

Sambil mengusap dada, Wildan membuang napasnya lega, bersyukur Hanum belum mengetahui semuanya.

   "Mas mau apa ke sini?" Tanya Hanum dengan nada berbeda, tidak ada lagi kelembutan di sana, bahkan cara perempuan itu bertanya seolah tidak menyukai keberadaan Wildan.

   Rasa kasih dan sayang yang biasa ia curahkan pun seakan hilang tanpa jejak.

Wildan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, berusaha mengalihkan rasa gugup yang ia rasakan.

   "Karena ini," jawab Wildan memamerkan ponsel di gengaman tangannya.

   Hanum tidak menjawab, tanpa mengucap sepatah kata pun perempuan itu meneruskan langkahnya ke kamar, melanjutkan niat untuk melaksanakan ibadah salat Isya yang telah lama lewat.

   "Kamu mau ke mana?" Pertanyaan Wildan membuatnya gerakan kaki Hanum berakhir.

   "Mau ke kamar, salat isya." Jawabnya singkat.

Wildan mengangguk paham. "Ya sudah, aku berangkat ya?

Hanum tersentak. "Berangkat?"

"Iya,"

   "Lagi?" Tanya Hanum tidak percaya.

  "Iya, Sayang."

"Jadi Mas datang ke sini memang hanya karena itu?" Hanum masih belum yakin dengan apa yang baru saja ia dengarkan.

Madu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang