- sapa monoton . gulali

399 50 0
                                    

(n) Hai. kau akan berkata demikian jika bertemu seseorang yang baru kau jumpa, bukan?

Menatap jendela ketika air menyapu hampir seluruh jalanan tanpa atap peneduh. Hatinya yang berkasta merah bata seakan hancur lebur dengan buku usang menyaksikan.

Mata berkantung dengan garis menghitam terlihat bergantung dengan kandungan kafein dalam secangkir kopi. Ocha, bukanlah temannya lagi.

Kiku memilih kencan bersama rombongan berkas tanpa ingin bersantai saat cuaca mendingin. Organ yang katanya menyimpan dan mengendalikan berbagai perasaan miliknya sudah tak berfungsi.

Sebagai bukti, dia merasa mati. Secara fisik tidak apa-apa. Tidak, psikis berkesebalikan. Bak jembatan dua sisi yang berbeda, kanan juga kiri. Berlawanan.

“Hai, ada yang bisa saya bantu?” tawaran sang pelayan dia abaikan.

Padahal, cara bermainnya dia harus memesan atau meminta sesuatu. Setidaknya, mengeluarkan dua buah kata tolakan halus.

Angin menyibak lembaran menguning hingga terhenti di awal saat ada ukiran tinta. Hai, sapa bisu sang buku. Bak termantrai, Kiku menggeleng lalu memasang senyum andalan.

“Tidak, terimakasih.”

Coklat pekat itu menatap lekat halaman yang diberikan angin. Tidak mengerti kenapa dia ingin memulai semua dari awal, saat bulan Februari.

- dimulai dari sini, saat kau kembali setelah pergi. -

Perawalan Februari, akhir pekan sunyi. Chapter kehidupan, 19 tahun.

Sedikit kebingungan harus mulai dari mana padahal pertengahan sudah mulai kelihatan. Fajar menyingsing ketika mentari mulai beriring-iring keluar dan malam akan berkelar.

Menyibak tirai sembari berpikir kenapa suara serak bagai rutin bergilir dipagi akhir pekan. Kiku menatap secangkir air yang tersisa sebagian.

Menggeleng pelan, berusaha mempertimbangkan ketika pikiran meronta ingin berjalan di taman sebentar. Katanya jiwa butuh sesuatu yang melegakan seperti udara baru tanpa manusia tiada guna beradu seru.

Kiku mengganti baju, badan sudah terlalu lelah untuk sekedar menyentuh air layak es batu itu. Saat yang lain berkata hangatpun, dia tetap membeku semu.

Dia berkembang meski tidak terlihat girang seperti saat lalu. Setidaknya, hanya wujudnya bukan pemikiran dan kenangan. Kiku masih terperangkap dalam waktu yang seolah tiada berdentang.

Jam berhenti mengarahkan pada angka berikutnya, semua manusia yang terekam dalam fenomena berkata lainkan memori juga ikut terkena.

“Tara, kau kemana?” usia belum genap 20 tahun, tetapi rasanya sudah menua tanpa aba-aba.

Merindu lagi ketika perpisahan membawa kembali nama sang pemuda yang dahulu berhasil membuat warna dalam hidupnya.

Menyentuh bunga kamboja terlapisi kristal bening es yang kini abadi di sana. Menggenggam lalu menaruhnya karena takut akan remuk jika terus-menerus begitu.

Emosi tak menentu, bagaimana bisa begitu? Jawabannya masih sama, Tara. Kiku tidak bisa menghapus ataupun mengubah susunan empat huruf dua vokal A berhias T dan R itu.

Mustahil, bahkan jika itu artinya masih bisa berusaha dan bukan berarti tidak bisa- hanya saja Kiku sudah terlanjur menggunakan tinta permanen.

Karena usia saja dia melebur ke dalam dan tidak terlihat, tapi masih ada bahkan untuk selamanya. Bunyi denting ketika bel berbunyi, Kiku beranjak pergi ke sana.

“Surat?”

•••

Menduduki bangku yang tersedia hingga aroma parfum terorganisir dengan melati itu mencuat dari kemeja putih seorang pemuda. Posturnya lebih tinggi darinya sedang menghadap membelakangi.

Ketika menyadari sedang ditatapi, menoleh ketika hitam legam berwajah oriental khas negara Asia tenggara. Pemuda itu menyengir layaknya seorang bocah kecil berusia 7 tahun yang tidak asing.

“Hai!” serunya dengan nada ceria.

Kiku memegang dada, perasaan hangat menjalar sama seperti waktu yang terasa mencair dan berjalan laju.

“Bukankah terdengar monoton- seharusnya jangan dimulai dari kata hai! Tapi, senang bertemu denganmu kembali.” dia menyorocos tanpa henti, tidak sesuai dengan wajah tanpa tujuan hidup miliknya.

Pemuda itu menyodorkan gulali berwarna putih. “Hey, Iku! Ingat Tara? Hahaha, ini aku.”

Dugaannya benar, surat itu darinya. Surat penuh dengan perasaan rindu dan kasih sayang, sama seperti gulali itu berbalut hal yang sama.

“Ada sesuatu yang tidak berubah, seperti rasa gulali ini dan rasa kasih sayang tak lekas tapi berbekas.”

Senyumannya, semuanya dia tidak berubah masih sama. Dirgantara.

•••

[ ✔ ] ❝ IDEALS OF THE PAST . Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang