- tiada kalimat perpisahan . alasan

178 26 1
                                    

(n) tiada lagi kalimat perpisahan, itu terlalu berat. Bahkan, lidahku terlalu kelu untuk berkata aku akan pergi dan berlalu. Menyerah, kali ini biarkan jadi perpisahan terakhir.

•••

Membawa beberapa camilan dari dapur, melihat Tara yang sedang rebahan di sofa. Sembari menggeliat menunggu Kiku, sesekali mencari posisi yang nyaman. Duduk di samping Tara, hingga sang pemuda menjadikan pahanya sebagai bantal.

Memeluk perut Kiku dan bergumam tidak jelas. Memaklumi kebiasaan Tara yang cukup amat sangat random, tetapi lucu. Kesunyian yang cukup damai terganggu ketika ponsel Tara bergetar.

"Aih- menganggu," gerutu Tara masih tidak beranjak.

"Segera hampiri ponselmu atau ..., Ponsel itu yang akan menghampirimu."

"Bagaimana caranya?"

"Akan kulempar ponsel berisikmu itu ke mukamu dan selesai." mengelus kepala sang pemuda sembari tersenyum tidak biasa.

Cepat-cepat, Tara mengangkat panggilan yang sedari tadi berbunyi, membiarkan Kiku menyimpan sejuta tanya. Mata Tara membulat sempurna, tubuh tegapnya terasa berat. Sempoyongan, lalu jatuh sembari tercucur peluh.

Dengan ragu, Kiku menghampiri sang pemuda. "Tara, Kau kenapa?- ada masalah atau ada yang mengganggu?" berusaha terlihat normal, Tara mengulas senyuman.

"Tidak ada apa-apa, hanya orang usil makannya aku kaget tadi- apalagi tertawanya seperti nenek sihir!" gurau Tara sembari mencontohkan tertawa nenek sihir atau apapun itu.

Melihat reaksi ceria Tara, membuat Kiku berpikir tidak ada yang terjadi dan semuanya berjalan dengan normal. Tetapi, tidak saat malam harinya.

"Kiku, berjanjilah bahkan jika aku pergi lagi jangan biarkan siapapun menggantikan posisiku dalam hatimu!"

"Kau kenapa?-"

"Berjanjilah!"

"Baiklah, aku berjanji."

Tautan kedua jemari itu menjadi kontak fisik terakhir hingga paginya Kiku mendapati Tara kembali pergi- bukan untuk sekadar berbelanja atau jalan-jalan santai di taman.

- benar-benar pergi tanpa kabar. dan terulang untuk kedua kalinya.

Fisiknya kembali memburuk, bahkan psikisnya dinyatakan terganggu. Kiku benar-benar terpuruk, bahkan seluruh saudaranya tidak mampu mengobati luka yang Tara torehkan.

"Mengapa kau kembali, jika untuk pergi lagi bersama setengah raga, jiwa dan hati." raung Kiku dalam kamar, menyendiri dan menutup diri.

Hanya ditemani sececeran foto berisi seorang pemuda yang meninggalkannya lagi.

"Aku benci kamu! Selamanya!" kebohongan kelu Kiku terus elu-elukan demi membebaskan amarah. Wajahnya terus memerah karena meluapkan marah, Kiku hanya ingin terbebaskan.

Dilubuk hatinya, dia mengutuk kebohongan yang berkesebalikan dengan kenyataan.

Tidak, aku hanya bisa menyayangimu. Selamanya.

•••

Menggerutu ketika orang terus berlalu-lalang mengganggu menuju suatu tempat. Kiku mengeratkan pegangan pada surat yang sudah lecak- perasaannya bercampur aduk antara bahagia dan kecewa.

Bahagia, karena Tara kembali. Juga, kecewa mengapa Tara tidak pernah menceritakan segala soal luka yang begitu menganga. Dan lebih bodohnya seorang Kiku Honda tidak tahu soal hal tersebut.

Hai, Kak Kiku.

Ahahaha- masih mengingat Kirana? Ini aku, meski demikian abang Dirga tidak pernah sengaja meninggalkan Kakak. Hanya saja, beban yang dia angkat sudah terlalu berat.

Mungkin, jika Kakak membaca surat ini Kirana sudah bisa membujuk abang Dirga untuk berhenti berlari dari kenyataan. Dan tanpa sengaja, saat Kirana berobat bertemu Xiao.

Walau, sikapnya buruk. Tolong, maafkan bang Dirga. Ini bukan salahnya, ini salah keadaan. Kirana tidak bisa menahan sakit ini hingga- terpaksa mereka mengabarkan bang Dirga.

Mungkin, Kirana simpulkan bang Dirga tidak memberitahu soal ini. Tetapi, Kirana akan berterus terang. Semua senyum senang milik bang Dirga hanya hiasan, Kirana tahu itu.

Tetapi, saat bersama Kakak. Itu semua berbeda, bang Dirga seolah-olah kembali lagi.

Bukan karena pelit, bang Dirga hanya saja lebih memilih menyembunyikan semua. Maafkan dia kak, dia hanya masih belum bisa melupakan sesuatu di masa lalu.

Alasan lain mengapa bang Dirga pergi tiba-tiba dari kak Kiku.

Segini saja, sampaikan salam Kirana untuk Paman Yao, terimakasih bantuan darinya selama Kirana disini.

-- Since , dia akan kembali
kali ini tidak bisa pergi lagi

Kirana Putri Nusantara
17 January.

Dibalik surat yang Kiku sempat mengira hanya sebuah lelucon Yao. Sebuah alamat tertera, dan kali ini dia yakin semesta memang menciptakan Tara hanya untuknya.

Dirgantara.

Pemuda berbola mata hitam kelam bak obsidian dan helai rambut senada dengan arang. Senyuman secerah mentari bagai cahaya diantara kelam malam hari, kabut pekat tak mampu menyembunyikan tubuh tegap. Wajahnya tak garang, tetapi penuh kasih sayang.

Biarkan Kiku menyelipkan nama pemuda itu dalam denyut nadi, setiap helaan napasnya juga ketika dia melangkah. Tiada surut semangat miliknya saat nama itu tersebut.

"Dirga ..." lirih Kiku menatap tubuh ringkih yang terduduk sembari terpejam matanya.

Menikmati air sungai yang menggelitik kedua kaki telanjang, membiarkan angin memainkan rambutnya.

"Maaf, aku kembali." tiba-tiba menubruk tubuh Dirga dan segera tersedu-sedu menumpahkan segala dibenaknya- tetapi hanya ada satu yang keluar.

"Aku menyayangimu, kau orang bodoh yang membuatku gila!" teriak Kiku menyeka air matanya kasar.

"Kenapa kau tidak peka dan tidak pernah menceritakan segalanya! Bahkan, kau tahu aku sudah berjanji untuk tidak menggantikan posisinya dari hatiku- itu menyiksa!”

“Menunggu orang yang kau sayangi tanpa tahu kapan dia kembali?! Semesta gila karena memberikan aku banyak kesabaran.”

“Hingga, kau tiba dan kembali untuk kedua kali.”

“Membuka luka- juga mengobati dan pergi!”

“A-aku ...”

Dirga membiarkan Kiku menumpah ruah seluruh isi kepalanya. Hingga, pemuda itu tiba-tiba mengecup bibirnya.

“Aku menyayangimu, bodoh!”

•••

14 February
kita mengakhiri ini.

[ ✔ ] ❝ IDEALS OF THE PAST . Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang