- dekapan juga pelukan . teh melati

195 30 1
                                    

(n) untuk kehidupan, kita memerlukan setidaknya banyak pelukan juga dekapan. Jangan lupakan kebahagiaan, senyuman dan kebersamaan.

Menyayangi Tara adalah sebuah anugerah yang tidak bisa Kiku cegah. Setiap detik-detik waktu penuh kehampaan, bertahun tanpa Tara dia jalani dengan kesendirian. Sudahkah Kiku berkata berulang kali, waktu terasa lamban seakan tak jalan.

Hingga, hari ini tiba. Dia datang bak laksana keajaiban, semua lara kini menghilang. Ini berkat kau, sayang. Dia adalah hujan di antara kegersangan.

Juga pengakhiran disetiap kepiluan, yang senang menyirami bunga-bunga jiwa milik Kiku. Menawan bersandingan dengan pelangi diakhir badai, itu adalah kau. Dirgantara.

“Tadi, menyenangkan ya!” serunya membuka percakapan.

Kiku hanya mengiyakan, karena apapun jika bersama sang pemuda bahkan kematian sekalipun akan terasa menyenangkan. Katakan saja, bahwa Kiku sudah buta dan terkena.

Tetapi, itu tidak akan mengubah sesuatu, tetaplah seperti itu.

“Tentu saja.”

Merasakan suhu menurun, Tara menatap Kiku lalu menahan senyuman. Yang ditatap hanya kebingungan lalu menangkap apa yang pemuda itu inginkan.

Sembari merentangkan tangan, Kiku mengangguk mengiyakan. “Baiklah, kali ini kau boleh-”

Perkataan tak sempat dilanjutkan ketika tiba-tiba Tara menubruknya membawa tubuh Kiku yang sedikit lebih ramping ke dalam dekapan penuh kehangatan. Mengelus pundak Tara halus, tanpa menyadari Tara yang tersedu.

Dalam kelu, tiada berani mengalirkan air mata kesedihan. Demi terlihat kuat, hanya mendekap Kiku layaknya menyekap. “Mau mampir ke apartemenku?” tawar Kiku melihat arloji yang menunjukkan hampir tengah malam.

Hampar senyumnya lebar sembari mengangguk setuju. “Tentu saja,” ujar Tara berjalan duluan.

Tidak membiarkan Kiku menatap wajah sendu, melangkah dengan pasti seolah menuju rumahnya sendiri. Terkekeh geli, Kiku mengikuti dari belakang sembari menatap punggung tegap Tara.

•••

“Apa sandinya?” tanya Tara berhenti di depan pintu berwarna senada dengan rambut eboni Kiku.

“Tanggal saat kasih sayang akan bertebaran dimana-mana, dan kau pergi meninggalkanku tanpa memberikan hal itu.”

Hafal jelas tanggal yang dimaksud, ketika aroma coklat begitu mendominasi dan berbagai bunga terhiaskan ditangan seorang kekasih. Senyuman manis, yang akan dikatakan melebihi coklat.

Tara menguntai senyuman kecut, dan menekan angka tersebut. “Akhirnya, selamat datang kembali Tara!” Melepas sepatu boot ber-hak rendah, lalu mulai melangkah.

Menatap hiasan masih kental dengan budaya tradisional negara kelahiran sang pemuda. Kiku melepas syal merahnya, menyalakan lampu hingga seluruh ruangannya terlihat jelas. Bersyukur, sudah membersihkan sebagian kekacauan.

Mata obsidian Tara melihat bertumpuk cup yang mengeluarkan aroma minuman kesukaannya kala senja di atas meja berantakan. Mengingat-ingat, apakah Kiku pernah mengatakan dia sangat menyukai kopi.

Tetapi, nihil tidak sama sekali pemuda itu berkata demikian. “Sejak kapan kau menjadi pecandu kopi?” buka mulut sembari membersihkan noda pekat yang hampir mengering.

“Kau tahu- aku tidak bisa tertidur dengan tenang jika pekerjaan belum selesai, jadi ...”

“Hm?”

“A-aku butuh banyak kafein dan kopi adalah pengalih perhatian terbaik.”

Cicitnya menatap kosong Tara. Sebenarnya, dia tahu efek samping terlalu banyak meminum kopi. Tetapi, mau bagaimana lagi. Dulu, dia tidak mempunyai alasan untuk melanjutkan hidup.

Menyesal meninggalkan Kiku terlalu lama. Mentekadkan dalam hati, dia harus lebih menyayangi Kiku. “Huh!- aku harus bekerja keras untuk merawatmu lagi,” gerutu Tara menuju dapur Kiku seenak jidatnya.

Aroma menenangkan khas teh menyerebak menggantikan wangi pengharum ruangan yang cukup tidak mengenakkan.

“Esok hari aku akan berbelanja, minumlah teh ini. Meski tidak mengenyangkan tetapi menghangatkan. Dan, tidak ada kopi lagi!” dumel Tara menghidangkan nampan berisi teko dan dua cangkir.

Mengulum senyum, merasakan kebahagiaan kembali bermekaran dihatinya. “Teh melati?” tanya Kiku mematikan.

Tara mengangguk membenarkan, lalu duduk di samping Kiku. Menyodorkan cangkir, dan memepetkan tubuhnya ke arah Kiku. Membiarkan sang pemuda menyenderkan kepalanya ke bahunya.

“Ada apa?” tanya Tara melihat gerakan tiba-tiba Kiku.

Menyeruput teh melati yang menenangkan pikiran miliknya. Kiku ikut meminum tehnya, sesuai aroma.
Rasanya juga sama, masih sama bahkan Kiku bingung rahasia apa yang membuat teh melati buatan Tara begitu khasnya.

“Rasanya, selalu sama ...” satu bulir air mata meleleh dari pelupuk matanya.

“Hanya satu, dan tidak ada yang tahu kecuali aku.”

Sedikit penasaran, Kiku mengangkat kepala dari bahu Tara dan menatap bola mata yang begitu lembut membalas.

“Katakan.”

Merengkuh Kiku tiba-tiba, lalu memangku Kiku membiarkan kepalanya terbenam dipundak Tara.

“Kasih sayang,” bisiknya pelan.

•••

[ ✔ ] ❝ IDEALS OF THE PAST . Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang