Chap. 2 - Vilzaier

51 25 7
                                    

"Ketika rembulan bersemu merah, dan ketika butiran darah terjatuh pada tanah. Api murka dalam angkara dan Air menghilang dalam ketenangan."

❄---------------❄

Dunia yang aku tinggali ini adalah Eier, tepatnya kerajaan Plaves di Utara. Satu-satunya tempat yang berhasil menahan kekuatanku agar tak lepas kendali. Tempat yang diselimuti musim dingin abadi semenjak perang besar yang terjadi sebelum aku terlahir.

Kudengar dari Dianne semalam, aku lahir di Vilzaier. Tanah terkutuk yang berhasil ditaklukan oleh Sang Cahaya. Tak heran jika elementasiku adalah api yang  juga elementasi terkuat di Vilzaier, dan konon Lord Aglea adalah pemilik api terkuat sepanjang sejarah Eier. Dia yang katanya bergabung bersama kegelapan untuk menguasai Eier itu, adalah Ibuku.

Tak pernah sekalipun aku terpikir bahwa aku adalah seorang penerus kerajaan. Mungkin jika aku tahu bahwa orang tuaku penduduk Vilhouges aku masih bisa maklum mengingat elementasiku, namun apa ini, aku putri dari dua orang Lord yang dulu bergabung pada kegelapan? Gila! Ya, aku memang gila.

Setelah menenangkan diri  semalaman, pagi ini aku memilih menyendiri dengan segelas cokelat panas di tepi danau es depan cabin. Berdekatan dengan salju membuat fikiranku kembali jernih, penyesalaan dan kekecewaan yang menyesakkan dada perlahan meluruh seiring dengan hembusan nafas dinginku.
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi aku tak terkejut, juga tak takut. Aku sudah biasa tertusuk fakta, tapi kali ini sesuatu yang kutunggu ternyata benar-benar menyakitkan seperti yang kubayangkan.

Ya, aku sudah membayangkannya, semua hal buruk yang akan datang dalam hidupku.  Tapi kali ini kenyataan tak berpihak padaku, putri seorang penjahat yang tanpa rasa bersalah hidup dengan damai di pelosok terpencil Plaves.

“Nona, saya harus pergi.” Dianne membuyarkan lamunanku, ia keluar dari cabin lengkap dengan jubah dan ranselnya. Semalam, ia bilang harus segera pergi. Mungkin selama ini aku sudah sangat menyusahkannya, aku tak bisa bergantung pada Dianne lagi.

Tanpa tahu siapa orang tuaku, aku tumbuh bersama Dianne, belajar ilmu berpedang, sihir, menunggang kuda, dan hal-hal lain seperti elfin muda pada umumnya. Ratusan tahun aku menunggu, menggali fakta-fakta tentang diriku sendiri. Diannelah yang membesarkanku, dia menyayangiku layaknya putrinya sendiri.

“Ya, Hati-hati Dianne, terima kasih sudah menjagaku selama ini. ” Aku memeluknya sangat erat, ada isakan kecil di balik jubah hitam yang menutupi separuh wajahnya.

“Saya selalu menyayangi anda Yang Mulia.”

“Apa yang kau katakan Dianne?” Kami saling melepas pelukan karena aku terkejut sekaligus terkekeh ketika mendengar Dianne memanggilku ‘Yang Mulia’. Canggung sekali dan aku agak sulit menerima fakta yang satu itu. Kami berbincang sebentar, lalu Dianne benar-benar pergi bersama kudanya menembus hutan musim dingin. Kupandangi hingga jubah hitam itu hilang sepenuhnya, hatiku menghangat, butiran bening lolos dari kelopak mataku. Kini, aku benar-benar sendiri. Tak ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri saat ini.

Pikiranku kembali berkelana dalam kesedihan, aku pikir aku harus kembali ke Vilzaier. Tapi setelah sampai, apa yang akan kulakukan disana? Memohon pada  Sang Cahaya agar mengembalikan tahta kepadaku? Jangan bercanda.

Tapi rasanya patut dicoba.

❄-----------------❄

Kudaku mulai kelelahan, setelah perjalanan seharian aku sampai tepi di sungai Flux, perbatasan setiap daratan di Eier dan di hadapanku adalah sungai Flux yang langsung berbatasan dengan wilayah kerajaan Vilzaier. Di sisi sungai yang lain, jauh di sana tampak sebuah kastil yang saking besarnya masih tampak jelas dari tempatku berada saat ini.

URVS : The Strongest Gem Element [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang