PROLOG

145 69 44
                                    

     

Kobaran api menjilat di sepanjang kota di iringi butiran salju yang perlahan jatuh menyelimuti daratan. Kilatan petir menyambar pepohonan, menggantikan nyanyian para peri yang biasanya menyejukkan.

Bersama lolongan binatang dan gemuruh dari ombak laut yang mulai pasang, suara desingan benda tajam mulai berkurang dan menyisakan seonggok mayat yang berjatuhan dari udara. Hanya ada bau anyir darah, pertanda pembantaian besar telah usai.

“Lord dan ‘sang api’ telah mengorbankan semuanya.” Sesosok bayangan wanita bersimpuh di tanah sambil terisak. “Tapi kita tetap kalah.”
Dia menangkupkan kedua tangan pada wajahnya, berharap bisa menghentikan butiran-butiran bening yang lolos menerobos pertahanannya.

Sosok bayangan pria menghampirinya, memeluknya dengan berharap barang sedikit bisa menenangkan isakannya yang semakin menjadi. Baju zirah mereka yang berlumuran darah nampak mengilat di bawah temaramnya cahaya rembulan.

“Bersembunyilah, karena ‘Dia’ tidak akan tinggal diam. Aku juga akan pergi.” Bayangan pria itu beranjak, membantu sang wanita berdiri dan mengecup pelan keningnya.

“Kita harus bertahan, supaya sang penerus tidak berjuang sendirian.” Lanjut Sang Bayangan pria, memeluknya sebentar lalu meninggalkan wanita itu dalam gelapnya malam.

“Tak disangka ‘gelombang’ memadamkan api yang bagai lautan,” Ucap bayangan pria itu. “Mari tunggu sedikit lebih lama lagi, aku yakin ‘gelombang api’ tersembunyi akan hadir kembali. Dan kita akan menang.” Gema suara Sang Bayangan Pria yang perlahan menjauh.

“Aku harap kau benar.”

URVS : The Strongest Gem Element [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang