Satu

166K 9.6K 134
                                    

Hidup merantau di ibu kota dan hanya berkerja part time di sebuah toko roti membuat Mil menghela napasnya cukup berat. Dia sudah kehabisan uang untuk menyambung hidup dan meminta pada orangtuanya yang berada di pulau lain bukanlah pilihan yang bagus. Nama lengkapnya Emila Shalia Deva, berusia 26 tahun. Pernah menempuh pendidikan di luar negeri selama dua tahun meski tanpa restu keluarganya. Kemudian kembali pada tanah air untuk menuruti titah sang ayah mengambil kuliah keguruan di salah satu perguruan tinggi.

Hidupnya tidak mudah tetapi Mil melaluinya sampai detik ini. Hingga kemudian pandangannya melihat seorang wanita paruh baya yang kecopetan di depannya. Rasanya gadis itu ingin menangis. Mengapa banyak sekali orang jahat di muka bumi ini?

Dia ingin tidak ikut campur dan seolah tidak melihatnya. Namun kakinya justru bergerak menghampiri wanita paruh baya yang kecopetan itu dan membantunya berdiri.

"Ibu nggak apa-apa?" Mil memeriksa keadaan wanita di depannya. Pencopet tadi mendorong ibu ini cukup kuat hingga terjatuh di aspal.

"Tas saya diambil." Ibu itu masih menatap nelangsa pada jalanan yang tadi di lalui copet itu.

Mil menatap Ibu itu kasihan. Lututnya terlihat terluka dan mengeluarkan sedikit darah. Wajahnya kemudian meringis saat menyadari bahwa sikunya juga ikut tergores aspal.

"Di sini agak rawan, Bu. Apalagi malam seperti ini. Ibu mau kemana?" tanya Mil.

"Taksi yang saya tumpangi mogok. Terus saya jalan-jalan coba cari bantuan atau kendaraan lain. Tapi malah kecopetan."

Mil mengangguk paham. "Saya bisa bantu apa, Bu?" tanya Mil.

"Saya boleh pinjam ponsel kamu?"

Mil hendak mengangguk sampai kemudian dia lupa bahwa dia tidak memiliki pulsa. Bahkan tidak ada uang sepeserpun pada dompetnya.

"Hp saya ketinggalan di rumah, Bu." Mil beralasan. "Ibu mau ikut ke rumah saya sebentar? Di rumah saya juga ada kotak obat. Takutnya lukanya kalau nggak diobati bisa infeksi. Tempatnya nggak jauh kok dari sini. Masuk gang itu." Mil menunjuk sebuah gang yang ada di sana.

Ibu itu terlihat berpikir hingga kemudian mengangguk. Mil pun menuntun wanita itu menuju kontrakannya.

*__*

"Masa cuman seratus ribu, Bang? Mil belinya 2 juta loh itu. Dijual di mall juga masih dapet 500an lebih. Tambahin dikit lagi, lah." Mil masih menego pada abang penjaga konter yang tidak jauh dari kontrakannya. Dia ingin membeli pulsa sekaligus mendapatkan beberapa uang untuk makan besok. Maka dari itu, Mil menjual jam tangannya. Niatnya yang tadi keluar hendak menemui temannya untuk meminjam uang terpaksa diurungkannya.

"Masalahnya duit gue juga nggak banyak, Mil," balas penjaga konter.

"Ya, tambahin dikit lagi lah, Bang. Kalau Mil nggak butuh sekarang juga Mill jual sendiri besok ke mall."

Abang penjual itu berdecak, kemudian mengulurkan dua lembar uang 100 ribuan pada Mil . "Iya deh ini 200 ribu. Harga mentok itu."

Mil pun menerimanya. Walau ini masih jauh dari harga jualnya tapi tidak apa-apa, lah. Pulsa untuk ibu itu sangat dibutuhkannya sedang konter satu-satunya yang berada dekat kontrakannya itu tidak menerima hutangan dari pembeli.

"Makasih, Bang."

Selesai dengan urusannya di konter, Mil pulang kembali pada kontrakannya yang tidak seberapa besar. Terletak di pinggiran Jakarta dengan biaya sewa yang tidak begitu mahal. Sengaja Mil cari yang murah karena penghasilannya tidak seberapa besar.

"Ibu ini silakan." Mil mengulurkan ponselnya pada wanita paruh baya yang langsung diterimanya. Memberikan ibu itu menghubungi seseorang dengan ponselnya dan Mil membenahi kotak p3k yang tadi digunakan untuk mengobati luka-luka di lutut dan siku ibu itu.

Mil menunggu tidak begitu lama. Cukup sampai dia membuatkan teh manis di dapur untuk tamunya. Ibu itu selesai dengan teleponnya dan mengembalikannya ponselnya pada Mil.

"Makasih, ya," katanya.

"Sama-sama, Bu." Mil kemudian menyodorkan segelas itu pada tamunya. "Diminum dulu, Bu."

"Panggil Tante Sarah aja," kata Ibu itu menatap pada Mil. "Nama kamu siapa?" tanyanya.

"Saya Emila, Bu. Biasanya dipanggil Mil aja."

Tante Sarah tersenyum. "Saya minum ya, Mil." Tangannya kemudian mengambil cangkir teh yang Mil letakan di atas meja.

"Iya silakan Tante."

Keduanya kemudian terlibat dengan perbicangan santai yang menyenangkan. Semakin Mil melihat bahwa Sarah adalah orang yang ramah dan enak diajak bicara. Sarah juga bilang bahwa tadi dia menelpon putranya untuk meminta jemput. Bercerita juga mengenai tempat tinggalnya yang cukup jauh dari wilayah ini. Mereka juga berbincang mengenai berita-berita yang sedang hype di Indonesia ini.

Cukup lama obrolan mereka itu sampai kemudian Mil mendengar suara mobil di halaman kontrakannya lalu Sarah yang berdiri menyambut sang pemilik mobil yang keluar dari sana.

"Mil terima kasih banyak. Maaf tante merepotkan kamu," kata Sarah saat akan keluar dari kontrakan Mil.

"Sama-sama Tante. Jangan lupa nanti kakinya dipijit biar nggak bengkak." Sarah tersenyum membalasnya. Ia cukup terpesona dengan gadis mungil itu yang sangat baik memperlakukannya tadi. Selain wajahnya yang cantik, Mil juga teman mengobrol yang menyenangkan. Sedikit banyak ia tahu tentang gadis itu lewat obrolannya sewaktu menunggu anaknya datang.

"Oh iya, ini anak dan menantu tante. Sekali lagi terima kasih, ya. Kapan-kapan kita bertemu lagi." Sarah memperkenalkan keluarganya kemudian beranjak dari tempatnya dengan dipapah anak dan menantunya. Mil tersenyum sopan pada keduanya kemudian menatap sekilas kepada sepasang manusia yang sedang memapah Sarah menuju mobil.

Terlihat laki-laki dengan perawakan tinggi itu menggerutu sesekali menanyakan mengapa ibunya bisa sampai seperti ini. Sedangkan sang wanita yang tak lain menantu Sarah, hanya diam membantunya.

Mil kembali menatap ke arah anak laki-laki Sarah yang cukup tampan di depan sana. Tidak heran melihat Sarah yang begitu cantik di usianya yang senja. Mil jadi membayangkan bagaimana jika pria itu tersenyum, pasti semakin rupawan parasnya.

Ah, sudahlah! Dia pria beristri.

Pria beristri yang begitu rupawan. Putra Tante Sarah.

Perempuan Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang