Dua

77.9K 8.1K 229
                                    

"Bunda seharusnya tidak mau saat diajak perempuan itu ke rumahnya. Jika perempuan tadi berniat buruk, bagaimana?"

Sarah melonjorkan kakinya di kursi santai kemudian mengambil segelas jus yang terletak di atas meja di samping kursi santainya dan melihat sekilas putranya yang kini ikut duduk di sampingnya.

"Leon, Mil itu perempuan baik-baik. Dia cuman menolong bunda. Tidak ada niat yang lain," kata Sarah kemudian meminum jus jeruk di tangannya.

"Bun, kita gak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran orang lain. Bunda lihat sendiri, kan, bagaimana lingkungan perempuan itu tinggal? Kumuh Bunda! Bahkan di sana sarang pencopet. Bagaimana kalau perempuan itu ternyata komplotan pencopet yang mencopet bunda tadi siang?" Leon bicara panjang lebar membenarkan argumennya.

"Leon, itu hanya pikiran skeptis kamu aja. Kamu belum mengenal Mil makanya begitu," kata Sarah masih santai.

"Leon memang tidak berniat mengenal dia, bunda. Bahkan nomor hpnya yang tadi bunda pakai untuk telfon sudah Leon blokir." Raut wajah Leon terlihat begitu serius. Sedang Sarah malah menggeleng kepalanya melihat tingkah anak bungsunya.

"Kamu jangan selalu menilai orang dari pandangan pertama Leon. Tidak semua perempuan seperti Helga. Jangan kamu sama ratakan semuanya." Sarah bangkit dari duduknya. Dengan langkah yang masih tertatih, ia meninggalkan putranya itu yang kini terdiam sendirian. Leon pasti terdiam jika Sarah sudah menyebut nama perempuan itu. Perempuan yang membuat Leon memandang buruk Perempuan-perempuan lainnya.

Leon memang sudah keterlaluan, seharusnya dia tidak perlu memblokir nomor ponsel Mil. Lagipula Sarah ragu bahwa gadis baik itu akan menghubunginya.

*__*

Mil keluar dari ruangan itu gugup. Ia berharap lamarannya kali ini berhasil. Pekerjaan itu benar-benar sangat ia butuhkan saat ini. Rasanya sayang melihat ijazahnya menganggur di lemari jika ia hanya bekerja di toko roti yang terletak di depan sekolah ini saja.

Sudah hampir setahun Mil bekerja di toko roti itu. Gajinya tidak banyak bahkan terkadang Mil kekurangan. Jika sebelumnya Mil tidak memiliki niat untuk kembali mengajar, kini niat itu kembali kepermukaan. Saat ini dia butuh biaya untuk kehidupannya. Lagipula, Mil juga harus bangkit dan kembali menata hidupnya. Cukup hanya satu tahun perempuan itu meratapi kehidupannya yang mengenaskan.

Mil seorang lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Setelah selesai mengenyam pendidikan selama 4 tahun, perempuan 26 tahun itu memutuskan untuk mengajar di daerah-daerah terpencil dengan sukarela. Gajinya memang tidak banyak. Bahkan terkadang tidak ada sama sekali. Dia mengajar di desa terpencil murni karena keinginannya membantu anak-anak untuk mendapat pendidikan yang lebih layak. Selain itu, juga untuk melarikan diri.

Selama ini Mil mendapatkan penghasilannya melalui pekerjaan sampingannya. Menjadi seorang freelancer designer cukup untuk membuat gadis itu hidup berkecukupan. Gaun-gaun rancangannya dihargai dengan harga yang lumayan fantastis. Sejak kecil, Mil menyukai dunia mode. Setelah lulus SMA, dia bertengkar dengan keluarganya mengenai pilihannya dalam berkarir. Mil ingin mengambil tawaran sekolah mode ke Paris. Hanya saja, keluargnya tidak suka dengan cita-citanya itu. Keluarga besarnya mayoritas adalah tenaga pengajar. Mil pun mau tidak mau dituntut untuk menjadi seorang pengajar. Akhirnya dengan nekad, perempuan itu pergi ke Paris tanpa izin keluargnya.

Dua tahun di Paris dan Mil merasa cukup dengan ilmunya, gadis itu kembali ke Indonesia. Menebus rasa bersalah dengan kedua orang tuanya, Mil memutuskan untuk mengambil kembali sekolah pendidikan. Empat tahun berada di Universitas, Mil tidak menyia-nyiakan sekolah mode 2 tahunnya di Paris. Sembari kuliah gadis itu juga menjadi freelance designer dan memutuskan berhenti dari dunia mode sepenuhnya tiga tahun yang lalu.

Perempuan Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang