#2 : Stasiun

17 4 4
                                    

Aku dan Andhika akhirnya mengobrol lewat whatsapp.

@andhika.prawira : kamu kapan pulang kampung lagi?

@dianclar : minggu depan mungkin. Memangnya kenapa?

@andhika.prawira : nggak papa, Cuma nanya

@andhika.prawira : kamu mau nggak pas pulang kampung aku yang nganterin ke stasiun?

@dianclar : ha? Maksudnya?

@andhika.prawira : aku yang anter kamu ke stasiun, jadi kamu nggak usah pesen ojol lagi

@dianclar : emangnya bisa pesen ojol tanpa lewat aplikasi, ya?

@andhika.prawira : bukan gitu

@andhika.prawira : aku matiin aplikasinya, biar nggak ada penumpang

@andhika.prawira : terus, aku jemput kamu

@andhika.prawira : paham?

@dianclar : oh gitu

Wah, perasaanku nggak enak. Jangan-jangan nanti aku nggak diturunin di stasiun malah diculik. Eh, tapi lumayan juga sih kalo aku bisa dijemput sama Andhika. Kan aku bisa hemat, nggak usah pesen ojol lagi. Ih, apaan sih Yan! Pikiran anak kosnya mulai kumat alias perhitungan alias hemat. Hehehe...

Aku menunda balasan dari Andhika. Memilih untuk menelepon Naya dan menceritakan semuanya.

"Jangan mau, Dian! Emangnya kamu mau diculik sama tukang ojol yang baru dikenal, lewat instagram, lagi!" seru Naya. Dia terdengar super duper khawatir. "Mending kamu pesen ojol aja daripada kamu nggak kembali lagi waktu habis dijemput si Andhika fakboy itu."

"Hus! Ngawur aja. Positif thinking kek," elakku. "Tapi gimana dong? Aku juga pengen kenal sama dia. Dia itu asik, Nay."

Tiba-tiba sebuah ide terselenting di otakku. "Gimana kalo selama dia nganterin aku ke stasiun, aku videocall kamu terus, Nay? Biar kalo ada apa-apa aku bisa minta tolong ke kamu. Gimana?"

"Segitu kepengennya ya kamu jalan sama si Andhika fakboy itu. Ya udah deh, demi Dian alay apa sih yang nggak?" kata Naya.

"Ih apaan sih Nay! Nyebelin banget, tauk!" Rasanya kalau Naya ada di dekatku ingin kutimpuk dia pakai pantofel. Di sisi lain, hatiku girang sekali. Akhirnya aku bisa jalan sama Andhika. Segera kusetujui ajakan Andhika untuk menjemputku.

***

Seminggu kemudian...

@andhika.prawira : aku udah di depan kosanmu

Aduh, belum juga jam empat dia udah standby di depan kosku. Andhika janji menjemput jam empat, dia datang jam tiga. Padahal aku belum mandi.

@dianclar : bentar ya, ini kan masih jam tiga

@dianclar : aku mau mandi bentar

@andhika.prawira : oke, nggak masalah

Aku buru-buru mandi, ganti baju, dan dandan. Aku harus keliatan cantik di depannya. Cielah centil amat aku ini!

Kulihat Andhika duduk di bangku teras kosku sambil main game. Kalian pasti nebaknya dia main PUBG atau Mobile Legend, kan? Salah semua! Dia main cacing!

"Aku udah siap, Dik. Kamu ngapain dateng kesini jam tiga? Kan aku bilangnya jam empat aja. Keretanya masih setengah lima," ucapku.

"Aku nggak kepengen kamu ketinggalan kereta. Mending berangkat dua jam sebelumnya daripada telat, kan?" ujar Andhika sambil mengembangkan lubang hidungnya.

"Iya, sih. Tapi kamu nggak papa nih kehilangan banyak penumpang hari ini?" tanyaku.

"Kalo boncengin penumpang udah biasa. Boncengin kamu kan jarang banget," ujarnya.

Sumpah, saat itu juga aku ingin menghilang dari situ. Kayaknya pipiku blushing deh. Panas banget pipiku. Jangan sampai Andhika tau.

"Ya udah, ayo berangkat sekarang aja," ajakku. Aku duluan berjalan menuju motor Andhika yang terparkir di depan kos. Andhika memberikan helm padaku.

Kebetulan jalanan hari ini lancar. Bahkan di persimpangan BCA yang biasanya padat. Perjalanan kali ini hanya memakan waktu sepuluh menit. Biasanya duapuluh menit.

Aku duduk di bangku stasiun. Andhika duduk di sebelahku. Lagi-lagi dia melepas jaketnya. Ia mengenakan kaos polos. Kali ini warnanya putih. Ia juga memangkas rambutnya menjadi lebih rapi. Ketampanannya bertambah puluhan kali lipat.

"Di Tulungagung ada Alfamart sama Indomaret nggak?" tanyanya.

"Ya ada, lah! Memangnya kamu pikir Tulungagung itu isinya Cuma hutan sama sawah? Di pelosok gitu?" seruku.

"Aku bayangin Tulungagung itu kotanya masih banyak sawah, jarang kendaraan, terus rumahnya jarang-jarang. Tapi enak banget nggak sih kalo tinggal di kota gitu? Udaranya masih seger, jalan nggak macet," jelas Andhika.

"Iya, sih. Tapi Tulungagung nggak seprimitif itu, kali!" balasku. "Lagian, rumahmu kan juga di Malang bagian kabupaten. Berarti di desa, dong?"

"Ya nggak lah, deket rumahku minimarket banyak banget! Jalannya juga rame!"

Kami berdua saling ejek kota asal. Namun, itu sangat asik. Membuat suasana penantian kereta menjadi berwarna. Kalau tiap menunggu jadwal kereta ditemani Andhika, aku bakal milih buat terus nunggu kereta.

"Sekarang udah jam 4.20, nih. Aku cetak tiket dulu, ya." Andhika hanya mengangguk sambil tersenyum.

Setelah mencetak tiket, aku menghampiri Andhika. Berpamitan. Aku bakalan terus-terusan kangen sama Andhika. Pertemuan ini terasa singkat. Padahal aku udah ngobrol selama satu jam lebih sama dia.

"Take care, ya! Titip salam buat orangtuamu!" ujar Andhika. Ya ampun, pake nitip-nitip salam ke orangtuaku segala. Aku hanya melambaikan tangan.

Sesampainya aku di kereta, ponselku berdering. Dari Naya. Ya ampun! Aku bahkan lupa videocall dengan Naya waktu dianter Andhika. Deretan panggilan video dari Naya juga bermunculan. Berhubung tadi aku lupa menyalakan data internet. Mungkin saking percayanya aku sama penampilan Andhika yang super keren itu. Nggak keliatan kayak penculik. Sehingga aku lupa akan rasa khawatirku.

"Gimana, Yan? Kamu udah sampai stasiun dengan selamat? Dia nggak ngapa-ngapain kamu, kan?"

"Udah, kamu nggak usah khawatir! Aku udah di kereta malah. Dia asik banget, Nay! Aku hari ini seneng banget!" seruku. Sampai sebagian penumpang menoleh padaku. "Udah, nanti kalo udah nyampe rumah aku ceritain semuanya. Udah dulu, ya! Dadah Nayaa."

Tiba-tiba ada pesan masuk.

@andhika.prawira : kalo udah nyampe rumah kabarin aku, ya!

Spontan, aku tersenyum-senyum sendiri. Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan dan nggak flat kayak biasanya. Rasanya sakin senangnya aku pengin berlari-lari di gerbong.

My Love Fairy [HIATUS]Where stories live. Discover now