Cinta Segitiga

130 4 7
                                    

Dia selalu semangat bekerja, ia menyadari bahwa ia adalah salah satu tulang punggung keluarga, sebab ayahnya yang lagi kurang baik pendapatannya akhir-akhir ini, dan ia juga sebagai anak lelaki sulung yang harus membiayai dirinya sekolah, demi melanjutkan pendidikannya.

Namanya Daud, bukan Nabi Daud as yang merupakan Nabi ke tujuh belas pembawa kitab Zabur dan memiliki mukjizat suara merdu, juga dapat melunakkan besi dengan tangannya, bukan pula nama puasa yang sering disebut orang Puasa Daud yaitu puasa selang-seling, hari ini puasa, besoknya tidak, besoknya lagi puasa dan begitu seterusnya. Tapi namanya Daud, berumur 12 tahun, kelas 1 SMP, ia sudah bekerja, bekerja menjual Jalangkote milik tetangga.
Cara jualannya tidak perlu memakai modal uang, cukup bermodal suara dan langkah kakinya menyelusuri Dusun Tebbange di mana ia bertempat tinggal sekarang, menjajaki jajanannya, jalangkote.
Jalangkote sejenis makanan yang hampir sama dengan kue pastel berisi wortel, ubi yang dipotong-potong dadu kecil, mie, toge serta laksa yang ditumis dengan menggunaan bawang putih, bawang merah, merica, dan bumbu-bumbu lainnya. Ada juga jalangkote yang berisikan daging cincang dan seperempat telur untuk isinya dibalut dengan kulit adonan. Jajanan ini merupakan makanan khas Bugis Makassar.

Daud menjajaki jajanan mulai dari Dusun Tebbange sampai Dusun Taipa.
Jalangkote yang ia jajakan adalah jalangkote Ira, Kakak kelasnya, kelas dua SMP, di SMP Negeri Harapan.

Setiap pagi sebelum menjual, Daud pergi mengambil sebox Jalangkote di rumah Ira, tak jarang ia diberi jambu biji dengan Ira, sebagai bonus jualannya.

Daud adalah anak yang ulet, kulitnya putih tapi gara-gara profesinya sebagai penjual Jalangkote yang hampir menyelusuri Desa Borikamase setiap harinya sebelum ke sekolah dan setelah sekolah, membuat kulitnya yang peka terhadap matahari menjadikannya gelap. Namun ketampanan, keluguan, dan kepolosannya tidak pudar dimakan sengatan matahari, ia tetap tampan dan selalu tampan.
Karena ketampanannya, Ira diam-diam menyukai Daud, sedang ia sadar bahwa ia sekarang masih berstuskan pacaran dengan kakak kelasnya bernama Arif, sepupu Daud.

"Daud, ini jambu biji, kamu pasti mau?!"

"Mau!"

Daud dengan senang hati menerimanya, selain buahnya yang matang dan manis, bertambah pula enaknya jika jambu biji itu berasal dari tangan putih nan lembut Ira, di mana Daud juga diam-diam menyukai Ira, tapi tak pernah berani menyatakannya. Sebab Daud tahu, Ira adalah pacar sepupunya sekaligus seniornya yang cukup ditakuti di sekolah. Sepupunya Arif adalah preman insaf di sekolah.
Si Arif jika berhadapan dengan orang lain, ia ganas dan liar, namun jika dia berhadapan dengan Ira, beserta keluarga Ira apalagi dengan keluarganya sendiri, maka dia akan selembut kapas. Dari itulah Daud segan sekaligus takut kepada sepupunya itu, hingga rasanya terhadap Ira semenjak SD dulu, tak pernah berani ia nyatakan ke Ira.

Menurut Daud, cinta belum nikah itu ibarat gas, tabungnya adalah hati, seperti rasa cinta, jika kita ungkapkan, akan habis begitu saja. Selain jalangkote Daud juga selalu membelikan ibunya tabung gas jika ibunya kehabisan bahan bakar utuk memasak di dapur.

"Daud, apa kamu lanjut SMA?"

"Hmm, saya tidak tahu Ra, liat saja keadaanku sekarang, SMP saja, saya harus keliling kampung untuk menacari nafkah buat ibu, bapak, dan adik-adikku."

"Tapi kamu kan cerdas, aku dengar di kelas 2 SMP kita, kamu yang terbaik." Kata Ira membujuk Daud untuk lanjut sekolah.

"Nantilah kita lihat, Ra. Takdir kita, tidak ada yang bisa tebak, bagaimanapun kita usahakan jika bukan takdir, maka tidak. Tapi bagaimanapun kita hindari, jika ya maka akan terjadi." Terang Daud kepada Ira menegaskan, meski ia masih agak canggung, dan baru kali ini mereka berbicara lama sore itu.
Semenjak SD kelas tiga, Daud bekerja menjualkan Jalangkote dari rumah ke rumah, baru kali ini Ira mengajaknya berbicara serius. Sebelumnya hanya senyum, sapa, salam. Bahkan terkadang hanya memberi Box Jalangkote kepada Daud dan mereka saling berlalu. Tapi hari ini, mereka sangat berbeda, mereka duduk bersama di beranda rumah Ira, rumah batu yang baru satu-satunya ada di desanya, rumah yang terbuat dari batu bata dan dilapisi semen. Masyarakat di sana masih dominan memiliki rumah kayu, kebanyakan sudah rapuh di makan hari, tanpa penghasilan untuk memperbaiki rumah.

Sementara di tempat yang berbeda tepatnya di samping rumah Ira, Arif diam-diam mengawasi mereka, Arif membayangkan jika saja bukan sepupunya yang ia amat sayangi, maka tangan, kaki dan badan Daud, akan dipatahkannya,

"Saya akan remukkan pemuda itu!" Namun sayang, Si Arif menyadari bahwa yang bercakap lama dengan kekasihnya adalah Daud, adik sepupunya sendiri.

Diam-diam Daud menyadari keberadaan Arif,
"Baik Ira, hari ini sudah sore, hampir pukul 17.00 sore nih, saya undur diri dulu, nanti waktu salat asarnya habis, aku pulang dulu." Ira beranjak dari duduknya di kursi yang terbuat dari palstik berwarna biru, sambil menanggapi pamitan Daud yang dengan cepat melangkahkan kaki menuju rumahnya, setelah berpamitan ke Ira.
Ira dengan ekor matanya, melihat Daud hingga hilang punggung Daud bersama senja sore itu. Entah mengapa ia sangat pilu saat Daud ragu akan ketidakberlanjutan sekolah Daud di jenjang SMA.

Setelah Ira menyadari bahwa Daud sudah benar-benar tak ada di wilayah rumahnya, ia bergegas masuk ke rumahnya; masih di tempat yang sama, Arif memperhatikan Ira, membiarkan Ira berlalu masuk ke rumahnya, kali ini, hati Arif rapuh tak mengerti apa-apa, ia seolah baru-baru berlari sejauh 20 km, hatinya benar-benar sesak diantara degupan jantung yang terpacu cepat, ia terbakar cemburu. Cemburu anak puber yang umumnya, dilampiaskan dengan memukul orang, namun tidak kali ini. Tinjunya ia simpan kepada pohon pisang yang ada di sampingnya.

Dengan kuat ia meninju pohon pisang itu,

“Argg!! buk, buk!!” pohon pisang yang menjadi sasaran tumbang begitu, setelah tumbang, ia masih marah.

“Arghhh!! apa yang harus saya lakukan hah??” Ungkap Arif, dengan amarah kepada pohon pisang milik ayah Ira.

Setelah menumbangkan, daun pisangnya digundulkannya, hingga pohon pisang itu kelihatan mengenaskan.
Sementara kemarahannya memuncak,

“Oiii, Sap …! Dasarrr anak nakalll, saya kira kamu sapi, ternyata kamu Ariff!! Awas kamu ya! Awasss!!!”

Ayah Ira yang setiap sore berjalan di pekarangan rumah Ira, menyaksikan kelakuan Arif yang tidak senonoh kepada pohon pisangnya. Di mana pohon tersebut sudah mampu difungsikan daunnya untuk membungkus buras, dan doko-doko unti (Bahasa Makassar dari kue pisang yang terbuat dari tepung beras dan tapioka itu sebagai pelapis pisang, dan dibungkus daun pisang) kini tergelatak tak berdaya.

Saat Arif menyadari teriakan itu, terpontang-panting ia berlari menuju rumahnya yang terletak 1 km dari rumah Ira, namun Ayah Ira, hanya mengejar Arif hingga di pagar pekarangan rumah Ira, selebihnya ia mengancam Arif.

“Dasar anak Nakal!! liat nanti, kamu akan mendapat pelajaran!!”


***

Reinkarnasi RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang