Daud Harus Jadi Kiai

41 0 0
                                    

“Kau harus menjadi Kiai Daud!”

“Kau harus melanjukan cita-cita Ayah, kau tahu? Ayah dulunya sangat terpukul, saat nenekmu melarangku nyantri, padahal hanya butuh sewa mobil ke Bukit Tinggi saja yang Ayah pinta, nenekmu tak memberikan uang dengan alasan tak ada uang, padahal jika disandingkan dengan masalah baju dan perhiasan, nenekmu punya. Jadi akan kuusahakan kau yang bisa Daud, kau harus pahami itu, cita-cita Ayah sejak kecil kuserahkan padamu.”

Daud hanya diam dan menggerutu dalam hati,
“Bagaimana bisa, cita-cita itu diwariskan? Ada-ada saja!”

Namun dasar Si Daud adalah pemuda yang sangat menghormati orang tua, dan sabar dalam keadaan apa pun, ia diam dan setelah itu,

“Iya Ayah, aku akan melanjutkan cita-cita Ayah, jika itu membuat Ayah bahagia, doakan anakmu ini.”

***

Tibalah kepergian Daud, ke Desa Bukit Tinggi, itu adalah nama khusus untuk daerah pesantren laki-laki Kecamatan Damai Kabupaten Polewali Mandar.

Sanak keluarga dan tetangga Daud mulai berkerumun di depan rumah Daud, mereka turut hadir dalam acara perpisahan Daud hingga naik di mobil panter pengantaran Polman, tidak lain mobil sopir sewa yang akan mengantarkannya ke pesantren impian ayahnya.

Rumah yang sejak tadi diramaikan oleh tetangga dan sanak keluarga Daud, ada yang sembab ada yang biasa-biasa saja, ada pula malah menyemangati Daud, yaitu om-om Daud yang berstatuskan Sarjana.

“Baru kali ini, di keluarga besar kita melepas anaknya ke pesantren, jadi janganlah kau mengecewakan Nak,” nasihat Ibrahim kepada keponakannya-Daud.

Daud hanya diam dan ma’fum mendengar nasihat itu,
“Ilmu adalah tombak keselamatan, jika kelak engkau akan berperang menghadapi hidup, maka ilmulah sebagai tombakmu,” lanjut Ibrahim masih semangat memberikan petuahnya kepada Daud.

“Iya Om,” Daud hanya menunduk ma’fum. Di pikirannya hanya ada  Ira,
Saat Daud telah siap naik ke mobil yang akan mengantarnya ke pesantren, Ira datang dengan baju kuning, lengan pendek, putih kulitnya semakin terang di lengannya, matanya berbinar tidak nampak kesedihan, yang nampak adalah semangat, ia akan menyemangati Daud.

Rambutnya di kepang dengan poni rapi menambah kecantikannya, rok yang sepang melengkapi keanggungannya. Bulu mata yang lentik, hidung yang mancung, alis yang tebal tapi halus, dan senyum tipis di wajahnya membuat pandangan Daud tidak lepas hingga ia masuk di mobil, sedang orang-orang mengiringi kepergian Daud terpana menyambut kedatangan Ira.

“Wah Nak, baru ke luar rumah, cantiknyaa!” Orang-orang pada memujinya, sebab Ira adalah Bunga Desa yang cukup disegani, ayahnya adalah pensiun tentara, ayahnya juga pernah menjadi kepala desa di Dusun Tebbange ini. Kepergian Daud membawa kepedihan Ira di dalam hati, meski di luarnya begitu anggun dan seperti tidak ada masalah.

“Ehehe, mau liat Daud Bu, Daud adalah sahabatku,” terang Ira yang tidak mau ketahuan hubungan hatinya dengan Daud.

“Mari Bu, Daudnya sudah pergi, aku pamit dulu,”

“Iya Nak, terima kasih sudah mengantar Daud,” salah satu tante Daud membalas ajakan Ira.

Ira dengan langkah pelan menjauh dari rumah Daud, tapi tidak dengan hatinya, semakin jauh jarak memisahkan Daud dengan Ira, maka semakin dekat hatinya terhadap Daud.

Ia melangkah dengan memikirkan Daud seorang, rasa nyerinya berpisah dengan Daud, ia tahan,

“Sesak rasanya melepasmu, tapi apa dayaku Daud,” ia terus membatin hingga sampai ke rumahnya.

“Kamu dari mana Nak?”

“Aku dari mengantar Daud Yah,”

“Daud sudah pergi?”

“Iya Yah,”

“Sabar Nak, insyaallah jika Daud kembali, kamu akan bertemu lagi, dia hanya pergi menuntut ilmu, itu juga demi kebaikan dunia dan akhiratnya,” ayah Ira menasihati Ira panjang lebar, seolah ia tahu tentang keperihan Ira saat ini.

Ira mengangguk dan ke kamarnya, untuk meneruskan kesedihannya saat itu,

Daud,
Andai kau tahu, aku sangat mencintaimu
Sejak sebelum saya pacaran dengan Arif
Namun kau tak pernah mengatakan apa pun
Kau hanya selalu diam
Diam tak berucap sepatah kata pun

Tapi
Jika kau bilang, untuk apa?
Rasa ini sangat besar tapi untuk apa?

Ira menulis di buku hariannya, baru kali ini buku harian Ira terisi yang sejak lama kosong, dan awal tulisannya tentang Daud.

***

Dalam perjalanan menuju Kabupaten Polman, Daud tak henti-hentinya memikirkan Ira, seoalah ia mau pulang kembali dan memeluk Ira,

“Ira jadilah istriku, cinta ini memang gila, meski umurku masih 15 tahun, tapi aku mampu menjadi imammu dari anak-anak kita kelak,”

Ingin rasanya Daud mengatakan itu, sebelum pergi, namun kalimat lenyap, saat mengingat tatapan harap ayahnya, tatapan seorang ayah yang ia cintai. Dia harus mengabulkan cita-cita ayahnya dulu, cita-cita yang tertunda.

“Ira, aku sangat mencintaimu, mungkin Tuhan akan mempertemukan kita, saat aku benar-benar bisa menjadi imam yang baik,”

Daud terus-menerus memikirkan Ira, menangis di antara pengapnya mobil dan sumpeknya penumpang menuju Kabupaten Polman. Tangisan dan nyeri hatinya membuatnya lelah, hingga tertidur.

***

Reinkarnasi RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang