BOLA BASKET

5 1 0
                                    

Dennis Adya. Dia seorang pendiam. Kikuk. bermental lemah. Jarang senyum dan selalu terlihat seperti orang ingin menangis.

Dia dari kelas B. Seorang yang sangat tidak percaya diri dengan dirinya sendiri. Suatu hari di antara hari-hari menyedihkannya, seorang siswa dari kelas C mendatanginya. Namanya Brilliandi Cetta.

"Murung aja, Bro!" Sapa Brill yang baru keluar dari musholla.

"Kamu siapa?" Sapa Dennis ketakutan. Kenapa dia di luar saat jam belajar begini?

"Santai. Kenalin, aku Brilliandi Cetta. Panggil Brill aja," Brill memberikan tangannya.

Dengan kikuk, Dennis menyambut uluran tangan perkenalan itu. "Dennis,"

DEG!!

Dennis melepas uluran tangan Brill dengan sentakan kaget. Untuk sesaat Dennis merasa tangannya tersetrum saat menyentuh Brill.

"Kenapa?" Tanya Brill heran.

"Ka...kau, menyetrum ku!"

"Ha?!" Brill kaget sendiri. "Ngawur lu!"

"Be-beneran!" Jawab Dennis ketakutan.

Melihat wajah takut Dennis, jiwa iseng Brill timbul. "Oo...kalau gitu..." Brill malah hendak menempelkan lagi tangannya pada Dennis. Mereka pun auto kejar-kejaran!

"Aaaa!!!" Teriak Dennis di sela sela pelariannya.

Jarak melebar. Brill ngos-ngosan sendiri. Sementara Dennis sudah kabur ke kelasnya, kelas B.

"Ngeri. Kok bisa dia lari sekencang itu. Bagus kalau dia ikutan lomba lari tuh!" Usai mengatur nafasnya, dengan santuy Brill masuk ke kelasnya.

'Aduh, kaos kaki dong pake tinggal!' seru Brill saat di tengah jalan menuju kursinya. "Buk, permisi lagi ya. Kaos kaki saya tinggal," dengan senyuman maut hasil prakteknya diujung kalimat. Sekalian percobaan,kali aja guru bisa takhluk pake cara ini.

"Ya ampun Brilliandi, belum juga tua udah pikun kamu,"

Lagi-lagi Brill hanya menebar pesonanya dengan senyum makin lebar pada sang guru. "Ya udah sana,"

"Makasih buuk~" Brill melenggang sok kulkas ke luar kelas.

Sesampainya di dekat musholla, Brill melihat 2 orang anak kelas B. Entah kenapa dia malah sembunyi. 'Lah kenapa gua sembunyi ya?' Brill menggaruk keningnya yang ga gatal.

"Nanti sore jadi ya,"

"Jadi lah! Aku udah siapin telur busuk nih!"

"Wuih! Dapat di mana! Hebat bro!"

"Ya dong! Susah nih nyarinya bro!

" Pasti si Dennis bakal takut setengah mati, hahahha!!"

Lalu orang itu berlalu.

Dari balik tiang persembunyiannya, Brill keluar dengan aura gelap. 'Mau apa kalian sama mainan gue bro?' desis Brill dingin.

Di kelasnya, Brill ga konsen. Dia terus memikirkan cara untuk menghajar dua orang dari kelas B itu. Tapi bagaimana caranya? Dia kan ga bisa berkelahi. Modal kulkas (baca: cool) aja ga bisa buat bonyokin 2 laki-laki!

Belum selesai pusingnya mikirin itu, si Viviana terus ngode buat ngingatin janjian sore nanti di Sudirman. Halah. Yang nyebelin bukan Viviana nya tapi si Benri otot yang dari tadi stare-in gue gegara Viviana deket ama gue.

Haaah~

Jam istirahat tiba, dari pada pusing di kelas, mendingan ke lapangan basket ah! Pikir Brill.

Saat keluar kelas, Bian merangkulnya.
"Bro! Lu ikutan ke Sudirman ntar sore?"

Deg!!
Gue dirangkul couo!! Tanda pertemanan nih! Asyik! Gue udah masuk ke perhitungan mereka! Gue gak jadi murid gagal lagi!!! Tuhaan!! Bathin Brill loncat-loncat kegirangan.

"Iya, diajakin Viviana," jawab Brill sambil jalan. Mati-matian dia menutupi perasaan deg-degan-nya.

"Lu bawa kado apaan?" Tanya Bian ringan. Dia agak sulit merangkul Brill karena perbedaan tinggi mereka.

"Buat apaan kado?" Lirik Brill pada Bian.

"Yaelah, buat Viviana lah! Ini tuh hari ultahnya. Dia ngajakin ke Sudirman buat traktiran ultah dia kali!"

Melihat wajah melongo Brill, Bian tahu Brill nggak tahu tentang ini.

"Hahah, udah gue duga, lu mana tahu ultahnya Viviana kan, yaudah, lu pesen onlen aja hadiah apa gitu!"

"Ntaran dah!" Ucap Brill sok acuh.

"Well gue balik. Nyari Benri dulu!"

"Yo!" Kata Brill sambil menyeka rangkulan si boncel, Bian.

Saat di lapangan basket. Brill melihat beberapa anak basket dengan seragam putih abu, bermain basket sekenanya, rada takut-takut, karena kalau keliatan guru, mereka main basket di jam istirahat bakal kena tampol!

Tapi seperti rahasia umum. Beberapa guru pernah memergoki hal ini. Tapi ga dipermasalahkan tuh!

Brill jadi ingat dengan poin 'tujuh keajaiban yang akan merubah hidupnya' keempat, yaitu: bakat, pilih silat, basket atau jago English?

Untuk basket tinggi badan Brill sebenarnya sudah mencapai standar anak basket. Tapi ini ga melulu masalah tinggi, melainkan passion dan bakat.

"Hmm, berhubung gue lebih butuh keahlian bela diri, karena mau nampolin 2 orang iseng dari kelas B , sepertinya pilih silat deh," Brill terpekur di kursi penonton sambil menikmati kopi kotaknya.

"Kalau basket, gue bahkan ga pernah pegang bolanya," Cenung Brill saat memperhatikan bola oranye yang dari tadi menyentuh bibir ring, lalu memantul. Ga masuk-masuk.

Saat Brill berdiri hendak pergi, tiba-tiba bola basket melesat cepat ke arahnya, Brill reflek menghindar dengan memukul balik bola keras itu sekuat tenaga lantaran takut.

Syuung!!

Bolanya memantul tinggi. Pandangan Penonton di kursi dan lapangan mengiringi arah terbang bola oranye itu.

Trang!!

Masuk ke ring!

Priiiit!!

Three point! Teriak wasit abal-abal di ujung lapangan.

Brill melotot. Sungguh kebetulan yang haqiqi.

Saat Brill merasa sombong, penonton lain teriak. "Itu bukan three point Gob***! dia nge-shoot di luar jarak three point! Dia juga bukan pemain,"

"Dii jigi bikin pimiin! Sa ae lu ah Bambang!" Desis Brill sabodo. Dia melanjutkan langkahnya, pergi.

Sementara itu orang-orang di lapangan ber-sweat drop ria. 'Keren dia!'

---White Psycho---
842 words


White PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang