11. Kisah Penuh Ironi

14.4K 1.5K 682
                                    

WILD © 2019 REONBY

Drama | Polyamory | Mafia!AU

N O R E N M I N

.

SEBUAH tamparan tak pernah berarti apa-apa bagi seorang Jung Jeno, meski tamparan itu menghasilkan luka sobekan di ujung bibir, pipi yang berdenyut ngilu dan kepala yang dihantam rasa pening. Itu tak pernah menjadi berarti apa-apa. Karena jelas, Jeno pernah mendapatkan hal yang lebih parah dari itu.

Maka, saat sang Ayah melayangkan tamparan (entah untuk ke berapa kali dalam hidupnya), Jeno hanya diam, membiarkan wajahnya berpaling dengan paksa saat telapak tangan itu menyapa pipinya hingga meninggalkan merah serta perih, tak ada suara desisan atau bahkan ringisan, Jeno hanya diam.

"Kau mengecewakanku, Jeno," ucapan Ayahnya mengalun ringan, santai, namun tajam. Seolah tak ada emosi di sana meski beberapa saat lalu baru saja menampar anaknya sendiri, padahal Jeno tahu bahwa Ayahnya sedang menahan amarah.

Ayahnya pandai menyembunyikan suasana hati.

"Maaf, Ayah." tatapannya tetap ia pertahankan untuk terus ke depan, pada sang Ayah yang berdiri menjulang, bahkan meski rasa pening pada kepala dan sobekan luka di ujung bibir begitu menggoda untuk ia keluhkan, Jeno tetap tak menunjukkan kelemahannya.

Jung Yunho benci jika ia dan saudara kembarnya terlihat lemah.

Suasana di ruang kerja Ayahnya sangat hening, hanya ada air conditioner yang menyala. Deru napas pun tak terdengar memburu, terlalu hening hingga terasa mencekam dan tegang. Jeno membawa lidahnya untuk membasahi bibir, merasakan rasa asin dan metalik dari darah. Kedua obsidiannya tetap datar menatap pada Ayahnya yang terlihat tenang.

Terdengar helaan napas panjang, Jung Yunho memijit pangkal hidungnya. "Perbaiki nilai-nilaimu, entah itu akademik maupun non-akademi. Aku tak menyukai sebuah kecacatan, Jeno."

Tak ada pilihan selain mengangguk. "Ya, Ayah."

"Aku akan memberimu sebuah proyek lagi," kali ini paruh baya itu menatapnya tajam, berdesis. "Namun kali ini, aku tak menerima sebuah kegagalan seperti yang baru saja kau lakukan. Jika itu terjadi lagi, kau jelas tahu apa yang bisa aku lakukan."

Kedua tangan mengepal erat, Jeno mengangguk mantap meski amarah menguasai. "Ya, ayah, aku tak akan mengecewakanmu lagi," ucapnya mantap.

"Berdoalah semoga itu tak akan terjadi."

Jeno menahan diri untuk tak tertawa. Lucu. Bahkan mereka tak memiliki sebuah kepercayaan pada Tuhan di mana mengharuskan mereka untuk percaya dan berdoa. Meski sebuah agama tercetak jelas dalam kartu keluarga, mereka tak pernah berdoa atau bahkan percaya. Keluarga ini terlalu hina hanya untuk memanjatkan sebuah doa.

Lalu dengan gerakan lambat, Ayahnya menoleh pada sisi kanan tubuhnya, di mana seseorang yang juga memiliki luka di sudut bibirnya berdiri dengan datar dan raut wajah menyiratkan kebosanan, terlihat menyebalkan. Jaemin jelas jauh dari kata baik. Hidung lelaki itu terlihat berdarah hingga membasahi bibir atasnya, ada sebuah luka sobek kecil di pipi kiri dan sebuah lebam keunguan di pipi kanan atas, wajahnya benar-benar berantakan. Itu adalah mahakarya dari sang ayah tercinta, pria paruh baya itu tak menahan dirinya sedikit pun, lagi pula lelaki itu memang tak pernah menahan diri untuk hal ini.

"Meski aku tak berharap banyak pada nilai sekolahmu, cobalah untuk tak membuatku malu, Jaemin."

"Hn."

Dari sudut matanya, Jeno bisa melihat Jaemin yang menguap lebar bahkan tak berusaha untuk menutupi mulutnya hingga menghasilkan kerutan pada dahi sang ayah.

WildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang