—Janitra
Things never went right whenever there's others standing in between me and Tere.
For instance, there's Mita. Mungkin selain aku, hanya dia yang bisa bertahan dengan durasi yang cukup panjang dengan Tere—walaupun, aku nggak bisa bilang keduanya memiliki hubungan yang mulus juga ya.
Mita adalah senior kami di jurusan Kriminologi, that's right, Ananda Tere Subagja had balls too big he doesn't even think twice to shoot his shot at her. Mereka berdua dekat saat kami memasuki tahun kedua, dan meresmikan hubungannya seminggu kemudian.
You know, just right when I thought, what I had with Tere is something real.
"Gue barusan nembak Mita, Nit"
Ingat betul aku suaranya di sambungan telepon pagi itu, pukul dua dini hari, hari Sabtu. Kantuk dan kesal yang sebelumnya menyelimutiku pun seketika sirna, diganti nyeri yang sulit diungkapkan oleh kata-kata.
"Oh."
Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Aku bahkan nggak merasa perlu bertanya apakah Mita menerima Tere, karena jawabannya sudah pasti. Nggak ada cewek yang bisa menolak seorang Ananda Tere Subagja.
Learned it the hard way.
"Bingung gue, Nit, sejujurnya. Gue nggak ngira gue bakal bisa ngambil keputusan kayak gini"
Ya lo aja bingung apalagi gue, Re? Pikirku saat itu. Terbangun di pagi buta hanya untuk membiarkan lo meledakkan bom yang lo tanem di hati gue. Gue bingung, sedih, kecewa, marah—kebas.
Gue bahkan nggak tau harus ngerasa kayak gimana, Re.
"Ye kocak." aku akhirnya hanya bisa mengujarkan hal tersebut. Tanpa ada sedikit pun humor di dalamnya.
Di ujung sana, aku ingat dia tertawa. Renyah. Hangat. Ngilu hatiku makin menjadi dibuatnya.
"Haaaaah... Gue bingung banget asli harus ngomongin ini sama siapa lagi selain lo"
Sebuah senyum miris terlengkung saat kalimat itu terlontar di ujung sana.
Mungkin memang hanya itu aku bagi Tere. Seseorang yang ia datangi saat ia tengah bingung dengan dirinya sendiri. Apa yang dia harapkan, sejujurnya? Bahwa aku bisa memberikan jawaban? Pft, who is he kidding.
Bagaimana aku bisa memberinya jawaban kalau kehadirannya di hidupku saja malah menambah pertanyaan?
"Yaudah nih lo udah ngomong ke gue kan" aku memaksakan sebuah tawa hambar.
"I know..."
Sesuatu menggantung di udara. Rasanya seperti kegamangan, sesuatu yang tidak bisa tersampaikan, pesan yang tertahan. Aku dan Tere hanya saling diam untuk beberapa menit, membiarkan white noise dari lingkungan sekitar kami masing-masing mengisi kekosongan.
"...this doesn't change anything between us" Lalu aku mendengarnya bersuara. Cepat. Seolah ingin buru-buru pergi sebelum tertangkap olehku.
But it did. And it won't leave. At least not for a while.
"Let's just not talk about it" aku berujar membalas.
Satu helaan nafas di ujung sana, lalu hening lagi.
Nggak mungkin ini nggak akan mengubah segalanya. Bullshit. Ada orang lain di antara kita berdua sekarang, orang yang memiliki legitimasi lebih atas dirinya daripada aku. Orang yang secara resmi menyandang status sebagai kekasihnya, the one he actually asks to be one—sementara aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rule of Three
RomanceOmne trium perfectum. Everything that comes in three is perfect... ...ly messed up. (Warning: strong language and explicit materials)