Ku tatap lagi dua pasang sejoli di hadapanku. Tatapannya penuh cinta. Tidak! Mereka tidak berdua, jelas-jelas ada bocah laki-laki di antara mereka. Menatap mereka membuat dadaku sesak. Tanpa kusadari air mata yang sejak tadi hanya menggenang di pelupuk mata akhirnya menetes juga.
Arshaka Albintara. Pria yang menikahiku sejak 18 tahun yang lalu. Pria yang menjadi idola bagi anak-anaknya. Pria yang menjadi teladan bagi anak-anaknya kini tampak lebih bahagia bersama keluarga barunya. Ya. Wanita dan anak laki-laki itu adalah keluarga baru mas Shaka. Yang aku ketahui, pernikahan mereka berjalan sudah tujuh tahun yang lalu.
Sakit? Tentu saja! Dia pria yang sangat kucintai. Dia pria yang mengisi kekosongan dalam hidupku. Dia pria yang memperkenalkan keluarga saat aku tidak tahu apa yang namanya keluarga. Dia pria yang lebih sekadar suami untuk ku.
Tiba-tiba Kaeno menutup pandangan ku dari mereka. Tangan kekarnya mengusap pelan pipiku. Semakin aku terisak saat masa itu akan tiba.
"It's okay, mom. Kita semua bisa hidup tanpa Daddy."
Aku menoleh pada Raena, saudara kembar Kaeno. Oh Tuhan, andai saja aku bisa bertahan sedikit lagi dengan pernikahan ini.
"Kalian yakin?" tanyaku serak.
"Mom, tidak ada yang perlu momma pertahankan lagi. Kae dan Rae udah dewasa. Kami juga punya usaha sampingan. Masih bisa untuk sekolah si kembar dan bungsu serta makan. Kami sudah tidak butuh idola yang bermuka dua," balas Kaeno cepat.
Kami sudah berdiskusi sebelumnya. Keputusan sudah kami ambil bersama. Aku tahu mereka sedih saat akan meninggalkan daddy-nya. Aku tahu mereka hanya tegar demi aku.
Dengan menarik nafas dan mengumpulkan semua keberanian yang kupunya, kami melangkah pada meja di mana daddy mereka berada. Mungkin Kaeno sudah sangat kecewa dan marah hingga ia meletakan map biru yang di pegang Raena dengan kasar. Membuat ketiganya tersentak kaget.
Mas Shaka melotot tidak percaya. Di hadapannya kini berdiri istrinya dan dua orang anaknya di tengah-tengah kebahagiaan mereka.
"Maaf mengganggu, kami hanya butuh tanda tangan anda," ujar Kaeno dingin. Dengan cepat juga ia membuka map tersebut dan menyerahkan bolpoin pada mas Shaka.
"Tanda tangan apa?"
"Kami hanya butuh tanda tangan anda bukan pertanyaan," jawab Kaeno cepat.
Kuusap lengan Kaeno pelan. Berharap dia bisa menurunkan sedikit emosinya.
"Jaga sopan santun kamu, Kae!"
"Anakku bersopan santun dengan baik," jawabku cepat. "Dia bersopan santun pada orang yang seharusnya. Dia bersopan santun pada orang yang juga sopan. Jangan pernah pertanyakan bagaimana aku mendidik mereka." Aku tidak bisa diam jika anak-anakku di pertanyakan kesopanan atau apapun yang menyangkut mereka. Yang aku tahu saat ini kenapa Kaeno bersikap demikian adalah rasa kecewanya mengalahi sopan santunnya.
Mas Shaka tampak gusar karena baru kali ini aku menyanggah ucapannya. Kemudian dia meraih map biru yang tadi di letakan oleh Kaeno.
"Maksud kamu apa?"
"Momma mau cerai." Bukan aku yang menjawab, tapi Raena. Sekuat tenaga kutahan air mata agar tidak jatuh.
"Kita pulang!" tekan mas Shaka.
"Tidak perlu. Momma hanya butuh tanda tangan anda," cegah Kaeno.
"Jangan membantah daddy, Kae!"
"Kami benar-benar hanya membutuhkan tanda tangan anda! Masalah harta gono gini anda tidak perlu gusar. Momma tidak meminta sepeser uang pun atas perceraian ini. Kami bisa membuat momma bahagia setelahnya," sanggah Kaeno.
Ku lihat ke dalam mata mas Shaka. Ada kesedihan di sana. Aku hendak beranjak ke arahnya, tapi Raena menahan kuat tanganku sambil menggelengkan kepala.
"Kalian tidak bisa hidup tanpa daddy."
Kaeno tersenyum sinis, "kalau begitu tanda tangan saja dan lihat nanti!"
"Mau makan apa kalian tanpa uang daddy? Kamu mau jadi mafia? Mau jual adik-adik kamu? Mau kembaran dan momma kamu jadi pelacur!"
Bugh!
Aku memekik dan hendak membantu mas Shaka. Namun lagi-lagi Raena menahanku dengan air mata yang sudah mengalir deras.
"Kae," panggilku lembut.
Keano tidak mengindahkan panggilanku. Dia juga tidak peduli dengan pengunjung caffe yang sudah menjadikan kami pusat perhatian. Nafasnya memburu.
"Mulai hari ini, anda bukan siapa-siapa kami! Meski tidak ku pungkiri jika darahku mengalir darah kotor anda! Dan dengarkan ini baik-baik, bapak Arshaka Albintara yang terhormat, tanpa melakukan pekerjaan seperti yang anda katakan, kami tetap bisa hidup layak! Kami tunggu tanda tangan anda segera!"
Usai berkata begitu, Kaeno beranjak keluar. Raena juga menggandeng bahuku agar mengikuti langkah kembarannya.
Di dalam mobil, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menangis. Raena turut menangis sambil memelukku. Sementara Kaeno menjatuhkan kepalanya di lipatan kedua tangannya di atas kemudi.
Aku tahu mereka sedih dan kecewa. Tidak di sangka-sangka daddy yang mereka agung-agungkan tega mengatakan perkataan serendah itu.
"Kalian tidak mau pisah dari daddy?"
"Justru kami tidak mau hidup satu atap dengan dia, mom. Malam ini kita tidur di apartemen saja."
"Apartemen?" Setahuku mas Shaka tidak pernah membelikan mereka apartemen. Dari mana mereka membelinya?
"Kae membuka usaha distro dengan teman, mom. Makanya Kae bisa beli apartemen," jawab Kaeno sebelum aku bertanya.
"Rae menjadi model, mom. Maaf nggak izin dengan momma." Kali ini Raena yang menjawab.
Betapa bangganya aku pada mereka. Diam-diam mereka bisa menghasilkan uang di usia mudanya.
"Jangan marah, mom," Kaeno meraih tanganku.
"Momma nggak marah justru bersyukur. Maaf jika momma menyusahkan kalian nanti."
"No! Kami bekerja untuk adik dan momma. Momma jangan bicara seperti itu lagi," sahut Kaeno cepat.
Lagi-lagi aku bangga kepada si kembar. Lihat, mas, anak yang kamu remehkan ternyata mempu membuatku bangga. Mereka mungkin tidak memiliki harta sebanyak milikmu, tapi mereka punya kasih sayang yang melimpah.
Setelah kami pergi, jangan minta kami kembali. Ini jalan yang kamu pilih. Harusnya kami bisa bertahan. Harusnya aku bisa bertahan, tapi mereka tidak menginginkan keluarga yang telah menghilangkan kepercayaan mereka.
Jangan khawatir, cinta ini masih milikmu. Hanya saja kami tidak bisa seatap bersamamu lagi. Jika perselingkuhanmu bersama dia menorehkan luka, maka kehadiran buah hati di tengah-tengah kebahagiaan kalian adalah kehancuran kebahagiaan anakku. Maaf aku dan anak-anak harus pergi.
***
Kepercayaan serta kesetiaan adalah kunci sebuah hubungan. Jika salah satunya hancur, maka hancurlah hubungan tersebut. Luka yang di torehkan oleh kehadiran orang adalah bukti jika dia bukan prioritas lagi. Bertahan dalam kesakitan atau pergi menjemput kebahagiaan lainnya.
Allah with you💚
El with Syaron💙
Singkawang, 09022020