Dear Husband,
Selamat pagi, siang atau malam. Aku tidak tahu kapan kau akan membaca surat yang ku tulis. Mungkin aku masih menjadi Aurora yang dulu bagimu. Tidak di harapkan dan tidak di butuhkan. Tidak apa, tapi aku tetap akan menulis surat ini.
Aku pernah bilang 'kan kalau nanti aku akan pergi? Aku tidak akan mengganggu hidupmu. Aku tidak akan mengusik harimu hanya karena secangkir kopi hitam. Tidak apa, Ron. Memang bukan aku jodoh dari Tuhan untuk menemani hari-harimu. Hanya saja aku selalu berdo'a semoga kau selalu bahagia walau bukan aku penyebab tawamu. Sakit? Tentu! Aku tidak munafik. Sudah jadi cita-citaku membuatmu bahagia, tapi aku tidak bisa.
Jangan bersedih saat membaca suratku. Ah, aku sangat percaya diri sekali. Hehehe. Justru kau akan bahagia saat aku memilih pergi. Tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaanmu dengan Amanda. Tidak ada lagi yang merusak asmara kalian. Maafkan dosaku yang telah membuat hidup kalian hancur. Terima kasih sudah pernah menjadikan aku istri dalam hidupmu. Itu sudah membuatku cukup.
Aaron, satu tahun hidup seatap denganmu adalah kebahagiaan yang setiap saat ku syukuri setelah bangun tidur. Bangun dengan status istri dari seorang Aaron Adhitama Elvan, pria yang sudah membuatku jatuh bangun dalam mencinta. Hingga detik ini aku masih jatuh dalam cintamu. Maafkan aku.
Dan, maaf jika saat sidang perceraian kita aku tidak bisa hadir. Bagaimana aku bisa hadir jika menikah denganmu adalah cita-citaku dan kita akan berpisah? Aku tidak sekuat itu. Aku sudah menanda tangani surat cerai itu. Dan aku yakin kau juga sudah membubuhkan tanda tanganmu saat telah membaca suratku.
Aku pasti rindukanmu, Ron. Rindu saat kau pulang dengan wajah kusut. Rindu saat kau tidur membelakangi aku. Rindu saat kau akan marah jika kopi milikmu terlalu manis atau terlalu asin. Bahkan kopi yang pernah kusuguhkan rasanya asin. Mengingatnya, aku tertawa tidak berhenti. Saat kuceritakan pada mama, beliau juga tertawa. Ah, aku pasti akan merindukan semuanya.
Sudah, ya, bosan 'kan baca surat tidak penting dari ku? Aku yang nulis saja bosan, apa lagi kau yang membaca. Aku pamit, Ron. Love you, husband.
Aurora Randika Elvan.
Hehehe, maaf sudah meminjam namamu. Itu sangat cocok berada di nama belakangku.
Nb. Oh iya, Ron. Kaos merah milikmu jangan dicari lagi. Jangan marah pada bik Ratih. Kaos itu ada padaku. Setidaknya aku masih membawa satu wujud yang bisa ku peluk.
Sial! Ara terlihat bahagia dan senang saat berpisah dariku. Dia tidak tahu bagaimana nasibku di sini. Setiap hari aku seperti seperti orang gila karena mencarinya sejak dua minggu yang lalu. Tidurku sudah tidak lagi nyenyak saat ranjang sebelahku kosong. Makanku tidak lagi nikmat sejak tidak ada cah kangkung dan tempe goreng racikan tanganku. Kopiku tidak lagi menggoda saat orang lain yang menyuguhkan.
Bodohnya aku telah menyia-nyiakan wanita sebaik Aurora demi seorang Amanda. Menyesal? Jelas! Bersamanya, aku merasakan ketenangan dan merasa sangat dicintai. Karena keegoisanku akhirnya dia pergi. Kemana lagi harus kucari? Bahkan setiap sudut kota telah kuberitakan dan ku minta seorang agent melacak jejaknya. Tetap saja dia tidak di temukan.
"Jangan dicari lagi."
Aku mendongak pada asal suara yang sangat ku kenali.
"Kenapa?"
"Ara pergi bukan karena keinginannya, tapi keinginan kalian berdua. Mama tidak bisa melihat gadis polos dan lugu seperti Ara terus-terusan di sakiti. Lebih baik kalian berpisah!"
"Aaron tidak pernah mengizinkan Ara pergi, ma!" sahutku gusar.
Ternyata wanita yang berperan sebagai mamaku telah memberi restu pada Ara untuk meninggalkanku.
"Oh iya, setelah sidang perceraian kalian, Ara akan segera menikah dengan dokter Ayas."
Boom!
Berita gila apa lagi ini! Tidak ada perceraian dan tidak ada pernikahan kedua!
"Aaron belum bercerai, ma!"
Huh! Aku benci perasaan sesak seperti ini. Membayangkan Ara menikah dengan dokter brengsek itu membuatku ingin membunuh seseorang sekarang juga.
"Memang belum, tapi sebentar lagi. Ara tidak bisa hadir. Mama yang akan menggantikan dia."
"Ma, Aaron ini anak mama. Kenapa mama tega?!"
Biarkan Tuhan marah padaku karena sudah menjadi anak yang durhaka. Bagaimana tidak? Seorang ibu yang harusnya mementingkan kebahagiaan anaknya justru berbalik membuat hidup anaknya sengsara.
"Kamu yang tega! Setahun kamu sia-siain Ara hanya karena pelacur murahan seperti Amanda? Dia itu hanya ingin harta kamu! Dia tidak benar-benar tulus mencintai kamu! Bahkan mama melihat dengan mata kepala mama sendiri dia berciuman dengan pria lain, tapi kamu justru nuduh mama bohong! Saat mama menjodohkan kamu dengan Ara justru kamu melampiaskan semua amarah kamu pada gadis tidak berdosa seperti dia! Siapa yang tega di sini?!" bentak mama dengan wajah merah karena emosi.
"Jangan hukum Aaron seperti ini, ma. Beri Aaron satu kesempatan buat nebus kesalahan Aaron pada Ara," pintaku.
"Satu-satunya hukuman untuk bajingan seperti kamu adalah bercerai. Ara berhak mendapatkan pria yang lebih baik menjadi suaminya dari pada kamu!"
Usai berkata begitu mama berlalu meninggalkan aku yang semakin frustrasi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain melampiaskan semua amarahku pada benda di sekitarku.
Aku tahu jika aku pria yang bodoh. Apa tidak ada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan rumah tangga kami? Kenapa perasaan sialan ini harus muncul saat sang empunya sudah pergi? Apa seperti ini Tuhan menghukum pendosa sepertiku? Jika iya, aku hanya bisa bertepuk tangan. Sebab Tuhan sudah membuat hidupku semakin berantakan.
"Sialan Ara! Aku pastikan tidak ada perceraian seperti permintaan bodohmu! Apapun akan aku lakukan agar kau pulang ke rumah ini. Suka tidak suka walaupun kebencian nanti yang akan membalas perbuatanku!"
Aku bertekat membawa Ara kembali. Tidak adanya dia di sini membuatku semakin temperamental. Gadis itu benar-benar sudah menguasai pikiranku. Welcome to my home, honey. Siapkan dirimu untuk ku kunjungi malam ini. Sebab, aku sudah menebak di mana kau bersembunyi dari endusanku selama dua minggu terakhir.
***
Permata selamanya akan menjadi permata meski ia berada di lumpur terdalam. Menggenggam mutiara jangan lagi kau tukar dengan batu kerikil tak berharga. Karena alam punya cara sendiri menyadarkan mu dalam penyesalan.
Teruslah berbahagia. Allah with you💚Singkawang, 14 Februari 2020