Ku tatap mata segelap malam di hadapanku. Menyelami apa yang berada di dalamnya. Yang kutemukan hanya penyesalan, luka dan kelegaan. Mata itu yang diam-diam menghantui mimpiku. Pemilik mata itu yang telah mengubah jalan hidup yang telah ku tata sebelumnya. Mata itu yang sekali lagi mengenangkan malam penuh luka dalam hidupku.
"Assalamu'alaikum, Syabil."
Tahan air mata! Tahan! Jangan lemah di hadapannya. Jangan rapuh lagi!
"Wa'alaikumussalam," jawabku serak karena menahan air mata yang hendak menetes.
"Akhirnya aku menemukanmu," gumamnya namun aku masih bisa mendengar.
Tidak ada yang bisa kulakukan. Dari dulu hingga sekarang aku tetap tidak bisa membalas ucapannya. Menjadi lemah adalah identitasku, tapi itu dulu! Dulu sebelum dia mengubahku menjadi lebih kuat.
"Ada apa mencariku?" tanyaku dingin.
"Aku tahu ini sangat terlambat. Jika waktu mempertemukan kita di hari dan detik yang sama, aku tidak akan pernah melakukan perbuatan bodoh itu padamu...."
"Sayangnya kau sudah melakukannya!" potongku cepat bersamaan dengan air mata yang mengalir melewati pipi tirusku. Aku benci mengingatnya di masa lalu bersamaan dengan perbuatannya.
"Maafkan aku, Bil," gumamnya dengan penuh penyesalan.
Dia memang harus menyesal! Menyesali semua tindakan bodohnya selama tujuh tahun terakhir. Menyesali perbuatan kotornya yang mengusik hidupku. Menyesali luka yang ia torehkan dalam hatiku. Dia harus menyesalinya!
Tidak kuat menahan perasaan ini selama tujuh tahun terakhir. Dikucilkan oleh keluargaku sendiri, dicemoh oleh tetangga, dijauhi oleh temanku sendiri. Tapi, di mana dia?! Di mana dia saat aku menanggung luka yang disebabkan olehnya. Di mana dia saat aku menangis karena terlalu lelah?
"Apa maafmu bisa mengembalikan hidupku? Apa maafmu membuatku kembali menjadi Syabil seperti yang dulu? Bapak Raka yang terhormat, semua kata maafmu tidak bisa mengembalikan hidupku. Aku sudah tidak menunggu kata itu keluar sejak tujuh tahun yang lalu. Aku sudah tidak menginginkan kata sampah itu lagi!" bentakku tidak peduli pada keadaan taman yang ramai. Tidak peduli jika kami menjadi pusat perhatian saat ini.
"Bil, aku...."
"Khilaf!" sahutku cepat. "Apa tidak ada kata lain selain khilaf?! Apa hanya khilaf senjata andalanmu!"
Aku muak! Setiap kesalahan mereka selalu khilaf menjadi dalilnya. Setiap perbuatan buruk mereka selalu khilaf menjadi kata-kata bohongnya. Jutaan kali aku mendengar kata khilaf yang mereka kambing hitamkan.
"Bil, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Yang aku tahu aku harus meminta maaf padamu. Kesalahan masa lalu adalah beban terberat yang selalu kupikul. Perbuatan biadabku adalah dosa tak termaafkan jika tanpa ampunanmu," ucap Raka.
Aku hanya mengangguk. Mengupas kembali lembaran-lembaran luka yang setiap detiknya menguliti kebahagiaanku. Aku terlalu larut dalam kesakitan yang tak berujung ini.
"Aku justru berharap kau membusuk di neraka!"
Tolong jangan hakimi aku. Aku tidak bisa berdo'a yang baik-baik untuknya. Aku tidak bisa terlihat baik-baik saja selama ini. Hanya itu do'a yang menurutku pantas untuk bajingan seperti dia. Aku bukan wanita baik. Aku bukan wanita yang senang hati memberi maaf saat lukaku tak bertemu obatnya. Aku tidak sekuat itu.
"Aku tahu itu pantas. Ternyata do'aku masih tersangkut di langit-langit 'Arasy. Berharap mendapatkan maaf dan pengampunanmu adalah do'aku sepanjang hari."
"Kau berdo'a?" Aku mencibir.
"Setiap manusia berhak mendapatkan jalan yang lebih baik."
"Kecuali aku," sahutku pedih.
Raka menatapku dengan sorot mata yang semakin terluka. Maaf, Rak, pintu ampunanku belum terbuka untukmu. Terlalu besar luka dan kekecewaan yang kau beri padaku.
"Waktu itu aku pergi dan kembali hari ini." Kulihat dia tertawa lirih sambil tangannya mengusap matanya. Entahlah, sepertinya dia menangis.
"Aku pengecut, aku akui itu. Aku terlalu takut mengakui kesalahanku. Aku takut saat melihatmu di sampingku. Aku takut masa depanku rusak. Aku takut orang tuaku kecewa. Tapi, aku melupakanmu yang dihitung dari detik itu masa depannya telah ku renggut. Aku yang membuat diriku sendiri dan dirimu menjadi asing. Aku benci kenyataan itu," sambungnya panjang lebar.
Aku hanya diam. Membiarkan dia mengeluarkan semua beban dan kesalahannya selama ini. Kesalahan fatal yang terjadi saat hari kelulusan kami. Hari bahagia yang harus berubah menjadi duk untukku.
"Bil, aku minta maaf. Aku akan selalu datang untuk memperoleh maafmu."
"Jangan egois, Rak. Jangan biarkan aku sia-sia melupakan kejadian malam itu hanya karena kejadian malam itu. Kau tidak tahu seberapa besar keinginanku untuk membunuhmu."
"Aku hargai kejujuranmu."
Aku tidak menyahut. Keheningan menyelimuti kami berdua. Angin malam mengibarkan jilbab panjangku. Ya, semua yang ada pada diriku adalah Syabil baru kecuali masa lalu yang masih tetap sama.
"Bunda!"
Aku tersenyum mendapati pangeranku berlari tergopoh-gopoh padaku. Diikuti oleh pria yang senantiasa ada untukku dan pangeran mungilku.
"Jangan lari-lari, Shaka!" peringatku menegur.
Melihat wajah polos Shaka yang menjadi penyemangat untuk hidupku. Karena kehadirannya aku bertahan hingga detik ini. Aku teramat menyayangi makhluk mungil yang berstatus anak ini. Terlepas bagaimana caranya di hadir dalam hidupku.
"Om Nabil nakal," adunya.
"Benarkah?"
Shaka mengangguk membenarkan.
"Kenapa di sini?"
Nada suara mas Nabil bertanya kepada Raka membuatku dan Shaka mau tidak mau menoleh. Menatap Raka yang tercengang memandang wajah Shaka. Wajah kloningannya.
"Ayah!" pekik Shaka memberontak turun dari pangkuanku.
Tidak ada pencegahan ala-ala drama saat Shaka berontak turun hanya untuk memeluk ayahnya. Aku memang sudah memperkenalkan Shaka pada sosok ayahnya. Raka memang penyebab lukaku selama ini, tapi aku tidak bisa melihat kesedihan di mata Shaka saat bertanya dan merindukan sosok ayahnya.
Raka masih mematung memandangi wajah Shaka. Sedikit demi sedikit Raka beranjak dan jongkok di hadapan Shaka. Secepat kilat Shaka menubruk tubuh besar Raka.
"I miss you, ayah. Kenapa ayah tidak pernah menjenguk Shaka? Apa Shaka anak yang nakal seperti Toni?"
Raka menoleh padaku dan cepat-cepat aku memalingkan wajah. Kulirik dengan ekor mataku bagaimana Raka membalas pelukan Shaka erat. Air matanya turut menetes.
"Maafin ayah."
Kuraih tangan mas Nabil yang hendak beranjak menuju ayah dan anak itu. Ku isyaratkan dia untuk membiarkan momen Shaka dan Raka. Aku juga tidak akan melarang jika Raka mengunjungi Shaka nantinya. Kebahagiaan Shaka adalah segala-galanya bagiku meski kenyamananku di pertaruhkan.
Biarkan takdir yang bermain dalam hidupku saat ini. Aku terlalu lelah hanya untuk sekadar berontak dari genggaman takdir. Perlahan tapi pasti aku bisa menjadi gadis yang kuat.
***
Biarkan jejak masa lalu itu mengikutimu asalkan tidak mengganggu kehidupan masa depanmu. Tuhan adil karena menciptakan lupa dalam ingatan agar keburukan tidak selalu menjadi kenangan. Sejatinya, memaafkan dan dimaafkan adalah fitrah dari hukum alam yang berlaku.
Teruslah berbahagia. Allah with you💚Singkawang, 16 Februari 2020