Aku melihatnya. Sebuah kenyataan yang sangat aneh, -mungkin? atau cuma bagiku?
Tapi rasanya sangat menyakitkan.
Haruskah kita mengetahui kenyataan yang bisa membuat hati hancur?
Ataukah kita seharusnya tak mengetahui kenyataan itu?
Lebih memilih tahu atau tidak tahu?
Aku tak mengerti pada diriku sendiri. Bila aku tahu, aku akan merasakan kesedihan yang teramat. Tapi, bila aku tak tahu, aku merasa telah dibohongi. Aku bagaikan tak dinggap. Serasa tak kasat mata, tak terlihat sama sekali.
Dua-dua rasanya menyakitkan. Haruskah aku memilih?
Seandainya aku tak memilih, apa yang akan terjadi?
°°°Perlahan mereka saling berhadapan, --ayahku dan wanita itu.
Jarak antara keduanya semakin memendek. Dengan perlahan dan pasti.
Aku yakin, kini nafas mereka saling menderu tertahan.
Perlahan kedua kelopak mata antara mereka menutup. Menyembunyikan bola mata berbinarnya masing-masing. Mereka sedikit memutar wajahnya kesamping, bahkan tangan Ayahku kini telah bertengger mesra ditubuh wanita itu. Menariknya untuk semakin mendekat dan mendekat.
Saat dua wajah itu menempel tanpa jarak, aku bahkan tak bisa memalingkan wajahku. Aku melotot lebar. Ingin berteriak, tapi aku tak bisa. Aku tak mampu. Aku tak kuasa. Karena yang aku lakukan cuma,
Membatu dengan kehancuran.
Ayahku, apakah itu benar Ayahku?
Saat dua wajah itu saling menjauh satu sama lainnya. Ada sebuah senyuman manis yang tertinggal pada bibir merekah itu.
Sesaat dunia -ku serasa berputar. Hingga suara ricuh riup keramaian ini pun tak terdengar di gendang telingaku.
Aku tuli untuk sesaat? Atau aku menulikan diri untuk sesaat?
Bila itu bisa, aku cuma ingin buta untuk sesaat.
Buta, permohonan apa lagi ini? Aku bingung pada diriku sendiri. Juga pada kehidupan ini.
Ya, dia Ayahku. Sekarang aku sangat meyakininya. Karena dia, memanggilku dengan panggilan sayang, yang hanya diucapkan olehnya --my princess. Dan karena itu, aku merutuki diriku. Hari ini, detik ini, untuk yang pertama kalinya aku membenci nama panggilan itu. Nama panggilan yang indah dan aku banggakan, kini hanya sebuah angin berlalu yang tak berarti.
Kulihat Ayahku terkejut? Atau sedikit gugup, mungkin? Dia memandangku dengan raut wajah seolah-olah tenang tapi ada sebuah keraguan.
Dia menghampiriku sambil menggandeng wanita itu. Seolah mereka adalah raja dan ratu dari negeri dongeng yang sedang menghampiri rakyat jelata. Begitu kontrasnya perbandingan penampilan kami.
Dari pagi sampai malam, Ibuku bekerja membanting tulang. Hanya untuk mencari uang, bahkan terkadang aku sampai merasa iri terhadap sebuah uang. Ia dicari-cari oleh Ibuku, dan aku anaknya malah takpernah dicari. Ibuku tak pernah memperdulikanku lagi, sehingga aku berfikiran Ibuku tak pernah menyayangiku lagi--sungguh konyol bukan, aku dan segala pemikiranku.
Ibuku bekerja keras hingga kini. Tapi, Ayahku kenapa asik membuat pesta tanpa mengundangku dan juga Ibuku?
Tak masalah, aku cukup merasa lega. Ibuku tak merasakan hati yang hancur seperti milikku. Bila itu terjadi, pasti kehancuran hatinya akan berkali lipat dari ku. Mungkin bisa sampai beribu kali. Aku tak mau itu sampai terjadi.
Dan sebuah kebetulan yang aku yakini ternyata salah. Aku bukan tidak sengaja beberapa kali bertemu dengan wanita itu, tapi ini semua adalah rencana Ayahku.
Wanita asing yang tak terlalu asing, yang tak ku ketahui namanya. Hanya ku tahu wajahnya. Saat ini aku mengetahuinya, aku tahu siapa wanita itu.
Wanita pendamping Ayahku. Atau mungkin akan menjadi Ayah kita? Ayah kami? Ayah bersama?
Dia, wanita itu adalah istri baru Ayahku.
Haruskah aku memanggilnya Ibu?
______________ 🎗🎗🎗 ______________
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
nap of a star
Teen Fiction07 dear february 10 _________________________________________ sinar matahari primordial sebagai pecahan planetisimal yang akan menemani kehidupan penuh teka-teki dunia