Satu

119 1 0
                                    

“Gun! sampah, Gun,” panggil bang Irul dari depan rumahku.

“Tunggu bentaran, Bang,” sahutku dari dalam rumah.

Choirul, atau sosok yang akrab disapa warga sebagai bang Irul, adalah tukang sampah hari-hari, asli Betawi. Masyarakat di sini menyematkannya dengan julukan akamsi; singkatan dari Anak Kampung Sini.

Ia lahir dan tumbuh besar di sini, menikah di sini, sampai hidup pasca nikah pun tinggal di sini.

Tiap dua hari sekali, ia menyaba rumah-rumah warga untuk menjemput sampah rumah tangga se-lingkungan RW. Termasuk rumahku.

Tubuhnya masih gagah. Usianya berkisar 30-an. Perawakannya tampan dan segar, malah terlihat 10 tahun lebih muda dari usia aslinya. Tubuhnya gempal, otot tangannya timbul bersama dekorasi urat-urat berwarna hijau. Rambut gondrongnya terkuncir saat berkeliling menyaba rumah warga di lingkungan sini.

Oh iya, namaku Gunawan, tetangga lama bang Irul. Umurku jauh di bawah bang Irul, masih 23 tahun.

“Nih, Bang.” Aku menyerahkan bungkusan sampah kepada bang Irul. Dilemparnya bungkus sampah itu ke tampungan belakang—berbentuk seperti gerobak—pada sepeda motor roda tiganya.

 Dilemparnya bungkus sampah itu ke tampungan belakang—berbentuk seperti gerobak—pada sepeda motor roda tiganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Motor Angkut Sampah Bang Irul)

Rintik air langit turun secara mendadak. Dalam hitungan detik, curahnya meningkat tajam menjadi hujan.

“Yah, pake ujan segala,” keluh bang Irul sembari menatap langit.

“Sini neduh dulu, Bang,” ajakku.

“Numpang bentar, Gun. Kali bae cuma ujan numpang lewat.”

“Lama juga kaga papa, Bang.” Aku mempersilahkannya masuk untuk duduk sejenak di teras depan.

Oh, iya. Kudeskripsikan dulu bentuk bangunan rumahku. Rumahku sederhana, sebagaimana rumah-rumah minimalis zaman sekarang. Memiliki garasi depan yang pas-pasan untuk satu mobil, dan jarak sisanya untuk orang lalu-lalang, atau, setidaknya muat untuk satu motor lewat. Teras depan dari pintu rumahku juga tidak luas-luas amat. Hanya muat untuk dua kursi dan satu meja, dan sedikit ruang untuk duduk lesehan.

Bang Irul duduk berselonjor di lantai teras. Ia mengehela napas panjang. Lalu aku berinisiatif menawarinya suguhan ringan. Tentu ini bukan tawaran basa-basi. “Bang, ngopi ya?”

“Kaga usah banyak-banyak.”
Bang Irul mengacungkan jari telunjuknya. “Segelas, cukup.” Ia tersenyum sumringah.

“Ngopi mah pasti segelas, Bang. Masa, segentong!” gurauku.

Seniman DapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang